Penafsiran Mohammad Arkoun; Kajian Surat Al-Fâtihah

I.         Pendahuluan
a.      Latar Belakang
Al-Qur'an merupakan panduan hidup bagi umat manusia. Al-Qur'an menekankan pada kebutuhan manusia untuk mendengar, menyadari, merefleksikan, menghayati memahami dan bermeditasi. Seluruh kata kerja tersebut mengacu pada aktifitas intelektual yang yang membawa pada berbagai macam rasionalisasi yang berdasarkan pada paradigma eksistensial yang diperlihatkan oleh sejarah penyelamatan jiwa dari dosa.

Melihat Al-Qur'an sebagai panduan hidup bagi manusia, maka mau tidak mau Al-Qur'an harus mampu menjawab berbagai problematika yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu Arkoun mencoba berbagai pembacaan terhadap Al-Qur'an, yang dari hal itu diharapkan dapat menghasilkan penafsiran baru yang belum pernah dilakukan oleh ilmuan Islam.

b.     Rumusan Masalah
a)      Biografi
b)     Metode Penafsiran
c)      Corak Penafsiran
d)     Contoh Penafsiran

II.      Analisis
a)      Biografi
1.      Kelahiran
Arkoun lahir pada tanggal 2 Januari 1928 dalam keluarga biasa di perkampungan Berber yang berada di sebuah desa di kaki-gunung Taorirt-Mimoun, Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair. Keluarganya berada pada strata fisik dan sosial yang rendah (ibunya buta huruf) dengan bahasa Kabilia Berber sebagai bahasa ibu dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional Aljazair.

2.      Pendidikan
Pendidikan dasar Arkoun ditempuh di desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat, yang jauh dari Kabilia. Kemudian, Arkoun melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah Atas di al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair. Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun melanjukan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959).

Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas tersebut. Arkoun menulis desertasi doktor mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M), seorang pemikir Arab di Persia pada abad X M yang menekuni kedokteran dan filsafat. Pada tahun 1970-1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kembali lagi ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas Sorbonne.

3.      Karya
Sebagai ilmuwan yang produktif, Arkoun telah menulis banyak buku dan artikel di sejumlah jurnal terkemuka seperti Arabica (Leiden/Paris), Studia Islamica (Paris), Islamo-Christiana (Vatican), Diogene (Paris), Maghreb-Machreq (Paris), Ulumul Qur’an (Jakarta), di beberapa buku dan ensiklopedi. Arkoun juga menerbitkan beberapa kumpulan makalah dan karya bersama yang dilakukan dengan cendekiawan lain. Beberapa karya Arkoun yang penting adalah, Traite d’ethique (tradution francaise avec introduction et notes du Tahdhib al-Akhlaq) (sebuah pengantar dan catatan-catatan tentang etika dari Tahdzib al-Akhlaq Miskawaih), Contribution a l’etude de l’humanisme arabe au IVe/Xe siecle: Miskawayh philosophe et historien (sumbangan terhadap pembahasan humanisme Arab abad IV H/ X M: Miskawaih sebagai filosof dan sejarahwan), La pensee arabe (pemikiran Arab), dan Ouvertures sur l’islam (catatan-catatan pengantar untuk memahami Islam).

Buku-buku Arkoun yang merupakan kumpulan artikelnya di beberapa jurnal antara lain adalah Essais sur la pensee islamique (Esai-esai tentang pemikiran Islam), Lectures du Coran (Pembacaan-pembacaan Alqur’an), dan Pour une critique de la raison islamique (Demi kritik nalar islami). Buku-bukunya yang lain adalah Aspects de la pensee musulmane calssique (Aspek-aspek pemikiran Islam klasik), Deux Epitres de Miskawayh (Dua surat Miskawaih), Discours coranique et pensee scientifique (Wacana-wacana al-Qur’an dan pemikiran ilmiah), L’islam, hier, demain (Islam, kemarin dan esok, karya bersama Louis Gardet), dan L’islam, religion et societe (Islam, agama dan masyarakat). Selain itu, masih banyak lagi beberapa karya lainnya yang belum diterbitkan, di samping beberapa artikel penting, seperti pada Encyclopaedia Universalis dalam entri “Islam, les expression de l’islam”, “Rethinking Islam Today” dalam buku Liberal Islam: A Source Book, History as an Ideology of Legitimation: A Comparative Approach in Islamic and Eurepan Contexts” dalam buku Islam, Modernism and the West dan sebagainya.[1]

b)     Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang digunakan oleh Mohammad Arkoun dalam pandangan penulis bersifat Tahlili. Sebab, Arkoun dalam menafsirkan surat al-Fatihah misalnya –akan dibahas di sub bab contoh penafsiran—, beliau memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam al-fatihah serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan keilmuan Arkoun.

c)      Corak Penafsiran
Penafsiran Arkoun dalam surat al-fatihah termasuk tafsir adabi. Hal ini terlihat sekali dalam penafsirannya yang menggunakan linguistik.

d)     Contoh Penafsiran
Dengan mengambil contoh surat al-Fatihah, Arkoun menjelaskan tiga tata cara pembacaan (penafsiran) yang menurutnya dipandang shahih. Pertama, tata cara liturgis. Bagi kesadaran Muslim, hal ini merupakan satu-satunya tata cara yang absah. Mengulang berbagai kata-kata suci dari al-Fatihah berarti mengaktualisasikan momentum awal di mana Nabi mengujarkannya pertama kali.

Tata cara kedua dapat dikualifikasi eksegetis. Tata cara ini merupakan penafsiran yang telah diikuti oleh orang-orang beriman sejak mereka mengetahui ujaran 1, sehingga mereka telah menghasilkan suatu khazanah yang kaya.

Tata cara ketiga dikualifikasikan linguistik kritis. Tata cara ini bersifat linguistik, karena bertujuan, dalam segala batas kemungkinannya, untuk menampilkan berbagai nilai linguistik naskah yang khas. Namun juga bersifat kritis dalam pengertian, dalam semangat kita, hanya akan menyangkut suatu nilai heuristik. Arkoun mengakui bahwa al-Qur’an, sebagaimana Bibel dan Injil, merupakan naskah-naskah yang harus dibaca dalam suatu semangat penelitian, karena semua naskah itu dapat mendorong berbagai kemajuan yang menentukan dalam kesadaran manusia (Arkoun, 1998: 91-99).

Untuk itu Arkoun melakukan dua tahap; linguistis kritis dan hubungan kritis. Dalam tahap linguistis kritis Arkoun mempergunakan sejumlah unsur linguistik yang disebutnya modalisator wacana:
1)      Determinan
Al-Hamdu, al-Shirath, al-Maghdlûbi dan al-dlâllîn, semua itu determinasi yang ditimbulkan oleh kata Allah yang menempati posisi semantis pusat. Dan lafadz Allah hanya disebut satu kali saja dan ditentukan kata sandang tertentu (al-ma’rifah) dan oleh serangkaian subtantif keterangan tambahan yang membentuk sejumlah besar penamaan deskriptif.

Nilai dari kata sandang juga sangat penting dalam sintagma al-hamdu. Di sini kita harus mengamati bahwa kebijaksanaan para penasir klasik telah mengalami jangkauan semantis pemakaian tersebut. Mereka telah mencatat dengan baik bahwa kata sandang ini mempunyai suatu nilai generalisasi dalam ruang dan waktu dari tindakan memuji (hamd). “Jika orang berkata :”Saya memuji Tuhan”, hal itu menunjukkan bahwa ia telah menyanjung dan menyatakan syuur kepada-Nya; entah mereka mengucapkan atau tidak penyanjungan dan pernyataan syukur mereka. Pujian menjadi milik-Nya selamanya.....”[2]

Bentuk yang disebut idlâfah dalam tata bahasa Arab penggabungan atau keadaan yang dibentuk –juga membantu untuk menggaris bawahi suatu kaitan erat antara fungsi sintaksis dan nilai semantis. Kita tahu bahwa ada semacam interaksi sintaksis antara yang ditentukan dan penentu (mudlâf/mudlâf ilaih). Dalam Rabbi-l-‘âlamîn, sebagaimana dalam bi-smi-l-lah, interaksi tersebut muncul kembali dari segi pemaknaan: arti lazim dari rabb (tuan, seperti dalam tuan rumah) dipartikulisasikan oleh determinan ‘âlamîn (alam semesta yang meliputi realitas ruang dan waktu). Sebaliknya ‘âlamîn, walau mencakup keterbatasannya, ditempatkan dalam ketergantungannya pada rabb.[3]

2)      Kata Ganti (prononima)
Pronomina imbuhan dari orang kedua tunggal yang digunakan dua kali dengan artikel disjungti (istitsna’) iyya untuk menegaskan tujuan dari sebuah ibadah (na’budu) dan suatu seruan pertolongan (nasta’in). Penerima yang dtuju adalah Allah, Dia juga muncul kembali sebagai subyek gramatikal dalam an’amta dan hdina. Oposisi an’amta ‘alaihim dan ghair al-maghdlûbi ‘alaihim menunjukkan bahwa dalam hal yang pertama, agen gramatikal dinyatakan oleh ta yang kemudian dipahami sebagai Pemberi Pertolongan yang dianugerahkan kepada manusia tertentu. Namun dalam kasus kedua, agen gramatikal ditegaskan oleh konteks yang mungkin juga hanya Allah, walau tidak eksploisit. Dalam tata bahasa Arab, ia tidak diketahui (majhul) dan berbentuk pasif yang sepadan artinya adalah al-ladzîna ghudliba ‘alaihim (orang yang dimurkai). [4]

3)      Kata Kerja
Na’budu dan nasta’in (kata kerja mudlara’ah) menggaris bawahi permanensi upaya tersebut untuk mempersempit jarak antara seorang penyeru yang sadar sebagai hamba serta tiada daya dan suatu sosok penderma yang ditunjukkan dengan kuat (iyyaka diulang dua kali sebelum kata kerja) sebagai mitra terakhir yang pantas dipuji dan selanjutnya menyantuni. Kata perintah ihdi-na yang berada setelah dua kata kerja mudlara’ah, tidak mungkin mempunyai nilai suatu perintah, namun menjelaskan permohonan yang secara tersirat diformulasikan dalam na’budu dan nasta’in. [5]

4)      Kata Benda dan Nominalisasi
Naskah al-fatihah terdiri dari istilah-istilah nominal asal berikut ini: ism, Allah, hamd, rabb, yaum, din, shirath. Meskipun mungkin merupakan kata turunan, istilah ‘alam dan dua kata kejadian rahman rahim mempunyai bentuk yang tidak jauh berbeda dari akar katanya. Adapun kajan-kajian terhadap terhadap istilah-istilah asal itu harus dilakukan dalam dua tahap. Pertama, harus dikaitkan dengan berbagai struktur etimologis dari leksikon Arab. Kemudian, menilai transformasi semantiknya dalam sistem leksikologis bahasa al-Qur’an. Sayangnya, di sini Arkoun tidak dapat melakukan kedua penelitian tersebut –pemakalah belum mengetahui alasannya. Padahal, hanya melalui langkah tersebut kita dapat mengukur campur tangan penutur dalam proses pengujaran dan dengan demikian dalam pembentukan suatu arti yang baru.[6]

5)      Sususnan Sintaksis
Berikut contoh struktur kalimat yang dibuat Arkoun, dengan memasukkan surah Al-Fatihah ke dalam empat leksis dan tujuh predikat :
(1) Bi-ismi-l-llahi                                 1.ar-rahmani -r-rahimi
(2) Al-hamdu li-llahi                          1.rabbi -l-'alamina
2.ar-rahmani -r-rahimi
3.maliki yaumi-d-dini
(3) iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu
(4) -hdina -s-sirata –l- mustaqim      1.shirata -l-lazina an'amta  'alaihim,
2.ghairi -l-magdubi 'alaihim
3.wa la -d-dallina.
III.     Penutup
Makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca, demi terwujudnya makalah kami yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Arkoun, Mohammed, Kajian Kontemporer al-Qur’an, Pustaka : Jakarta. 1982.
Baidhawi, Antropologi Al-Qur’an, LKIS: Yogyakarta. 2009




[1] M. Nasir Tamara, “Pandangan Sosial Politik Mohammed Arkoun”, makalh Seminar Sehari Pokok-Pokok Pemikiran Mohammed Arkoun, IAIN Jakarta, 13 Juli 1994, yang dikutip oleh Putro, Mohammed Arkoun… , hlm. 18.
[2] Arkoun, Mohammed, Kajian Kontemporer al-Qur’an, Pustaka : Jakarta. 1982. Hal. 104
[3] Ibid.
[4] Ibid. Hal. 107
[5] Ibid
[6] Ibid. Hal. 108
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan