Penelitian Hadits

1.        LATAR BELAKANG
Hadis merupakan segala sesuatu yang datang dari Muhammad saw. baik perkataan, perbuatan, dan persetujuan atau sifat. Merupakan sumber ajaran Islam ke dua setelah al-Qur’an.[1]
Pengelompokkan hadis setidaknya ada dua (dapat diketahui dari penisbatan lafadz dan makna), yaitu hadis Nabawi, lafadz dan maknanya dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. dan hadis Qudsi, yang hanya maknanya saja yang dinisbatkan kepada Allah ta’ala, bukan pada lafadznya.[2]
Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan Alqur’an. Untuk Alqur’an, semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedang untuk hadis Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad.
Dengan demikian, dilihat dari segi periwayatannya seluruh ayat Alqur’an tidak perlu dilakukan penelitian tentang orisinalitasnya, sedangkan hadis Nabi, dalam hal ini yang berkategori ahad, diperlukan penelitian. Dengan penelitian itu akan diketahui, apakah hadis yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi ataukah tidak.
Bahwasannya antara Alqur’an dan Hadis sama-sama sumber hukum Islam. Secara tidak langsung, penerimaan hadis dari Nabi oleh sahabat tentunya berbeda-beda dengan maksud dan semakna sama.
Dan sebab hadis merupakan sumber hukum Islam, maka validitasnya haruslah teruji. Apakah benar-benar datang dari Rasul ataukah tidak. Bisa jadi perkataan ulama’, sufi, atau bahkan orang yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu.

2.        RUMUSAN MASALAH
1.      latar belakang pentingnya penelitian hadits dari sisi normatif dan sejarah
2.      apa objek penelitian hadits
3.      apa tujuan penelitian hadits

3.        PEMBAHASAN
a.    Latar Belakang Pentingnya Penelitian
Ada 6 faktor yang menjadikan agar hadits diteliti .
Pertama, Hadits Nabi Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Islam
Banyak ayat Al Qur’an yang memerintahkan orang-orang yang beriman agar patuh dan mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad saw. diantaranya :
ومآ اتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم فانتهوا (الحشر 7)
……Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka hendaklah kamu menerimanya; dan apa yang dilarangnya bagimu, maka hendaklah kemu meninggalkannya (apa yang dilarangnya itu). Al Hasyr 7.
Al Qur’an Surat Ali ‘Imran 32.
قا أطيعوا الله والرسول فاءن تولوا فان الله لايحب الكفرين (ال عمران 23)
Katakanlah ! “Taqwa’atilah Allah dan Rasul-Nya; apabila engkau berpaling, (maka ketahuilah bahwa) sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir.
Al Qur’an surat Al Nisa 80.
من يطع الرسول فقد اطاع الله (النساء 80)
Barangsiapa yang mematuhi Rasul itu, maka sungguh orang itu telah mematuhi Allah…… (Al Nisa 80)
Surat Al Ahzab 21.
لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة لمن يرجو الله واليوم الاخر وذكر الله كثيرا (الاحزاب )
Sungguh telah ada pada diri Rasulullah saw keteladanan yang baik bagimu, (yakni) bagi orang yang mengharap (akan rahmat) Allah, (meyakini akan kedatangan ) hari kiamat, dan banyak menyebut (dan ingat akan) Allah. (Al Ahzab 21 ).[3]
Kedua, seperti yang lazim diketahui, tidak semua hadis telah tertulis pada zaman nabi. Mengingat akan setiap hadis tidak selalu terjadi di hadapan orang banyak. Selain itu, tidak setiap hadis yang telah ditulis para sahabat telah di cross-check di hadapan Nabi. Hal ini berimplikasi bahwa hadis Nabi tidaklah terhindar dari kemungkinan adanya kesalahan periwayatan.
Ketiga, timbulnya pemalsuan hadis. Gerakan pemalsuan hadis ini mulai muncul pada tahun 40an H. pada masa Khalifah Ali bin Abi Tahlib. Pada mulanya, pemalsuan ini didorong oleh kepentingan politik. Terutama ketika terjadi pertentangan politik antara Ali dan Mu`awiyah. Akan tetapi kemudian menjalar tidak hanya pada faktor politik, melainkan juga kepentingan ekonomi, menjilat pejabat dan lain sebagainya turut andil dalam meramaikan gerakan pemalsuan hadis. Dengan adanya pemalsuan hadis, akan sulit sekali memisahkan mana yang benar-benar berasal dari Nabi dan mana yang bukan. Di sinilah letak mengapa penelitian ini urgen dilakukan.
Keempat, lamanya proses penghimpunan hadis. Penghimpunan hadis secara resmi dan massal terjadi pada masa khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang wafat pada tahun 101 H. Dikatakan resmi karena penghimpunan itu atas prakarsa dan kebijaksanaan Kepala Negara. Dan massal karena kebijaksanaan tersebut ditujukan kepada para gubernur dan ulama hadis pada zaman itu. Kemudian pada pertengahan abad ke 2 Hijriah muncul karya-karya himpunan hadis di beberapa kota besar; Makkah, Madinah, Basrah. Dan puncak penghimpunan Hadis ini terjadi sekitar pertengahan abad ke 3 Hijriah.
Dengan demikian, penulisan kitab-kitab hadis yang menjadi rujukan kaum muslimin itu ditulis jauh setelah Nabi wafat. Dalam rentang waktu antara penulisan dan wafatnya Nabi, tidak menutup kemungkinan adanya hal-hal yang menjadikan riwayat itu tidak sesuai dengan apa yang datang dari Nabi. Untuk itulah, perlu adanya penelitian untuk mengetahui apakah hadis itu sah digunakan sebagai hujjah ataukah tidak.
Kelima,  jumlah kitab hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang berbeda-beda. Kitab hadis yang dihasilkan ulama sangat banyak hal ini ditengarai karena jumlah mukharrij al-hadis yang juga banyak jumlahnya. Selain itu, ada pula seorang penghimpun hadis yang menghasilkan kitab himpunan hadis lebih dari satu.
Metode penyusunan kitab-kitab tersebut tidaklah seragam, hal ini merupakan hal yang lumrah mengingat penekanan penulisan tersebut terletak pada pengumpulan dan penghimpunan hadis, bukan pada penyusunannya.
Melihat kenyataan tersebut, maka kualitas hadis yang ada di dalam kitab-kitab hadis tidak semuanya sama. Maka dari itu, perlu diadakan penelitian untuk mengetahui mana yang dapat dijadikan hujjah dan mana yang tidak.
Keenam, adanya periwayatan hadis secara makna. Para sahabat pada umumnya membolehkan periwayatan hadis secara makna. Ini menunjukkan bahwa periwayatan hadis secara makna telah ada. Padahal, untuk mengetahui kandungan petunjuk hadis tertentu perlu mengetahui redaksi tekstual dari hadis yang bersangkutan terutama yang berupa sabda/ucapan Nabi.
Berdasarkan latar belakang sejarah periwayatan hadis di atas, maka ada dua bagian hadis yang menjadi objek kajian dalam metodologi penelitian hadis agar sebuah hadis dapat dipertanggungjawabkan orisionalitas dan validitasnya.
Kedua bagian tersebut adalah sanad hadis dan matan hadis. Yang pertama terkait dengan rangkaian periwayat yang menyampaikan hadis, sedangkan yang kedua berkaitan dengan materi atau isi dari pada hadis tersebut.[4]
b.        Obyek Penelitian Hadits
Bagian-bagian hadits yang menjadi obyek penelitian ada dua macam, yakni rangkaian para periwayat yang menyampaikan riwayat hadits, yang dikenal dengan istilah sanad, dan materi atau matn hadits. Ada beberapa hal penting berkenaan dengan sanad dan matn hadits yang perlu diketahui dan diperhatikan dalam kegiatan penelitian hadits. Berikut dipaparkan beberapa hal penting tersebut.
1.    Sanad hadits
Ø  Pendapat ulama tentang sanad hadits
Ulama hadits menilai sangat penting kedudukan sanad dalam riwayat hadits. Muhammad bin Sirin menyatakan bahwa sesungguhnya pengetahuan hadits adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agama itu.

Abdullah bin Mubarak menyatakan bahwa sanad hadis merupakan bagian dari agama. Sekiranya sanad hadis tidak ada,niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dikehendaki.

Imam an-Nawawi menanggapi pendapat Abdullah bin Mubarak dengan menjelaskan bahwa bila sanad suatu hadits berkualitas shahih, maka hadits tersebut dapat diterima. Sedangkan, bila hadits itu tidak shahih, maka hadits tersebut  harus ditinggalkan.

Ø Bagian-bagian sanad yang harus diteliti
-  Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwatan hadits yang bersangkutan.
-  Lambang-lambang periwayatan hadits yang telah digunakan oleh masing-masing periwat dalam meriwayatkan hadits yang bersangkutan, misalnya sami’tu, akhbarani, ‘an, dan anna.

2.  Matan Hadits
Obyek penelitian hadits yang kedua adalah matan hadits. Setiap matan hadist itu selalu berkaitan erat dengan sanad. Sanad sendiri dalam kajian hadits masih diperlukan penelitian secara cermat, maka matanpun juga perlu diteliti secara cermat.
Perlunya penelitian matan hadist tidak hanya karena keadaan matan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad. Akan tetapi, juga karena adanya periwayatan secara makna ( riwayah bil ma’na).
Dengan adanya periwatan ma’na, maka untuk penelitian matan hadits tertentu, misalnya saja berkenaan dengan berita peperangan. Sasaran penelitiannya tidak tertuju pada kata perkata dalam matan ini, akan tetapi cukup terhadap kandungan berita yang bersangkutan. Berbeda dengan hadits tentang sholat, maka penelitiannya harus kata perkata. 
Dalam penelitian matan dirasa tidak mudah dilakukan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kesulitan penelitianmatan. Diantaranya: adanya periwayatansecara makna, acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja, latar belakang timbulnya petunjuk hadist tidak selalu mudah diketahui, adanya kandungan petunjuk hadits yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi supra rasional, masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matan hadist.

c.         Tujuan Penelitian Hadits
Tujuan pokok penelitian hadits, baik dari segi sanad maupun dari segi matan adalah untuk mengetahui kualitas hadits yang diteliti. Kualitas hadits hadits sangat perlu diketahui dalam hubungannya dengan kehujahan hadits yang bersangkutan. Hadits yang kualitasnya tidak memenuhui syarat, tidak dapatdigunakan sebagai hujjah.
Dalam kaitannya dengan status hadits. Hadits yang diteliti adalah hadits ahad. Namun, hal itu tidak menutup kemungkinan hadits yang berstatus mutawatir tidak dapat dilakukan penelitian lagi. Hadits mutawatir tetap saja dapat dilakukan, hanya saja yang menjadi tujuan penelitian bukanlah untuk mengetahui bagaimana kualitas sanad dan matan hadits, akan tetapi untuk membuktikan kemutawatiran hadits tersebut.
Ulama hadits sebenarnya sudah meneliti semua hadits yang ada, baik yang termuat dalam beragam literatur kitab hadits maupun yang termuat dalam kitab non hadits. Akan tetapi, penelitian hadits tetap perlu, dengan beberapa sebab sebagai berikut:
a.       Hasil penelitian yang dikemukakan oleh para ulama pada dasarnya tidak lepas dari hasil ijtihad. Hal itu memungkinkan benar dan salah. Jadi, hadits yang dinyatakan berkualitas shahih oleh seorang ulama hadis, masih terbuka kemungkinan diketemukan kesalahannya setelah dilakukan penelitian kembali secara lebih cermat.
b.      Adanya perbedaan penilaian terhadap satu hadits yang sama. Seorang ulama mengatakan shahih, seorang lagi mengatakan tidak shahih. Dengan begitu penelitian hadits masih perlu dilakukan, setidaknya untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan hasil penelitian.
c.       Pengetahuan manusia berkembang dari masa ke masa. Hal ini menuntut untuk melihat kembali melihat kembali hasil-hasil penelitian yang telah lama ada.
d.      Ulama hadits adalah manusia biasa, yang tidak terlepas dari berbuat salah. Karenananya tidak mustahil bila hasil penelitian yangbtelah mereka kemukakan masih dapat ditemukan letak kesalahannya.
e.       Penelitian hadits mencakup penelitian sanad dan matan, dalam penelitian sana, pada dasarnya yang diteliti adalah kualitas pribadi perawi dan kapasitas keintelektualan para periwayat yang terlibat dalam sanad, disamping metode  periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat. Dalam hal menilai perawi tidaklah semudah menilai benda mati. Bisa saja, orang itu dikatakan baik, namun nyatanya justru sebaliknya. Dimensi seseorang telah mempengaruhi dalam hal menilai periwayat hadits. Ini bararti bukan perawi saja yang perlu diteliti, akan tetapi ulama peneliti haditspun juga penting untuk  diteliti.[5]

4.    KESIMPULAN
       Berdasarkan sebab-sebab diatas maka penelitian hadits sangat penting untuk menjaga kehati-hatian karena kita saat ini jauh dari masa rasul.
       Adapun beberapa alasan yang menjadikan penting penelitian hadits diantaranya:
-          Hadits merupakan sumber hukum islam setelah Al-Qur’an.
-          Tidak semua hadis telah tertulis pada zaman nabi.
-          Timbulnya pemalsuan hadis.
-          Lamanya proses penghimpunan hadis.
-          Jumlah kitab hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang berbeda-beda.
-          Adanya periwayatan hadis secara makna.

DAFTAR PUSTAKA

Ismail M. Syuhudi, Prof. Dr., Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1992.
Mukhtashar Ushul Fiqh wa al-Qawaidz al-Fiqhiyyah, KMI Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, tahun 2006.
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Syekh, Musthalah al-Hadis, Media Hidayah, Yogyakarta, tahun 2006.
Al-Qattan Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS., PT. Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta tahun 1994.




[1] Muhktasar Ushûl Fiqh wa al-Qawâidz al-Fiqhiyah, KMI Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur, 2006, h. 7
[2] Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Musthalah Al Hadis, Media Hidayah, Yogyakarta, 2006, h. 17. Mengenai perbedaan Hadis Nabawi dan hadis Qudsi baca juga dalam buku Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS., PT. Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta, 1994, h. 22-31.
[3] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits,
[4] Lebih jelasnya baca buku Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, bulan Bintang, Jakarta, 1992.
[5] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits,

Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan