Penerimaan dan Periwayatan Hadits dan Hadits-Hadits Tentang Keutamaan dan Menyebarkan Ilmu

I. Pendahuluan
Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa hadits merupakan tuntunan yang tidak dapat diabaikan dalam memahami wahyu Allah. Al Qur’an dan hadits merupakan hukum syariat tetap, yang orang islam tidak mungkin memahami syariat islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada dua sumber islam tersebut.[1]

Dalam penerimaan dan periwayatan hadits, para ulama ahli hadits mengistilahkan ”menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits” dengan istilah at tahammul. Sedang “menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain” mereka istilahkan dengan al ada’.

Mengenai hadits yang membahas tentang keutamaan ilmu dan keutamaan menyebarkan ilmu adalah banyak sekali dan nanti InsyaAllah akan kami tuturkan.

II. Rumusan masalah
1.      Penerimaan hadits
2.      Periwayatan hadits
3.      Hadits-hadits tentang keutamaan dan menyebarkan ilmu

III. Pembahasan
1.      Penerimaan hadits
a.      Penerimaan anak-anak, orang kafir dan orang fasik
Jumhur ulama ahli hadits berpendapat bahwa penerimaan periwayatan suatu hadits oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap sah bila periwayatan hadits tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadits seperti Hasan, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Salib bin Yazid, dan lain-lain dengan tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah baligh atau belum. Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal usia anak yang diperbolehkan bertahammul, sebab permasalahan ini tidak terlepas dari ketamyizan anak tersebut.

Al Qodhi Iyad menetapkan bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan bertahammul paling tidak sudah berusia lima tahun, karena pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang didengar dan mengingat-ingat yang dihafal. Abu Abdullah Al Zuba’i mengatakan bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadits pada saat usia mereka telah mencapai umur sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Yahya bin Ma’in menetapkan usia lima belas tahun. Sementara ulama syam memandang usia yang ideal bagi seorang untuk meriwayatkan hadits setelah berusia tiga puluh tahun, dan ulama kuffah berpendapat minimal berusia dua puluh tahun.

Kebanyakan ulama ahli hadits tidak menetapkan batasan usia tertentu bagi anak yang diperbolehkan bertahammul, akan tetepi lebih menitikberatkan pada ketamyizan mereka. Namun mereka juga berbeda pendapat tentang ketamyizan tersebut.

Mengenai penerimaan hadits bagi orang kafir dan fasik, jumhur ulama hadits menganggap sah, asalkan hadits tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk islam dan bertobat. Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda nabi sebelum mereka masuk islam. Di antaranya adalah sahabat zubair, dia pernah mendengar Rasul membaca surat At Thur pada waktu sembayang maghrib, ketika dia tiba di madinah untuk menyelesaikan urusan perang badar, dalam keadaan masih kafir. Bila penerimaan hadis oleh orang kafir yang kemudian disampaikannya setelah memeluk islam dapat diterima, maka sudah barang tentu dianggap sah penerimaan hadis oleh orang fasik yang diriwayatkannya setelah dia bertobat.
b.      Cara penerimaan hadits
Para ulama ahli hadis menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadis menjadi delapan macam.
1.      As Sima’
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya dengan cara didiktekan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya tersebut. Menurut jumhur ahli hadis bahwa cara ini merupakan cara penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya.
2.      Al Qira’ah Ala As Syaikh atau ‘Aradh Al Qira’ah
Yaitu suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseoang membacakan hadis dihadapkan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedang sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqoh. Para ulama sepakat bahwa cara seperti ini dianggap sah.
3.      Al Ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya. Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara meriwayatkan hadis. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadis dengan menggunakan ijazah dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan, sedang ulama yang memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendaknya sang guru benar-benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan yang lainnya, sehingga seolah-olah naskah terebut adalah aslinya serta hendaknya guru yang memberi ijazah itu benar-benar ahli ilmu.
4.      Al Munawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa al munawalah ialah seorang guru memberi seorang murid kitab asli yang didengar dari gurunya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokan sambil berkata “inilah hadis-hadis yang sudah saya dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah hadis itu dariku dan saya ijazahkah kepadamu untuk diriwayatkan”.

Al munawalah iyu mempunyai dua bentuk yakni al munawalah dibarengi dengan ijazah, cara seperti ini menurut Qodhi Iyad dianggap sah. Dan al munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, menurut kebanyakan ulama cara ini diperbolehkan.
5.      Al Mukhatabah
Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadisnya guna memberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya. Al mukhatabah juga ada yang dibarengi dengan ijazah,kedudukannya sama dengan al munawalah yang dibarengi dengan ijazah yakni dapat diterima. Dan ada yang tanpa ijazah. Dalam bentuk ini diperselisihkan para ulama. Ayub, Mansur, Al Lais, dan tidak sedikit dari ulama Syafi’iyah dan ulama ushul menganggap sah periwayatan dengan cara ini. Sedangkan Al Mawardi menganggap tidak sah.
6.      Al I’lam
Yakni pemberitahuan seorang guru kepada muridnya bahwa kitab atau hadis yang diriwayatkan dia terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberi izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya atau menyuruhnya. Sebagian ulama ahli ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Sholah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadis dengan cara ini, sedangka kebanyakan ulama ahli hadis, ahli fiqih dan ahli ushul memperbolehkannya.
7.      Al Wasiyah
yakni seorang guru ketika akan meninggal atau bepergian meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau bepergian. Pemberian riwayat hadis dengan cara seperti ini oleh jumhur dianggap lemah, sementara Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadis yang diriwayatkan atas jalan wasiat ini.
8.      Al Wijadah
Yakni seseorang memperoleh hadis orang lain dengan cara mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak melalui cara as sama’, al ijazah, atau al munawalah . para ulama berbeda pendapat mengenai cara ini, kebanyakan ahli hadis dan ahli fiqih dari mazhab malikiyah tidak memperbolehkan meriwayatkan hadis dengan cra ini. Imam Syafi’i dan segolongan pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadis yang periwayatannya melalui cara ini.

            2. Periwayatan hadits
            Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa al ada’ ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain. Oleh karenanya ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah tentu mempunyai tanggung jawab yang sangat berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadis juga tergantung padanya, karena itu jumhur ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadis, yaitu sebagai berikut:
            a. Islam
            Pada waktu meriwayatkan suatu hadis, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma, periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini bisa kita bandingkan dengan firman Allah sebagai berikut : “hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang-orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat (49):6)
            b. Baligh
            yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits, walau penerimanya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadits Rasul : “ hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan yaitu : orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun, dan anak-anak sampai dia mimpi”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
            c. ‘Adalah
            yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada diri seseorang yang menyebabkan orang yang memiliki sifat tersebut tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.
            d. Dhabit
            Dhabit ialah teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahan suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu penerimaan hingga menyampaikannya.
            Jalannya mengetahui kedhobitan perawi dengan jalan i’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan.
            Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas, antara perawi dengan perawi yang lain harus bersambung, hadits yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadits-hadists yang lebih kuat ayat-ayat Al-qur’an.[2]
                        3. Hadits-hadis tentang keutamaan dan menyebarkan ilmu
Hadis yang berada di kitab Riyadhussholihinnya Imam Nawawi :
۱۳۸۹وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ:وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًايَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًاسَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.۱۳۹۰- وَعَنْهُ أَيْضًا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: مَنْ دَعَاإِلىٰ هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الاَجْرِمِثْلُ أُجُرِمَنْ تَبِعَهُ لاَيَنْقُصُ ذٰلِكَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْئًا.رَوَاهُ مُسْلِمٌ.۱۳۹۱-وَعَنْهُ قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :إِذَا مَاتَ ابْنُ ﺁدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ:صَدَقَتٍ جَارِيَةٍأَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِأَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَه. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
1389.Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa menempuh jalan utk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.”1390. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa menyeru kepada hidayah maka baginya pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun.”1391. 

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Jika anak Adam mati maka terputuslah semua amalannya melainkan tiga hal; shadaqah jariyyah ilmu yg bermanfaat dan anak shalih yg mendo’akannya.”Ketiga hadits tersebut menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan pengaruh serta dampaknya yg baik.Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Dan barang siapa menempuh satu jalan utk mendapatkan ilmu maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga”. “Menempuh Jalan” disini mencakup: Jalan secara indrawi yaitu jalan yg dilalui kedua kaki seperti sesorang pergi dari rumahnya menuju tempat untuk menimba ilmu baik berupa masjid madrasah ataupun universitas dan lain sebagainya.Dan termasuk hal ini adl rihlah dalam rangka mencari ilmu yaitu seseorang yg rihlah dari negerinya ke negeri lain utk mencari ilmu maka hal ini adalah termasuk menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu.

Sungguh Jabir bin Abdillah Al Anshori radhiallahu ‘anhu seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan rihlah utk mendapatkan satu hadits selama perjalanan sebulan di atas onta beliau menempuh perjalanan dari negerinya ke negeri yg lain selama sebulan untuk mendapatkan satu hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Unais radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad No. 746}

Kedua: Jalan yg bersifat maknawi yaitu mencari ilmu dari pendapat dan perkataan para ulama’ dan kitab-kitab.Maka orang yg menelaah kitab-kitab untuk mengetahui dan mendapatkan hukum permasalahan syari’at walaupun dia duduk diatas kursinya maka ia telah menempuh satu jalan mendapatkan ilmu.Barang siapa duduk dihadapan seorang syaikh dia belajar darinya maka ia telah menempuh jalan utk mendapatkan ilmu walaupun ia duduk.Barangsiapa menempuh jalan tersebut maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga karena dengan ilmu syar’i engkau akan mengerti hukum-hukum Allah Subhanahu wa ta’ala. Engkau mengetahui syari’at Allah apa yg diperintahkan dan apa yang dilarang-Nya sehingga engkau ditunjuki ke jalan yg Allah Azza wa Jalla ridhoi dan menghantarkan engkau ke jannah. Manakala bertambah semangat dalam menempuh jalan yg mengantarkan kepada ilmu maka bertambah pula kemudahan jalan yg mengantarkanmu ke surga.
IV. Kesimpulan
            Dari uraian di atas mengenai penerimaan dan periwayatan hadis,dapatlah ditarik kesimpulan bahwa al-tahammul dan al-‘ada’ merupakan masalah yang cukup berat, baik berkaitan dengan cara bertahammul maupun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-‘ada’.

            Dan dalam hadits diatas terdapat dorongan spirit untuk “tholabul ilmi” tanpa diragukan oleh seorangpun. Maka sudah sepantasnya bagi manusia untuk segera mempergunakan kesempatan.Terlebih bagi pemuda yang dia lebih mampu menghafal dengan cepat lebih kuat melekat pada pikirannya maka sudah sepantasnya untuk bersegera menggunakan waktu dan umurnya sebelum datang masa-masa yg menyibukkan dirinya.Hadits Kedua:Juga dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda” “Barang siapa menyeru kepada petunjuk maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun.” “Barang siapa yang menyeru kepada petunjuk” yaitu dengan mengajarkan ilmu kepada manusia karena da’i kepada Al-huda adalah orang yang mengajarkan kepada manusia dan menjelaskan dan membimbing merekakepada Al haq maka dia mendapat pahala seperti orang yg mengikutinya.Satu contoh: Engkau memberi petunjuk kepada orang agar dia semestinya menjadikan witir sebagai akhir sholat malamnya. Sebagaimana perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :اِجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ فِى الَّيْلِ وِتْرًا“Jadikan akhir sholat kalian di malam hari adalah witir”Engkau menganjurkan dan mendorong untuk sholat witir kemudian ada seseorang yang melakukan witir berdasarkan bimbinganmu maka engkau mendapat pahala seperti dia yaitu orang yang mengetahui hal itu dari kamu dan hal itu bisa mengalir hingga hari kiamat.

V. Penutup
Demikian makalah ini yang dapat kami sampaikan, tentu makalah ini jauh dari sempurna maka kritik dan saran dari saudara-saudara sangat membantu kami. Kurang lebihnya mohon ma’af. waAllahu a’lam bisshoab.

VI. Daftar pustaka
-          Dr. Phil. H. Kamarudin Amin, M. A.,Metode Kritik Hadits, Hikmah Populer, Bandung ,2009.
-          Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadits, Rajawali Pers, Jakarta, 2003
-          An Nawawi, RiyadhusSholihin.



[1] Dr. Phil. H. Kamarudin Amin, M. A.,Metode Kritik Hadits, Hikmah Populer, Bandung ,2009. Hlm : 1.
[2] Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadits, Rajawali Pers, Jakarta, 2003, Hlm : 206. 
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan