Pemikiran Hadits Mushthafa Al-Siba’i

      A.    BIOGRAFI
Musthafa al-Siba’I bernama lengkap Mustafa bin Husni Abu Hasan al-Siba’i. Lahir di Kota Homs, salah satu kota yang ada di Syiria, pada tahun 1915 M, bertepatan dengan tahun 1333 H. Beliau memulai pendidikannya di kampung halamannya, mulai ilmu agama, keorganisasian, maupun politik yang langsung ditimba dari ayahnya, kemudian pada usia ke-18 tahun ia melanjutkan pendidikannya ke al-Azhar Mesir hingga menyelesaikan pendidikan Doktor dalam bidang Syari’ah dan Sejarah Pemikiran Hukum Islam. Di kota inilah pula al-Siba’I memulai perkembangan intelektualnya, dan bahkan terjun ke aktivitas politik dengan bergabung dengan Hasan al-Banna, tokoh Ikhwan al-Muslimin.

Setahun setelah menyelesaikan program doktornya, al-Siba’I pulang ke kampung halamnnya pada tahun 1950. Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang memposisikan dirinya sebagai ahli hukum atau syari’at Islam dan sejarah, yang juga mendudukannya sebagai tokoh yang ahli dalam disiplin hadits dan sejarah, ia aktif mengajar di perguruan tinggi, di organisasi keislaman dan di dunia penerbitan.

Salah satu karya Al-Siba’I  yang sangat monumental dan fundamental serta referensi utama dalam menghadapkan pemikirannya dengan Ahmad Amin adalah as-Sunnah wa Makanatuhafi at-Tasyri’ al-Islami. Pada tahun 1993 buku ini telah diterjemahkan secara lengkap oleh Dja’far Abd. Muchith yang diterbitkan oleh CV. Diponegoro Bandung dengan judul terjemahan al-Hadits sebagai Sumber Hukum. Kemudian pada tahun yang sama, dalam bentuk terjemah ringkas, karya ini juga telah diterjemahkan oleh  Nurcholis Madjid dengan judul Sunnah dan Penerapannya dalam Penetapan Hukum Islam, Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, yang diterbitkan oleh Pustaka Firdaus Jakarta.

Adapun karya-karya lainnya adalah: Isytirakiyatal-Islam, Akhlaquna al-Ijtima’iyyah, al-Qala’id min Fara’id al-Fawa’id, al-Washaya wa al-Fara’id, ‘Azhama’una fi at-Tarikh, Hadza Huwa al-Islam, Min Rawa’I Hadharatina, as-Sirah an-Nabawiyah, tarikhuha wa durusuha, dan masih banyak lagi lainnya. Tokoh ini mengakhiri hidupnya pada tahun 1967 di Syiria.

      B.     PEMIKIRAN MUSHTHAFA AL-SIBA’I
Sebagaimana para ulama’ hadits meletakkan dasar-dasar untuk mengetahui pembagian hadits yang shahih, hasan, dan dla’if, mereka juga meletakkan dasar-dasar untuk mengetahui hadits palsu dan menjelaskan tanda-tanda untuk mengenalinya. Begitu juga dengan Al-Siba’I, dalam pemikirannya tentang hadits, beliau mengungkapkan tentang hadits palsu dan tanda-tandanya. Pertama, tanda-tanda kepalsuan pada sanad, yaitu:[1]
    a.      Jika perawi hadits itu seorang pembohong yang diketahui orang banyak kebohongannya.
    b.      Jika pemalsu hadits itu sendiri mengakui akan pemalsuannya.
   c.       Jika seorang perawi meriwayatkan haditsnya dari seorang syaikh yang tidak dapat dipastikan ia pernah menemuinya atau dilahirkan setelah syaikh itu meninggal, atau tidak pernah pergi ke tempat yang ia akui ia pernah mendengarnya di sana.
   d.     Kepalsuan hadits juga bisa diketahui dari keadaan perawi dan dorongan-dorongan psikologinya.

Kedua, tanda-tanda kepalsuan kepada matan, yaitu:[2]
     a.      Kelemahan kalimat, yaitu sekiranya seorang yang mengetahui makna-makna ungkapan arab mendapatkan kalimat tertentu yang lemah, yang tidak mungkin keluar dari seseorang yang fasih berbahasa atau orang yang ahli uangkapan.
      b.      Lemah dari segi makna, yaitu jika sebuah hadits menyalahi kepastian-kepastian rasional tanpa kemungkinan untuk mena’wilkannya.
     c.       Bertentangan dengan makna jelas atau sharih dari kitab suci al-Qur’an yang sekiranya tidak lagi bisa dita’wilkan.
      d.     Jika hadits itu menyalahi fakta-fakta sejarah yang diketahui di zaman Nabi SAW.
     e.      Jika hadits bersesuaian dengan madzab perawinya, sedangkan ia itu dikenal seorang yang fanatik dan berlebihan dalam kefanatiannya.
      f.        Jika sebuah hadits mengandung sesuatu yang semestinya menyebabkan orang banyak mengutipnya karena terjadi dengan persaksian orang banyak, namun hadits itu tidak dikenal dan tidak ada yang menuturkannya, kecuali hanya seorang.
    g.      Jika sebuah hadits mengandung sifat berlebihan dalam soal pahala yang besar atas perbuatan yang kecil dan berlebihan dalam soal ancaman siksa berkenaan dengan perkara sepele.

Selanjutanya, Al-Siba’I juga menuturkan langkah-langkah untuk membedakan mana hadits yang otentik, cukup baik, dan yang lemah. Adapun langkah-langkah tersebut adalah:[3]
      a.      Pencatatan sunnah, sebagaimana kitab-kitab hadits yang ditulis oleh ulama terdahulu.
      b.      Mengetahui ilmu mushthalahul hadits.
      c.       Mengetahui ilmu jarhu wa al-ta’dil.
       d.     Mengetahui ilmu-ilmu hadits yang lain, meliputi:[4]
    
            -          Mengetahui kejujuran penutur hadits dan kecermatannya, serta konsistennya dan keotentikan tempat pengambilan hadits.
              -          Mengetahui hadits yang musnad.
              -          Mengetahui yang mauquf dari atsar.
              -          Mengetahui para sahabat dan tingkatannya.
              -          Mengetahui hadits-hadits mursal.
              -          Mengetahui hadits yang munqathi’.
              -          Mengetahui sanad yang musalsal.
              -          Mengetahui hadits-hadits mu’an’an.
              -          Mengetahui riwayat-riwayat mu’adldlal.
              -          Mengetahui yang mudarraj (ditingkatkan).
              -          Mengetahui tentang para tabi’in.
              -          Mengetahui putra-putri sahabat.
              -          Mengetahui yang shahih dan yang cacat.
              -          Mengetahui fiqhul hadits (pemahaman hadits).
              -          Mengetahui nasikh dan mansukh.
              -          Mengetahui hadits yang masyhur.
              -          Mengetahui hadits afrad.
              -          Mengetahui almudlisun (mencampuradukkan sanad).
              -          Mengetahui cacat-cacat hadits.
              -          Mengetahui sunnah yang bertentangan.
         -          Mengetahui hadits-hadits yang dari sudut manapun tidak mengandung pertentangan.
-          mengetahui adanya tambahan-tambahan kata-kata fiqhiyyah (penjelasan).
              -          Mengetahui madzab para ahli hadits.
              -          Mengetahui kesalahan ejaan dalam matan.
              -          Mengetahui kesalahan ejaan dalam sanad.

         C.    PENUTUP
               a.      Kesimpulan
Demikian pemikiran Mushthafa al-Siba’I tentang hadits. Yang jelas, ia menjelaskan tentang bagaimana cara mengetahui hadits palsu dan apa tanda-tandanya. Kemudian ia juga menyebutkan tentang bagaimana cara untuk mengetahui otentisitas hadits, hadits yang cukup baik, dan hadits yang lemah.

       b.     Rekomendasi
Demikian makalah ini kami susun, demi memenuhi tugas mata kuliah Hadits kontekstual. Kami sadar dan yakin bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang konstruktif dari kawan-kawan sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ke depan. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amiin

       D.    Sumber Bacaan
Musthafa al-Siba’I, Sunah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, pnerj: Nurcholis Majid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991).



[1] Musthafa al-Siba’I, Sunah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, pnerj: Nurcholis Majid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hal. 64-66.
[2] Ibid, hal. 66-71.
[3] Ibid, hal. 73-80
[4] Ibid, hal. 84-94
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan