Perzinaan

I.                    PENDAHULUAN
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang diberi kepercayaan untuk mengelola bumi ini sebagai kholifah-Nya. Oleh karenanya, keberadaaan manusia senantiasa berkelanjutan. Dalam kaitan inilah manusia diberi kemampuan untuk melakukan hubungan seksual demi terjadinya proses regenerasi jenis manusia secara berkelanjutan. Atau dengan istilah lain, seksualitas merupakan media proses universal dalam konteks pelestarian ciptaan-Nya. Bukan hanya itu, kenikmatan seksual dalam Islam sangat diperhatikan sebagai sesuatu yang diistimewakan. Makanya, hidup dengan pasangan yang sah (menikah)lebih mendapat penghormatan daripada hidup membujang.
Dengan demikian, akad nikah pada hakikatnya sebagai sarana yang benar, terhormat, dan mertabat bagi setiap umat manusia dalam rangka menyalurkan hasrat biologisnya. Di sinilah, Islam melarang segala bentuk hubungan seksual yang tidak dilakukan secara benar dan bermartabat, seperti zina, sodomi, dan sejenisnya. Sebab di samping melanggar aturan agama, juga tidak sesuai dengan posisi manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan terhormat. Bahkan, perzinaan oleh agama-agama samawi dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan terbesar dan terkotor terhadap kemanusiaan, sekaligus pangkal timbulnya kehancuran bagi sendi-sendi kemasyarakatan[1].
II.                  RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian zina
B.     Hukum melakukan zina
C.     Had zina

III.                PEMBAHASAN
A.    Pengertian zina
Secara kebahasaan term zina berasal dari kata zana-yazni, dengan kata jadiannya  di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 9 kali, yang berarti menyetubuhi seorang perempuan tanpa akad nikah yang sah.[2] Di kalangan ulama definisi ini sudah maklum adanya. Namun, di antara mereka ada yang menambahkan, bahwa keduanya sudah baligh (dewasa). Karena itu, jika salah satunya belum baligh, maka hukum zina hanya ditujukan kepada yang sudah baligh. Ada juga yang menambahkan, bahwa hubungan seksual yang tidak sah itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Sehingga, dalam kasus pemerkosaan, yang menempatkan had zina hanya yang memperkosa, jika memang terbukti.
Terkait dengan pengertian zina ini, para ulama berbeda pendapat tentang liwat (hubungan seksual melalui jalan belakang/sodomi), apakah ia termasuk zina atau bukan?
Menurut sebagaian ulama, liwat termasuk zina, yakni bukan dari sisi perbuatannya tetapi dari segi surah (praktik) dan makna (kategorisasinya). Dari segi praktiknya, liwat juga memasukkan kemaluan ke dubur. Dalam hal ini, “dubur” juga dianggap fajr yang makna generiknya adalah sesuatu yang terbuka. Sedangkan dari segi kategorisasi bahwa liwat adalah salah satu bentuk kesenangan yang dilarang oleh syara’, sebagaimana zina. Makanya, al-Razi mendefinisikan zina sebagai suatu istilah untuk menggambarkan masuknya kemaluan kepada orang lain, atas dasar kesenangan semata yang dilarang agama.[3]
Meski begitu, mayoritas ulama tetap menganggap keduanya, zina dan liwat, sebagai dua hal yang berbeda, walaupun keduanya sama-sama dianggap perbuatan buruk dan kotor. Argumentasinya adalah bahwa secara umum hubungan seksual melalui jalan belakang dikatakan liwat bukan zina, dan para sahabat berbeda pendapat dalam status hukum liwat, padahal mereka sangat paham tentang karakter bahasa Arab. Artinya, jika para sahabat bersepakat tentang status hukum liwat seperti zina, maka mereka tinggal menetapkan had (hukumannya) dengan merujuk langsung kepada ayat.[4]
Di samping itu term zina juga digunakan dalam berbagai kasus, antara lain, zina tangan, zina mata, dll.[5] Begitu juga, menganalogikan dubur dengan fajr juga tidak tepat sebab tidak setiap yang berlobang di dalam anggota tubuh kita disebut fajr, misalnya mulut, telinga, mata dan lain-lain.[6] Sementara terkait dengan hukum liwat, di kalangan mazhab Syafi’i terbagi dalam dua kelompok, yaitu: a. dikenakan hukuman seperti zina atau b. pelakunya dibunuh.
B.     Hukum melakukan zina
Sedangkan terkait dengan status hukum zina, seluruh ulama sepakat menghukumi haram, bahkan zina dianggap sudah mencapai puncak keharaman. Hal ini bisa dipahami dari firman Allah:
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ    
32. dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (al-Isra’/ 17:32)
Penggunaan redaksi “jangan kamu mendekati zina,” menurut al-Qaffal, adalah lebih kuat dibanding redaksi “jangan lakukan zina,” hal ini sekaligus memperkuat status zina sebagai sesuatu yang sangat dilarang. Di samping itu, redaksi tersebut juga mencakup perilaku apa saja yang bisa menyebabkan terjadinya perzinaan, misalnya, larangan berkhalwat atau berduaan antara laki-laki dan perempuan di tempat yang dapat menimbulkan syahwat birahi.[7] Zina juga merupakan salah satu bentuk israf (perilaku melampaui batas) dalam konteks pemanfaatan potensi seksual.[8]
Di samping itu, ayat tersebut mesikpun tidak menggunakan bahsa yang jelas dan tegas terkait dengan keharaman zina, namun penyebutan dua alasan di atas sebenarnya sudah cukup menjadi bukti atas status hukum zina, yakni haram. Sebab kata Fahisyah di dalam bahasa Arab digunakan untuk menunjukkan perbuatan buruk dan kotor yang paling puncak.[9] Apalagi ditambah dengan inna (sebagai ta’kid), maka semakin sempurnalah keharaman zina tersebut.[10] Penyebutan dua alasan ini juga dimaksudkan untuk mempertegas bahwa larangan zina bukan kepentingan Allah, tetapi demi kemashlahatan manusia itu sendiri baik di dunia, antara lain, demi menjaga kehormatan nasabnya, maupun akhirat.[11]
C.    Had zina
Had (hukuman) zina secara eksplisit disebutkan oleh Al-Qur’an:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ  
2. perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (an-Nur/24:2)
Ayat ini secara tegas menyebutkan bahwa setiap pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan, hukumannya dicabuk sebanyak 100 kali. Namun, para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah hukuman tersebut hanya terkait dengan orang dewasa atau termasuk juga anak-anak. Dalam hal ini penulis lebih cenderung kepada yang berpendapat bahwa hukum zina hanya diperuntukkan bagi orang dewasa. Alasannya adalah setiap taklif (beban agama) baik perintah maupun larangan hanya diberlakukan bagi mereka yang sudah akil baligh (dewasa). Oleh karena itu, jika salah satunya belum baligh, maka yang dikenai hukuman zina hanya yang sudah baligh. Pendapat ini diperkuat oleh penjelasan para ulama, bahwa hukuman zina hanya diperuntukkan kepada mereka yang memenuhi kriteria berikut ini:[12]
1)      Berstatus Bikr, yaitu wanita yang masih gadis, termasuk di dalamnya seorang perjaka, atau muhsan yaitu lelaki maupun wanita yang pernah melakukan hubungan hubungan seksual melalui nikah yang sah, meskipun  ia sudah cerai.
2)      Sudah mukallaf, yaitu seorang laik-laki atau perempuan merdeka dan akil baligh (dewasa).
Di samping itu, ayat di atas hanya menyebutkan satu jenis hukuman zina, yakni 100 kali cambukan, yang disepakati hanya diperuntukkan bagi seorang gadis atau perjaka yang melakukan zina. Bahkan, dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa keduanya harus diasingkan selama satu tahun.[13] Padahal Islam juga menganal hukum rajam yang diperuntukkan bagi laki-laki atau wanita yang sudah pernah menikah. Terkait dengan hukum rajam, ada persoalan yang muncul, siapa yang yang menetapkan hukum rajam ini, Allah atau Rasul? Jika Allah yang menetapkan, kenyataanya tidak ditemukan ayatnya di dalam al-Qur’an. Dan jika ditetapkan oleh Rasulullah, kenapa hukumannya lebih berat dibanding A-Qur’an? Menurut sebuah riwayat, bahwa hukuman rajam juga ditetapkan oleh Al-Qur’an, meskipun bacaannya telah dinaskh.[14] Artinya, pelaksanaan rajam yang pernah dilakukan Rasulullah, harus dipahami sebagai bentuk pengalaman beliau dari ayat rajam tersebut.
Hanya saja, menurut para ulama, pelaku zina akan dikenakan had jika memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: baligh, berakal sehat, beragama Islam, dalam keadaan sadar (tidak terpaksa), yang dizinai sudah dewasa dan masih hidup, mengetahui status hukum zina, bukan di tempat pelacuran, diputuskan melalui persidangan.[15]
IV.                KESIMPULAN
a.       Pengertian zina ialah menyetubuhi seorang perempuan tanpa akad nikah yang sah, sudah baligh (dewasa) dan dilakukan atas dasar suka sama suka.
b.       Hukum perbuatan zina dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 32.
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ    
Di dalam ayat tersebut secara ekspilit mengungkapkan kuatnya atas keharaman melakukan perbuatan zina. Terbukti dari lafadz yang terdapat dalam ayat tersebut yaitu: fahisyah, dalam bahasa Arab merupakan perbuatan kotor dan buruk dalam tingkatan tinggi keburukannya. Ditambah dengan adanya inna sebagai ta’kid (penguat).
c.       Had (hukuman) zina.
Hukum zina hanya diperuntukkan bagi orang dewasa. Dengan pembagiannya sebagi berikut:
·         Pelaku zina ghairu muhson dihukum dengan 100 cambukan serta diasingkan selama satu tahun
·         Pelaku zina muhson diputuskan adanya suatu pengadilan, atas persoalan dinaskhnya hukum rajam dalam bacaan Al-Qur’an. Namun diharapkan dijadikan suatu pelajaran atas adanya hukum rajam pada zaman Rasulullah.
V.                  PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami buat dalam memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ayat Mu’amalah. Adapun kesalahan dalam isi maupun redaksi, kami ucapkan maaf yang sebesar-besarnya. Dengan berakhirnya tugas ini kami ucapkan terimakasih. Semoga setelah ini kami lebih semangat dan gigih dalam mencari ilmu Allah untuk seterusnya. Amin



DAFTAR PUSTAKA
RI, Departemen Agama, kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir Al-Qur’an Tematik), Jakarta: 2009. Cet Pertama. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.



[1] Departemen Agama RI, kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir Al-Qur’an Tematik), Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Jakarta: 2009. Cet Pertama. h. 302-303
[2] Al-Isfahani, al-Mufradat, pada term zana, h. 215
[3] Ar-Razi, Mafatihul-Ghaib, jilid 11, h. 218.
[4] Ar-Razi, Mafatihul-Ghaib, jilid 11, h. 218.
[5] كتب على ابن ادم نصيبه من الزنا مدرك ذلك لا محالة فالعينان زناهما النظر والاذنان زناهما الاستماع واللسان زناه الكلام واليد زناها البطش والرجل. زناها الخطا والقلب يهوى ويتمنى ويصدق ذلك الفرج ويكذبه (رواه البخار عن انس)
[6] Ar-Razi, Mafatihul-Ghaib, jilid 11, h. 218.
[7] Ar-Razi, Mafatihul-Ghaib, jilid 10, h. 42 dan Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anAzim, (al-Maktabah asy-Syamilah), jilid 5, h. 72.
[8] Al-Biqa’i, Nazmud-Durar, (al-Maktabah asy-Syamilah), jilid 5, h. 60.
[9] Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, (al-Maktabah asy-Syamilah), jilid 3, h. 441.
[10] Ibnu Asyur, at-Thur, (al-Maktabah asy-Syamilah), jilid 8, h. 223 dan Ar-Razi, Mafatihul-Ghaib, jilid 10, h. 42.
[11] Al-Biqa’i, Nazmud, jilid 5, h. 60.
[12] Ibnu Katsir, tfasir Al-qur’an al-Azim, (Maktabah Asy-Syamilah), jilid 6, h. 5.
[13] Shahihul Bukhori, kitab Az-Zina, bab man amara ghair al-imam bi iqamah al-badd ghaiba ‘anhu.
[14] Lihat as-Sabuni, Mukhtasar, jilid 2, h. 581.
[15]Terkait dengan perbedaan ulama tentang persyaratan ini lihat Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, (Syria: Darul Fikr, 1997), cet ke-4, jilid 7, h. 5360.
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan