Tafsir Ayat Sosial

I.             PENDAHULUAN
Manusia adalah “makhluk sosial.” Ayat kedua dari wahyu wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw. Dapat dipahami sebagai salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut. Khalaqal insan min alaq bukan saja diartikan sebagai “menciptakan manusia dari segumpal darah” atau “sesuatu yang berdempet di dinding rahim,” tetapi juga dapat dipahami sebagai “diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepadapihak lain atau tidak dapat hidup sendiri.”[1]
II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Dalil beserta penafsiran perbuatan-perbuatan sosial:
1.   Etika bertetangga
2.   Musyawarah

III.        PEMBAHASAN
1.      Etika bertetangga
“Etika”  ialah ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral ( akhlak).  Kata tetangga berasal dari lafadz الجيرا ن yakni jama’ dari lafadz  رالجا. Dalam Kamus Besar Indonesia “Tetangga” mempunyai arti orang ( Rumah) yang saling berdekatan, atau saling bersebelahan. Al Asfihani mendefinisikan Tetangga adalah orang yang rumahnya dekat dengan kita atau penghuni yang tinggal di sekeliling rumah kita, sejak rumah pertama hingga pada jumlah empat puluh ( HR. Abu Dawud ). Ada yang berpendapat, tetangga tidak dibatasi pada jumlah empat puluh. Yang jelas,apa yang dipraktekan di sekitar kita dengan adanya RT atau RW. Karena itu yang dinamakan tetangga, dan tetangga bisa meliputi satu komplek perumahan ataupun bahkan lebih. [2]
Al- Qur’an menjelaskan bahwa tetangga itu ada dua macam, yaitu tetangga dekat dan tetangga jauh. Tetangga dekat adalah orang yang memiliki kedekatan tempat tinggal,kerabat dan seagama, sedangkan tetangga jauh adalah yang jauh tempat tinggalnya, tidak kerabat dan tidak seagama.[3]
Mengenai hal ini Allah SWT berfirman dalam Suratnya An-Nisaa’ : 36
* (#rßç6ôã$#ur ©!$# Ÿwur (#qä.ÎŽô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷ƒr& 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä `tB tb%Ÿ2 Zw$tFøƒèC #·qãsù ÇÌÏÈ  
Artinya : Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” ( QS. An-Nisaa’ : 36 )[4]
Pada kalimah ) وبا لوالدين احسا نا) al-Maraghi menafsirkan untuk berbuat baik kepada orang tua dan melarang kita untuk tidak sedikitpun meremehkan tuntutan-tuntutan dari orang tua, karena orang tualah kita terlahir dan ada hingga sekarang ini, dan mereka juga telah memelihara kita dengan penuh kasih sayang dan ikhlas.
Allah berfirman  QS. Al-Israa’ : 23-25
* 4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ   ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u­/u #ZŽÉó|¹ ÇËÍÈ   ö/ä3š/§ ÞOn=÷ær& $yJÎ/ Îû ö/ä3ÅqàÿçR 4 bÎ) (#qçRqä3s? tûüÅsÎ=»|¹ ¼çm¯RÎ*sù tb%Ÿ2 šúüÎ/º¨rF|Ï9 #Yqàÿxî ÇËÎÈ   
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, Maka Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat. (QS. Al-Israa’ 23-25 )
Yang dijadikan pegangan ialah apa yang ada di dalam hati anak, yakni berupa niat untuk berbakti dan berbuat kebaikan dengan keikhlasan dalam melakukan semua itu, dengan syarat kedua orang tua tidak membatasi kemerdekaan anak dalam menjalankan urusan-urusan pribadi atau rumah tangganya, dan tidak pula dalam perbuatan khusus yang berkaitan dengan agama dan negaranya. Apabila terjadi demikian maka bukanlah suatu kebaikan untuk melaksanakan pendapat mereka, karena hanya mengikuti keinginan nafsu mereka.
 ( وبذى القربى), bergaullah dengan baik bersama orang yang paling dekat kepada kalian, setelah orang tua. Apabila seseorang itu telah melaksanakan hak-hak Allah, maka benarlah akidahnya, dan baik sagala amalnya. Apabila telah memenuhi hak-hak orang tua, maka baiklah urusan rumah tangganya dan keluarganya; apabila keadaan rumah tangga telah baik, maka hal itu merupakan suatu kekuatan yang besar, dan apabila dia menolong kaum kerabatnya, maka masing-masing di antara mereka akan mempunyai kekuatan lain yang saling tolong-menolong bersama keluarga ini. dengan demikian seluruh umat akan saling tolong-menolong dan mengulurkan bantuannya kepada orang-orang yang membutuhkannya, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat diatas.
( واليتمى والمسكين), yakni anak-anak yatim yang memerlukan bantuan, karena ia kehilangan penolongnya, yaitu bapak. Sedangkan ibu, walau bagaimanapun luas pengetahuannya, jarang sekali dapat mendidiknya dengan sempurna. Maka, bagi orang-orang yang mampu, berkewajiban membantu pendidikannya. Jika tidak, maka adanya mereka ( anak-anak yatim ) dalam masyarakat akan menjadi beban karena kebodohannya dan kerusakan akhlaknya.
Demikian orang-orang miskin; keadaan masyarakat tidak akan teratur, jika mereka tidak diperhatikan dan keadaan mereka tidak diperbaiki , maka akan menjadi beban masyarakat. Mereka disini terbagi dalam dua golongan :
a). orang miskin yang ma’zur ( dikarenakan udzur). yakni orang yang kemiskinannya disebabkan oleh kelemahan dan ketidakmampuannya dalam mencari nafkah, atau disebabkan karena terjadi bencana alam yang memusnahkan hartanya. Orang seperti ini wajib dibantu dengan harta untuk menutupi kebutuhannya, dan menolongnya untuk mendapatkan mata pencaharian.
b). orang miskin yang ghoiru ma’zur ( tidak akan dikenakan udzur ). Yakni orang yang kemiskinannya disebabkan oleh perbuatan yang suka memboroskan dan menyia-nyiakan harta. Orang seperti ini cukup dengan diberi nasihat dan petunjuk untuk mendapatkan mata pencaharian.
( والجا رذى القر بى والجار الجنب). Tetangga adalah satu macam dari kaum kerabat, karena dekatnya tempat. Kadang-kadang orang lebih cinta kepada tetangga dekatnya daripada kepada saudaranya seketurunan. Oleh karena itu, hendaknya dua keluarga bertetangga saling tolong-menolong, membina kasih sayang dan kebaikan antar mereka. Islam telah menganjurkan supaya bergaul dengan baik bersama tetangga, meski ia bukan muslim. Nabi Muhammad SAW pernah menjenguk anak tetangganya yang sedang sakit, padahal ia seorang yahudi.
Asy- Syaikhani meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW, Bersabda :
من كان يؤ من با الله واليوم الاخر فليحسن إلى جاره .
“ Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.”
 Penghormatan terhadap tetangga sudah menjadi tabiat bangsa arab sebelum islam, kemudian islam menguatkannya dengan ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan As-Sunnah, seperti mengirim hadiah kepadanya, mengundang untuk makan bersama, berziarah, menjenguknya apabila sakit.
(والصا حب با لجنب) . yang dimaksud adalah teman dalam perjalanan dan orang asing yang mengharapkan bantuan serta pertolongan kita.
( وابن السبيل). Orang yang sedang mengadakan perlawatan untuk tujuan yang benar dan tidak haram. Yang termasuk dalam kategori ibnu sabil adalah anak yang hilang, dia lebih patut diperhatikan dan berhak mendapatkan santunan daripada anak yatim. Jika tidak diperhatikan seperti itu, tentulah anak-anak tersebut akan menjadi beban, yang Bahayanya dapat tersebar dalam masyarakat luas. Sungguh kita lebih berhak untuk memberikan santunan daripada mereka, karena Allah telah menjadikan di dalam harta kita suatu hak tertentu bagi orang yang minta-minta dan miskin.[5]
Dan pada intinya kandungan Surat An-Nisaa’ ayat 36 ini menjelaskan tentang beberapa perintah Allah kepada manusia secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal maksudnya ialah hubungan kita sebagai hamba dengan Allah SWT sebagai sang pencipta,  sedangkan secara horizontal ialah hubungan kita dengan sesama manusia. Perintah yang secara vertikal di sini yang disebutkan di dalam ayat adalah beribadah menyembah Allah, menaati segala urusan yang baik dan tidak Musyrik ( tidak berpaling dari-Nya). Sedangkan perintah yang horizontal meliputi; berbuat baik kepada orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-oorang miskin, tetangga, baik dengan tetangga dekat maupun tetangga jauh, teman sejawat ( baik dalam perjalanan maupun dalam kehidupan sehari-hari, seperti istri dan siapapun yang selalu menyertai seseorang di rumahnya, termasuk para pembantu rumah tangga ), ibnu sabil ( seperti anak-anak jalanan dan orang yang habis bekalnya, sedang ia masih dalam perjalanan ) dan hamba sahaya.[6]

2.      Musyawarah
Dalam surat Asy-Syura (42):38, Allah menyatakan bahwa orang Mukmin akan mendapat ganjaran yang lebih baik dan kelak di sisi Allah. Adapun yang dimaksud dengan orang Mukmin itu adalah:
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ  
38. dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizeki yang Kami berikan kepada mereka.
Ayat ke tiga ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Anshor) yang bersedia membela Nabi Saw. Dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.
Ayat Ali Imran yang menyuruh Nabi Saw. Melakukan musyawarah , menggunakan kata al-amr ketika memerintahkan bermusyawarah (Syawirhum fil amr) yang diterjemahkan penulis dengan “persoalan/urusan tertentu.” Sedangkan ayat Asy-Syura menggunakan kata amruhum yang terjemahannya adalah “urusan mereka.”
Kata amr dalam al-Qur’an ada yang dinisbatkan kepada Tuhan dan sekaligus menjadi urusan-Nya semata, sehingga tidak ada campur tangan manusia pada urusan tersebut.
Sebagian pakar tafsir membatasi masalah permusyawarahan hanya untuk yang berkaitan dengan urusan dunia, bukan persoalan keagamaan. Alasannya karena dengan adanya perubahan sosial, sebagian masalah keagamaan belum ditentukan penyelesainnya di dalam al-Qur’an maupun sunnah.
Dari sini disimpulakan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya Tuhan secara tegas dan jelas, baik langsung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti misalnya tata cara ibadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoalan kehidupan duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa  peunjuk dan yang mengalami perkembangan dan perubahan.
Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi dan sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat)di dalam beberapa persoalan pribadi atau keluarga. Salah satu kasus keluarga yang beliau musyawarahkan adalah kasus fitnah terhadap istri beliau Aisyah. R.a yang digosipkan telah dinodai kehormatan rumah tangga. Ketika gosip tersebut menyebar, Rasul bertanya kepada sekian orang sahabat/keluarga.
Walhasil kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi[7].

IV.             PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, mohon saran yang membangun dan semoga bermanfaat. Amin.


DAFTAR PUSTAKA
Al- Maraghi, Ahmad Musthofa Tafsir Maraghi, terj. , juz v, Semarang : PT. TOHA PUTRA, 1993
Ghofur, Waryono Abdul Tafsir Sosial, Yogyakarta: elSAQ Press, 2005
Shihab, M. Quraish Wawasan al-Qur’an, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013, Edisi ke-2.



[1] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013, Edisi ke-2. Hal 421-422
[2] Waryono Abdul Ghofur, Tafsir Sosial, Yogyakarta: elSAQ Press, 2005, hal. 159
[3] Waryono Abdul Ghofur, hal.163
[4] QS. An-Nisaa’ 36
[5] Ahmad Musthofa Al- Maraghi, Tafsir Maraghi, terj. , juz v, Semarang : PT. TOHA PUTRA, 1993, hal.
51-57
[6]Waryono Abdul Ghofur, hal.160
[7] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013, Edisi ke-2. Hal 627-631.
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan