I.
PENDAHULUAN
Di bidang pemikiran, Islam tradisional
adalah suatu ajaran yang berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, yang diikuti
oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah dipraktekkan oleh komunitas Muslim
(Ahlu al Sunnah wa al Jama’ah), memegang dan mengembangkan ajaran fiqh
scholastic madzhab empat. Sayyed Hossein Nasr mencatat salah satu kriteria pola
keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata rantai
kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber
ajaran. Dalam bahasa Fazlur Rahman, kelompok tradisional adalah mereka yang
cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh ulama’
terdahulu.[1]
Dengan karakter demikian,
tradisionalisme Islam menjadi sasaran kritik
gerakan modernisme Islam yang menolak sama sekali
produk-produk intelektual yang menjadi landasan
konstruksi tradisionalisme, sehingga–sampai tahapan
tertentu–tradisi pemikiran klasik ditinggalkan, dan
yang dominan adalah keterpesonaan terhadap
berbagai aliran pemikiran Barat. Tendensi kaum
modernis yang menolak produk dialektika
Islam dengan tradisi lokal belakangan ini mengalami titik jenuh yang
sebabnya antara lain karena sempitnya wahana intelektual yang
hanya berorientasi pada al-Qur’an dan Sunnah serta
irrelevansi yang semakin nyata-kentara dengan kultur
keislaman di Indonesia.
Dalam konteks demikian, pada
pertengahan tahun 1990-an berkembang wacana pemikiran
keislaman yang kembali menghargai khazanah pemikiran Islam klasik. Mula-mula
yang menjadi rujukan arus baru dinamika pemikiran keislaman ini adalah
pemikiran FazlurRahman yang diidentifikasi sebagai
neo-modernisme Islam yang berusaha mencari sintesis
progresif dari rasionalitas modernis dengan
tradisi Islam klasik.
Meskipun neo-modernisme berusaha
untuk memadukan modernisme dengan tradisionalisme,
namun–oleh kalangan tertentu–dinilai gagal keluar
dari hegemoni modernisme dan menjadikan
tradisionalisme sekadar ornamen sejarah dan
bukan spirit transformasi sosial. Dalam konteks
demikian, lahir genre baru pemikiran Islam yakni
post tradisionalisme Islam yang secara
teoretik berusaha menjadikan unsur tradisional
tidak sekadar sebagai ornamen sejarah dan
menjadikan tradisionalisme sebagai basis untuk
melakukan transformasi sosial.[2]
II.
RUMUSAN MASALAH
a. Pengertian Post Tradisionalisme Islam
b. Membaca Gerak Post-Tradisionalisme Islam
III.
PEMBAHASAN
a.
Pengertian Post Tradisionalisme Islam
Pemikiran Islam di Indonesia dalam seperempat abad
terakhir telah mengalami kemajuan yang berarti melalui pengkayaan tema yang
tidak bisa dibilang konservatf. Tema itu tidak lagi berputar-putar pada mata
rantai teosentrik, melainkan telah
memasuki ruang yang betul-betul bersifat kultural, teologis
–antroposentrik, dan filosofis-sosiologis,
dimana pemikiran itu hadir. Ini tentu satu fase perkembangan baru yang
membedakan dengan puluhan tahun sebelumnya yang memiliki kecenderungan kuat
menjadikan Islam sebagai perjuangan politik ideologis di negeri ini, yang
memaksa Islam harus dihadapkan dengan ideologi-ideologi lain seperti nasionalisme dan sosialisme.
Dari tema-tema itu terlihat kegairahan berfikir kritis dan “orisinal” melalui penawaran pemikiran baru yang signifikan dan
bermutu, yang tidak saja mendinamisasi kinerja intelektual di Indonesia,
melainkan juga bisa disejajarkan dengan pemikir islam lainnya dibelahan bumi
ini. Satu hal yang menarik adalah, bahwa pemikiran keislaman tersebut lahir dan
berkembang di dalam lingkungan iklim politik sosial dan Orde Baru. Padahal pada
masa itu seperti yang kita tahu, tak seorang pun yang mengakui bahwa Orde Baru
itu demokratis dan menyediakan ruang publik (public sphere) yang cukup
bagi tumbuh-kembangnya budaya perbedaan pendapat.[3]
Postra
kali pertama muncul ketika ISIS (Institute
for Social and Institutional Studies), sebuah LSM yang dikelola
anak-anak muda NU di Jakarta, menyelenggarakan sebuah diskusi uuntuk
mengamati munculnya gairah baru intelektual dikalangan anak muda NU pada Maret
2000 di Jakarta. Gema dari waca ini terus meluas terutama setelah LKiS
menjadikan “postra” sebagai landasan ideologisnya dalam strategi planning pada Mei 2000 di
Kaliurang Yogyakarta. Ideologi itu pula yang menjadi judul buku terjemahan
Ahmed Baso atas sejumlah artikel Muhammad Abed Al-Jabiri. Sampai disini
meskipun kata postra tersebar, namun belum ada tanggungjawab secara ilmiyah
mengenai basis epistimologis istilah tersebut. Buku terjemahan Ahmad Baso,
meskipun memakai kata “Post-Tradisionalisme Islam” namun didalamnya tidak
menjelaskan sama sekali apa sebenarnya makna dari postra itu sendiri. Beberapa
bulan kemudia beberapa aktivis ISIS, Muh. Hanif Dhakiri dan Zaini Rahmad
memberi sedikit “muatan” dengan menerbitkan buku berjudul “Post-Tradisionalisme Islam, Menyingkap Corak
dan Gerakan PMII. (Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000). ISIS
kemudian menerbitkan sebuah bulletin yang diberinama “postra”. Wacan “postra”
semakin matang ketika LAKPESDAM NU melakukan kajian yang agak serius mengenai
tema ini dalam jurnal Taswirul
Afkar No. 9 Tahun 2000. Setelah itu postra telah benar-benar
menjadi waca public dan banyak diperbincangkan orang dalam berbagai diskusi,
seminar, dan juga liputan media massa.
Tradisi
adalah sesuatau yang hadir dan menyertai kita, yang berasal dari masa lalu,
apakah itu masa lalu kita atau masa lalu orang lain, ataukah masa lalu tersebut
adalah masa laulu yang jauh maupun yang dekat.
Definisi
diatas, seperti yang kita lihat sendiri tentu masih bersifat umum. Ia
mencakup:1) tradisi maknawi, yang berupa tradisi pemikiran dan budaya, 2)
tradisi material, seperti momentum atau benda-benda masa lalu, 3) tradisi
kebudayaan nasional, yakni segala yang kita miliki dari masa lalu kita, dan
juga 4) tradisi kemanusiaan yang universal, yakni yang hadir ditengah kita
namun berasal dari masa lalu orang lain. Sebagaimana lazimnya, sebuah tradisi
berkaitan dengan masa laulu dan tetap hidup dimasa kini.
Sebuah
tradisi tidak hanya berkaitan dengan masa lalu yang jauh dari kita, tapi
juga masa lalu yang dekat dari kita. Masa lalu yang dekat itu senantiasa
berhimpitan dengan masa kini, dan masa kini adalah medium yang sempit spektrumnya. Dengan demikian semuanya
disebut tradisi, bila berkaitan dengan sesuatu yang ada ditengah kita dan
menyertai kekinian kita.
Jadi
tradisi merupakan sesuatu yang essensial.
Tradisi tidak bisa dipisahkan dalam hubungan masa lalu dan masa
yang akan datang. Karena masa-masa tersebtu senantiasa berhimpitan dan
berurusan dengan yang namanya tradisi. Kembali lagi dalam pembahasan kita yakni
tentang pengertian Post-Tradisionalisme
Islam. Setelah panjang lebar dijelaskan diatas mengenai pengertian
tradisi yang mana pengertian dari tradisi ini nanti akan berkaitan dengan apa
yang akan kita bahas selanjutnya.
Dengan
demikian, Post-Tradisionalisme Islam menjadikan
tradisi sebagai basis epistimologinya,
yang ditransformasikan
secara meloncat, yakni pembentukan tradisi baru yang berakar pada tradisi
miliknya dengan jangkauan yang sangat jauh untuk memperoleh etos progresif dalam transformasi dirinya.[4]
Atau dengan kata lain Post-Tradisionalisme
adalah satu aras baru pemikiran yang sedang marak di Indonesia, label gerakan
pemikiran ini, sejauh yang penulis tahu sering dilekatkan pada tubuh kaum muda
NU. Post-Tradisionalisme Islam lahir sebagai inovasi dan kreatifitas
intelektual muda Islam Indonesia hasil pembacaan dan pergelutannya dengan para
pemikir Islam mutakhir, terutama yang menjadi pioneer intelektual Islam seperti
Muhammad Arkoun, Nashr Hamid Abu-Zayd, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer dan
Muhammad Abid al-Jabiri. Para pemikir tersebut memiliki ciri khas, yakni
tidak hanya akomodatif dan apresiatif terhadap tradisi, yang di barengi kegairahan
untuk memperbaharui, tetapi sekaligus juga memiliki komitmen sosial yang
tinggi. Sedangkan yang dimaksud dengan kaum muda NU adalah para
mahasiswa/ pemuda yang tergabung dalam organisasi dibawah naungan NU baik
secara struktural maupun secara kultural.[5]
b.
Membaca Gerak Post-Tradisionalisme Islam
Sebagaimana
diketahui bersama, Fazlur Rahman, intelektual Islam berkebangsaan Pakistan,
berpandangan bahwa sejarah gerakan pembaruan Islam selama dua abad terakhir
dapat di bagi ke dalam empat gerakan pemikiran, yaitu: [1] Gerakan ke-19
yaitu gerakan Wahhabiyah di Arab, [2]
Gerakan Modernis, yang dipelopori di
India oleh Sayyid Ahmad Khan dan di seluruh Timur Tengah oleh Jamaludin
al-Afghani dan di Mesir oleh Muhammad Abduh, [3] Neo-Revivalisme, yang ‘modern’ namun agak reaksioner, dimana
al-Maududi beserta kelompok Jama’ati Islami-nya di Pakistan merupakan contoh
terbaik, dan terakhir [4] Neo-Modernisme,
Fazlur Rachman sendiri mengkategorikan dirinya ke dalam wilayah terakhir ini
dengan alas an karena Neo-Modernisme, mempunyai sintesis progresif dari rasionalitas-modernis
dengan ijtihad dan tradisi klasik.
Sejauh ini,
kita memang belum menemukan basis epistemologi dari Post-Tradisionalisme Islam.
Istilah ini muncul untuk menamai suatu gerakan yang nemiliki ciri-ciri khusus,
yang secara kategorial tidak bisa disebut Modernis, Neo-Modernis, dan tidak
bisa pula dikatakan tradisionalis atau Neo-Tradisionalis, sebagai mana
yang di ekspresikan kalangan kaum muda NU tadi. Istilah ini memang masih debatable,
belum mmiliki gambaran epistemologis yang jelas. Akan tetapi secara
simplistik, gerakan Post-Tradisionalisme dapat dipahami sebagai suatu gerakan “lompatan tradisi”. Gerakan ini, sebagai
mana Neo-Tradisionalisme, berangkat dari suatu tradisi yang secara
terus-menerus berusaha memperbaharui tradisis tersebut dengan cara mendialogkan
dengan modernitas. Karena intensifnya berdialog dengan kenyataan modernitas,
maka terjadilah loncatan tradisi dalam kerangka pembentukan tradis baru yang
sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya. Di satu sisi memang terdapat kontinuitas,
tetapi dalam banyak bidang terdapat diskontinuitas dari bangunan tradisi
lamanya.
Umumnya,
bersamaan dengan pengembanga pemikitan Post-Tradisionalisme terjadi juga nuansa
“liberasi pemikiran”. Gerakan Post-Tradisionalisme yang terjadi dalam kultur
NU, akan memungkinkan NU untuk melakukan sebuah loncatan tradisi, tidak hanya
berfikir, tetapi juga dalam bertindak dan bersikap dalam era global belakangan
ini.
Mungkin contoh
yang bias dijadikan sebagai lompatan tradisi ini adalah usulan Masdar F.
Mas’udi untuk menambahkan pelaksanaan ibadah haji setahun lebih dari sekali.
Sehingga, tidak hanya pada bulan Dzulhijjah. Tetapi, ibadah haji juga
bisa dilaksanakan pada bulan-bulan lain, sesuai dengan kesepakatan
negara-negara terkait, semenjak 1 Syaal hingga 10 Dzulhijjah. Ini di
usulkannya berkaitan dengan pertimbangan perkembangan keadaan, dimana jumlah
umat Islam dari seluruh penjuru dunia yang akan menunaikan ibadah haji terus
meningkat. Sementara tempat untuk melaksanakan ibadah tersebut sangat
terbatas. Akibatnya, selain tidak tertampung seluruh jama’ah, juga kerap kali
terjadi kecelakaan akibat penuh berdesak-desakan. Usulan semacam ini tidak
memiliki rujukan tradisi pemikiran sebelumnya, tetapi cara dan metodologi yang
digunakan untuk mengusulkan tetap berangkat dan tidak keluar dari pakem-pakem
tradisi pemikiran masa lalu, yang secara genealogis tradisionalis.[6]
Geneologi
Intelektual
Komunitas Postradisionalisme
1. Komunitas
postra masih
menjadikan Timur Tengah sebagai pusat orientasi
intelektualnya.
2. Disamping
Timur Tengah mereka juga terbuka dengan khazanah pemikiran lain untuk
memperkaya khazanah tradisionalnya seperti tradisi marxis, post-strukturalis,
post-modernisme, tradisi filsafat kritis yang berkembang di Barat
seperti Perancis, Jerman dan sebagainya.
3. Geneolog
intelektual generasi postra sebagian besar tidak dibentuk melalui hubungan
“guru-murid” sebagaiman generasi sebelumnya, tetapi dibentuk melalui gesekan
intelektual dari hasil bacaan-bacaan atas karya-karya tokoh. Berbeda dengan
geneologi intelektual ulama Nusantara zaman lampau yang lebih mementingkan
pertemuan fisik dalam relasi “guru-murid”, perkembangan moderen ternyata
menggeser pola tersebut meskipun tidak menghilangkan pola lama.[7]
IV.
PENUTUP
Dari
paparan di atas semoga saudara-saudara sekalian mempunyai kesimpulan yang
diharapkan bermanfaat untuk kedepannya, hanya demikian yang dapat kami
sampaikan, kami mohon maaf atas kesalahan dan kekurangan, kritik dan saran kami
selalu harapkan. Selanjutnya Wallahu ‘alam bis shawab.
V.
DAFTAR PUSTAKA
Marzuki Wahid, Pemikiran Islam kontemporer di
Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
[1]
http://www.rokhim.net/2013/04/tradisionalisme-postradisionalisme.html
[2]
Ibid.
[3]
Marzuki Wahid, Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hal. 63-65
[4]
http://gapuraluhur.com/postradisionalisme-islam.html
[5]
http://bamboemoeda.blogspot.com/2012/01/riset-wacana-post-tradisionalisme-islam.html
[6]
Ibid.
[7]
http://gapuraluhur.com/postradisionalisme-islam.html
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon