I.
PENDAHULUAN
As
Sunnah (hadis Nabi saw.) merupakan penafsiran al-Quran dalam praktik atau
penerapan ajaran Islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa
pribadi Nabi saw. merupakan perwujudan
dari al-Quran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang
dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Akan
tetapi, sejak pertengahan abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah menjadi
masalah penting bagi para pemikir Muslim. Karena abad ini merupakan periode
ketika hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama telah
menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi.
Sunnah
Nabi yang suci ini telah menghadapi berbagai macam serangan dari para kaum
orientalis dengan beragam aksi yang mereka lakukan untuk menghancurkan esensi
hadis Nabi itu sendiri.
Sejak saat itu juga, para
pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap gagasan Islam klasik
tentang otoritas keagamaan (baca: hadis). Pergolakan di dunia Muslim telah
mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam karena
orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan
kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi yang berubah.
Dengan demikian, hadis-hadis Nabi saw. haruslah dipahami secara benar dan tepat.
Namun, karena banyaknya serangan-serangan yang dilakukan oleh orang-orang
Barat, maka banyak dari kalangan Muslim yang mulai berbeda pendapat dalam
memaknai dan memahami hadis-hadis itu
sendiri.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
PROFIL YUSUF QARDHAWI
B.
HADIST DALAM PANDANGAN YUSUF QARDHAWI
C.
METODE PEMAHAMAN HADIST YUSUF
QARDHAWI
III.
PEMBAHASAN
A.
PROFIL
YUSUF QARDHAWI
Nama lengkapnya adalah Yusuf Al-Qardhawi,
Beliau dilahirkan di desa Shaft Turab di tengah Delta Sungai Nil, daerah
Mahallah al-Kubra, Republik Arab Mesir, pada tanggal 9 September 1926. Ayahnya
bernama Abdullah, Yusuf Qardhawi hanya dua tahun bersama ayahnya, karena
ayahnya dipanggil oleh Allah.
Pelajaran yang pertama kali ditekuninya adalah
al-Quran. Pada usia sepuluh tahun, ia sudah hafal al-Quran dan dengan bacaan
yang sangat baik. Dengan keahliannya itu ia dijadikan imam salat lima waktu di
desa dan pada usia yang sangat muda.[1]
Pendidikan formalnya ditempuh di al-Azhar
Mesir, kecuali tingkat Aliyah, ia tempuh di Ma’had al-Buhus wa la-Dirasah
al-Arbiyat al-‘Aliyah, sehingga mendapatkan hijaza diploma tinggi dalam bidang
bahasa dan sastra Arab. Namun, keahliannya yang menonjol adalah dalam bidang
keushuluddinan (aqidah, tafsir, dan hadis). Hal itu didukung oleh pelajarannya
di Fakultas Ushuluddin, yang diselesaikan pada tahun 1960.[2]
B.
Hadis
Dalam Pandangan Yusuf Qardhawi
Di antara para pemikir kontemporer,
al-Qardhawi memberikan penjelasan yang luas tentang bagaimana
pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk
menilai otentisitas hadis. Menurut al-Qardhawi, sunnah nabi mempunyai 3
karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj
syumul), seimbang (manhaj
mutawazzun), dan memudahkan (manhaj
muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman
yang utuh terhadap suatu hadis.[3]
Atas dasar inilah maka al-Qardhawi menetapkan
tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama,
penyimpangan kaum ekstrim; kedua, manipulasi orang-orang sesat, (intihal al-mubthilin), yaitu
pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah
yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah; ketiga, penafsiran
orang-orang bodoh (ta’wil
al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah
adalah mengambil sikap moderat (wasathiya),
yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak
menjadi kelompok yang bodoh.
Adapun prinsip-prinsip dalam berinteraksi
dengan as-Sunnah, adalah sebagai berikut:
1. Meneliti dengan seksama tentang ke-shahih-an hadis
yang dimaksud sesuai dengan acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar
hadis yang dipercaya. Yakni yang meliputi sanad dan matannya, baik yang berupa
ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun persetujuannya.
2. Memahami sunnah sesuai dengan pengertian bahasa, konteks
dan asbab al-wurud teks hadist untuk menemukan makna suatu hadis yang
sesungguhnya[4],
artinya kritikus harus menguji situasi pada saat kejadian atau pengucapan
hadis, sebab kejadiannya, menempatkan hadis dalam kerangka prinsip-prinsip umum
dan tujuan islam, memisahkan mana yang dimaksud bagian hukum dan mana yang
tidak, juga harus membedakan sesuatu yang bersifat umum dan permanen dengan
yang bersifat khusus atau sederhana.
C.
Metode
Pemahaman Hadis Yusuf Qardhawi
1.
Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Quran
Al-Quran adalah roh eksistensi Islam dan
asas bangunannya. Ia adalah konstitusi Illahi yang menjadi
rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun sunnah Nabi adalah
penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis maupun
praktis.
Sedangkan As-Sunnah adalah penjelasan terinci
tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis
ataupun penerapannya secara praktis. Itulah tugas Rasulullah saw., ”menjelaskan
bagi manusia apa yang diturunkan kepada mereka”.
Tugas seorang Rasul adalah menjelaskan kepada
manusia risalah yang diturunkan untuk mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin
sebuah ”penjelasan” bertentangan dengan ”apa yang hendak dijelaskan” atau
sebuah ”cabang” tidak mungkin bertentangan dengan ”pokok”. Penjelasan Nabi
senantiasa berkisar pada al-Quran dan tidak pernah melampauinya. Oleh sebab
itu, tidak ada sunnah yang shahih yang bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran
yang muhkamat keterangan-keterangannya yang jelas.[6]
Apabila dalam menghadapi perbedaan pemahaman
dalam menyimpulkan makna-makna hadits, maka kita harus dapat memahami dengan
cara yang baik dan benar adalah dengan melihat makna hadits yang didukung oleh
al-Quran, karena isi hadits (cabang) sebagai penjelas al-Quran tidak akan
mengandung makna yang berbeda dengan al-Quran (pokok) sebagai sesuatu yang dijelaskan.
Contoh:
Hadist tentang nishab tanaman yang wajib
dizakati, yang dijadikan dasar pada ulama fiqih untuk membatasi macam dan jenis
tanaman tertentu (tidak termasuk sayuran) yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Hadist ini bertentangan dengan kandungan umum Q.S. al-An’am {6}:141, tentang
diwajibkannya zakat atas hasil bumi tanpa terkecuali. Di samping itu, Yusuf
al-Qardhawi tidak menyetujui pemahaman yang menganggap bahwa tidak
diwajibkannya zakat atas sayuran karena cepat rusak, sehingga tidak bisa disimpan
di Bait al-Mal terlalu lama.
2. Menghimpun Hadis-hadis yang Terjalin dalam Tema yang Sama
Untuk memahami sunnah Nabi dengan baik, kita
harus menghimpun hadis-hadis yang bertema sama. Hadis-hadis yang mutasyabih
dikembalikan kepada yang muhkam, yang mutlaq dihubungkan dengan
yang muqayyad, dan yang ’am ditafsirkan dengan yang khas.
Dengan demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas dan satu sama lain
tidak boleh dipertentangkan. [7]
contoh:
Hukum memakai sarung atau gamis sampai di
bawah mata kaki. Mula-mula Yusuf Qardhawi mengemukakan beberapa hadist tentang
celaan terhadap orang yang mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki,
kemudian menyebutkan hadist-hadist yang berkaitan dengan orang yang mengenakan
sarung sampai di bawah mata kaki tanpa dibarengi kesombongan. Kemudian
menyimpulkan orang yang menjulurkan sarung bukan karena kesombongan, tetapi
karena adat kebiasaan atau ketergesa-gesaan, tidak mendapatkan ancaman.[8]
3. Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang
Kontradiktif
Pada dasarnya syari’at tidak mungkin saling bertentangan.
Pertentangan yang mungkin terjadi adalah lahiriahnya bukan dalam kenyataan yang
hakiki. Adapun solusi yang ditawarkan Yusuf Qardhawi adalah:
a.
Al-Jam’u
(penggabungan atau pengkompromian)
Hadist
yang tampak bertentangan dengan hadist lain dapat dihilangkan pertentangannya
dengan cara mengkompromikan hadist-hadist tersebut. Contoh salah satunya adalah
dalam bab ’azl (senggama terputus)
adalah perbuatan seorang laki-laki menghentikan senggama dengan istrinya sesaat
sebelum ejakulasi, agar spermanya tidak masuk ke rahim istri, dan demikian
mencegah kehamilan. Mula-mula Yusuf Qardhawi mengemukakan tentang
diperbolehkannya ’azl, yang bertentangan dengan hadist yang menunjukkan
ketidaksenangan Nabi dengan perbuatan ’azl. Menurut Yusuf Qardhawi, hadist yang
melarang ’azl sanadnya kurang dapat diterima, disebabkan ada rawi yang bernama
Ibn Luhai’ah yang kredibilitasnya masih diragukan. Menurut pendapat ulama’ lain
seperti Ibn qayyim berpendapat bahwa perawi yang memperbolehkan ’azl jumlahnya
lebih banyak dan secara kualitas lebih terpercaya, di samping bahwa perbuatan
itu banyak dilakukan oleh para sahabat. Sedangkan keenganan sebagian sahabat
memperbolehkannya adalah karena ’azl itu termasuk makruh tanzih, tetapi tidak
makruh tahrim.
Yusuf
Qardhawi tidak memilih salah satunya, dan cenderung menggabungkannya, yang
berkesimpulan bahwa ’azl itu diperbolehkan, akan tetapi bagi wanita yang
merdeka (bukan budak) tidak boleh dilakukan ’azl terhadapnya, kecuali dengan
izin dan kerelaannya. Sebab, ia juga memiliki hak untuk memperoleh kepuasan.
b.
Tarjih
dan Naasikh wal Mansukh
Menukil
pendapat al-Hafidz al-Baihaqi dalam Ma’rifah al-Sunan wa al-Atsar: Apabila dua
hadist yang tampak bertentangan tidak dapat dilakukan penggabungan, maka
ditempuh dua jalan
D.
KESIMPULAN
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa as-Sunnah
adalah sumber hukum kedua setelah a-Quran. Oleh sebab itu, kita sebagai umat
Muhammad, haruslah bisa memahami dengan baik apa-apa saja yang terkandung di
dalam al-Quran dan as-Sunnah, sebagai penjelas dari pada al-Quran.
Dari sini Yusuf al-Qardhawi memberikan delapan
metode dalam memahami hadis secara benar dan tepat, antara lain sebagai
berikut:
-
Memahami Hadis Sesuai
dengan Petunjuk al-Qur’an.
-
Menghimpun Hadis-Hadis
yang Setema.
-
Kompromi atau
Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif, dan lain-lain.
Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf
al-Qardhawi bukan sesuatu yang sama sekali baru. Beberapa kriteria yang
ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi merupakan refleksi hasil dialog dan pembacaan
yang dilakukan Yusuf al-Qardhawi dari realitas masyarakat dan berbagai konsep
yang ditawarkan para ulama jauh hari sebelumnya. Selain itu, pentingnya
memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadis, mengingat jarak waktu yang
memisahkan realitas sekarang ini dengan sejarah bagaimana sebuah hadis muncul.
E.
PENUTUP
Demikianlah pembahasan makalah yang dapat kami paparkan. Dan
tentunya masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan baik dari susunan
isinya maupun dalam penyampaiannya. Maka dari itu kritik dan saran sangat kami
harapkan, dan semuga makalah ini dapat menambah wawasan kita. Amin..
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami
Hadis Nabi saw., (Bandung: Karisma, 1999)
Al-Qardhawi, Yusuf, Pengantar Studi Hadits,
(Bandung: Pustaka Setia, 2007)
Isam Talimah, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardhawi
(terj) Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar 2001)
[1] Isam Talimah, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardhawi
(terj) Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), hal. 3.
[2] Ibid, hal, 4.
[3] Yusuf Qardhawi, Bagaimana
Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1999), hal. 92.
[4] Suryadi, metode kontemporer memahami hadis Nabi perspektif
Muhammad al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi, (Yogyakarta: Teras) hal. 136
[5] Ibid . hal. 137
[8] Op cit. Suryadi. . . . . hal.146-148
1 comments:
Click here for commentsTrimakasih. .sangat me Bantu sa
Untuk UAS besok
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon