Sejarah dan Perkembangan Fiqih

A. Pendahuluan
Firman Allah dalam QS At Taubah [9] : 123;
“Maka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber “tafaqquh” (memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas perintah dan larangan Allah).”
Hadits Nabi :
“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya “ke-faqih-an” (memahami fiqih) dalam urusan agama.” (HR. Bukhari-Muslim).
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi fiqih dan hubungannya dengan ushul
2. Bagaimana Sejarah perkembangan fiqih (Tarikh Tasyri’)
3. Apa saja Obyek dan wilayah kajian fiqih
4.  Apa Landasan yuridis [primer dan sekunder]
5. Bagaimana hubungan fiqih dan taswuf

C. Pembahasan
1. Definisi fiqih dan hubungannya dengan ushul
Fiqih secara etimologi berarti tahu atau paham, sedangkan secara terminologi adalah ilmu syari’at. Menurut Hasan Ahmad Khatib dalam kitabnya al- fiqhu muqaran, Syari’at yang dimaksud disini adalah yang bermakna istilah khusus yaitu: yang disebut fiqih islam. Namun sebenarnya syari’at sering diartikan dengan agama yang disyari’atkan allah untuk para hamba yang melengkapi hukum i’tiqodiyah, khuluqiyah, dan amaliyah, yang berkenaan dengan perbuatan, perkataan dan tasharrufnya.
Hasan Ahmad juga berkata “yang dimaksud fiqih islam ialah sekumpulan hukum syara’ yang sydah dibukukan dari berbagai madzhab, baik dari madzhab yang empat maupun madzhab lainnya dan yang dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in baik dari fuqaha yang tujuh.”[1]
Adapun Hubungan ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti hubungan ilmu manthiq (logika)  dengan filsafat, demikian juga ushul fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara fuqaha’ agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistimbahtkan (menggali) hukum. Disamping itu, fungsi ushul fiqh itu sendiri adalah membedakan antara istimbath yang benar dengan yang salah.[2]
2. Sejarah perkembangan fiqih (Tarikh Tasyri’)
       Tarikh tasyri’ islam atau sejarah fiqih islam pada hakikatnya tumbuh dan berkembang pada masa Nabi. Karena Nabilah yang berhak untuk mentasyri’ hukum. Dan berakhir dengan wafatnya Nabi SAW.
Para fuqaha hanyalah menerapkan kaidah-kaidah kulliyah (umum) kepada masalah juziyah (khusus), kejadian yang detail, dengan mengistimbatkan nya dari nash syara’ atau ruhnya tatkala tidak terdapat nash-nash yang jelas.
a. Periode tasyri’
Sejarah fiqih islam telah melalui beberapa periode dan para ulama berbeda-beda dalam memperiodekan sejarah perkembangan fiqih tersebut.
Periode pertama, adalah merupakan periode pertumbuhan yaitu pada mas rasul dalam kurun waktu 22 tahun dan beberapa bulan sejak dari 13 sebelum hijriyah hingga tahun 11 setelah Hijriyah, atau 611-632 M. Periode kedua ialah periode sahabat dan tabi’in. Berlangsung dari tahun 11-101 H/632-720 M. Periode ketiga ialah merupakan periode kesempurnaan yang dibawahi mujtahidin atau pada masa daulah abasiyah. Periode ini berlangsung sekitar 250 tahun dari 101 H. Periode keempat ialah periode kemunduran dan periode taqlid (jumud) yaitu sejak pertengahan abad ke 4 H yang sampai sekarangpun masih banyak berkembang dalam masyarakat. Yang terahir, periode kelima. Yaitu periode kebangkitan atau renaisance. Yang sebenarnya tidak begitu menunjukkan perkembangan yang signifikan bagi perkembangan ilmu fiqih.
3. Obyek dan wilayah kajian fiqih
Objekkajian fiih yaitu setidaknya meliputi dua hal. Pertama masalah hukum amaliyah dan yang kedua dalil-dalil tafshiliyah mengenai hukum tersebut. karena fiqih diambil dari al-quran dan al-hadits yang apabila mujtahid tidak mendapatkan nash maka dia menggali hukum itu dari syari’at dan maksud-maksudnya.
4. Landasan yuridis [primer dan sekunder]
       Secara ringkas hukum fiqih diambil dari dua pokok dalil agama yaitu alquran dan as sunah. Adapun hukum yang melengkapi, hukum-hukum yang dihasilkan oleh ijma’ atau qiyas dan yang bercabang darinya yang langsung diambil dari quran atau sunah maka sumber resminya ialah syara’. Sedangkan yang tidak sumbernya adalah fiqih (ijtihad). Intinya sumber-sumber tasyri’ adakalanya nash quran dan sunah, adakalanya dalil lain yang dibenarkan agama.
5. Hubungan fiqih dan taswuf
       Ilmu fikih ialah ilmu untuk mengetahui cara memahami syariat, baik yang berhubungan dengan perintah larangan, yang wajib dan yang sunat, yang haram dan yang makruh dan yang mubah. Ilmu fikih ini terbagi menjadi dua kategori besar:
a. Ibadah ialah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (hubungan vertikal). Bidang ibadah hanya meliputi muqadimah ibadah (thaharah) dan maqashid ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
b. Muamalat ialah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hubungan horizontal). Bidang ini sangat luas karena mencakup semua aspek pergaulan hidup manusia sesama manusia, baik dalam lingkungan keluarga, kebendaan, maupun dengan masyarakat dan negara.
Kedua ilmu dia atas mengenai amalan (perbuatan) lahiriyah, karena itu dinamakan juga dengan ilmu zahir, yang disesuaikan dengan yang diaturnya ialah gerak dan diam anggota tubuh manusia. Di samping itu dengan sendirinya lahir pula ilmu batin atau ilmu tasawuf yang mengatur sikap batin atau jiwa manusia.
Ilmu tasawuf atau ilmu batin bertujuan agar manusia terdorong untuk menghindar diri dari semua sifat yang tercela. Kemudian tertarik kepada kebeikan dan berbudi pekerti luhur dan dalam ilmu ini adalah berlandaskan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Abul Ala al-Maududi dalam bukunya ”Toward Understanding Islam”, mengatakan fikih adalah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan yang dapat dilihat, memenuhi tugas dan kewajiban seperti yang telah ditetapkan. Dan apa yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan jiwa (batin) dinakan tasawuf. Kemudian katanya contohnya ketika kita berbicara tentang shalat fikih mendorong kita untuk memenuhi kewajiban dan tugas seperti bersuci, menghadap kiblat, memelihara waktu shalat dan jumlah rakaat, sedang tasawuf akan membawa kita dalam shalat selalu khusyu’, ingat kepada Allah, membersihkan dan mengikhlaskan jiwa, sehingga shalat kita akan memberi pengaruh dalam membentuk tingkah laku”. Oleh karena itu, kaum fikih (fukaha) hanya mengutamakan pikiran, berusaha melaksanakan tugas dan kewajiban dalam bentuk formalitas, sedang orang shufi selalu mengutamakan rasa, berusaha untuk mencapai hikmah (tujuan) ibadah itu, kadang kala mereka tidak bertemu lagi, kerapkali terjadi pertentangan sebagai akibat berbeda sudut pandang.
HAMKA menulis dalam bukunya ”Perkembangan Tasari dari Abad ke Abad” menerangkan bahwa salah seorang mantan muridnya di Bagdad ialah Ahmad bin Hanbal. Pada malam itu Ahmad bin Hanbal memperingatkan anaknya agar tidak mengadakan kegaduhan ketika melintasi kamar di mana Imam Syafi’i tidur. Pada tengah malam ketika Ahmad bin Hanbal pergi melintasi kamar Imam Syafi’i untuk mengambil wudhu ia masih melihat Imam Syafi’i duduk mengerjakan zikir dan membaca wirid, ia kerjakan sampai menjelang shalat subuh. Begitulah kehidupan seorang fakih besar tidak memisahkan antara kehidupan fakih dan kehidupan shufi. Najamuddin Amin Kurdi menulis dalam bukunya ”Tanwiru al-Qulub” berkata:

كل صوفي فقيه
Artinya: “setiap shufi adalah fakih”. Ibnu Ubad menulis dalam bukunya ”Syarah Hikam Ibnu Athaillah” berkata: Junaidi al-Bagdadi pernah ditanya tentang orang yang telah mencapai ma’rifah (pengenalan) yang tinggi dan luas wawasannya dalam ilmu tasawuf yang selalu mengabaikan dan tidak menjalankan syariat (ibadah). Junaidi berkata: bagiku orang yang berbuat zina dan mencuri, lebih baik dari orang yang berbuat demikian. Imam Gazali menulis dalam bukunya ”Raudatu al-Thalibin” bahwa tidak benar keyakinan seorang murid (penuntut) sehingga Allah dan Rasul selalu menjadi buah ingatannya, sepanjang harinya diisinya dengan puasa, sehingga lidahnya dapat ditahan dari berkata yang sia-sia, karena terlalu banyak berbicara, makan dan tidur akan menyebabkan hati menjadi beku..... dan pada malam hari diisi dengan mengerjakan shalat, ruku dan sujud sehingga hatinya selalu bersih dan lidahnya selalu menyebut nama Allah.
Kemurnian hati dan kesempurnaan cinta, dalam ajaran Islam adalah dalam penggabungan tasawuf dan fikih, gabungan rasa dan akal. Dengan fikih menentukan batas hukum halal dan haram dan dengan tasawuf memberi pelita dalam jiwa sehingga tidak lagi merasa berat melakukan segala perintah agama. Kalau kembali kepada arti islam, Iman dan Ihsan nampak ketiga ilmu itu yaitu ushuluddin, fikih dan tasawuf telah dapat menyempurnakan ketiga kesimpulan agama Islam. Untuk mengetahui Rukun Iman orang mempelajari ushuluddin, untuk mengetahui hukum Islam orang harus belajar fikih, dan untuk mengetahui kesempurnaan Ihsan orang masuh kedalam tasawuf. Ilmu yang terpilih tiga; Iman, Islam, dan Ihsan dapat dicapai melalui tiga macam ilmu itu.[3]
D. Kesimpulan
            Fiqih merupakan produk para ulama atau mujtahid yang didasarkan pada nash alquran dan as sunah yang bersifat ijtihadi (dalam persoalan yang tidak di nash kan dalam alquran), sehingga bersifat kondisional dan lokal. Oleh karenanya dapat pula dikritik atau bahkan dislahkan. Karena lokalitas fiqih yang dihasilkan terkadang kurang mencakup permaslahan umum atau menyeluruh. Fiqih juga bukan kitab suci yang tidak dapat diretinking ulang.

DAFTAR PUSTAKA
Ash shidiqi, Teungku Muhammad Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqih, PT Pustaka Rizki Putra, 1999, Semarang.



[1] Ash shidiqi, teungku muhammad hasbi, pengantar ilmu fiqih. Hlm 15
[2] http://www.hasanalbanna.com/hubungan-ushul-fiqih-dengan-fiqih/
[3] http://kang-kolis.blogspot.com/2009/01/hubungan-ilmu-tasawuf-dan-fikih.html
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan