Tafsir al-Mawardi

I.          PENDAHULUAN
Tafsir al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur-an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur-an dan isinya, Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an, terdapat dua bentuk penafsiran yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.[1]

II.       RUMUSAN MASALAH
A.    Biografi
B.     Metode Penafsiran dan Coraknya
C.     Contoh Penafsiran

III.    PEMBAHASAN
A.    Biografi

Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali Ibn Muhammad ibn Habib al-Basry. Ia dilahirkan di Basrah pada tahun 364 H. bertempatan dengan tahun 974 M., dan wafat di Baghdad pada tahun 450 H. bertepatan dengan tahun 1058 M.
Berdasarkan informasi tersebut terlihat bahwa al-Mawardi hidup pada masa kejayaan islam, yaitu masa di mana ilmu pengetahuan yang dikembangkan ummat islam mengalami puncak kejayaannya. Dari keadaan demikian tidaklah mengherankan jika al-Mawardi tumbuh sebagai pemikir Islam yang ahli dalam bidang fiqih dan sastrawan di samping juga sebagai politikus yang piawai[2].

Sejarah Pendidikan al-Mawardi
Dalam  Sejarah  pendidikannya,  pada masa-masa  Awal,  Al-Mawardi menempuh pendidikan di negeri kelahirannya sendiri, yaitu Bashroh.  Di kota tersebut Mawardi  sempat  mempelajari  hadits  dari  beberapa  ulama  terkenal  seperti  Al- Hasan  Ibnu  Ali  Ibnu  Muhammad  Ibn  Al-Jabaly,  Abu  Khalifah  Al-Jumhy, Muhammad  Ibn  ‘Adiy  Ibnu  Zuhar  Al-Marzy,  Muhammad  Ibnu  Al-Ma’aly  Al-Azdy serta Ja’far bin Muhammad  Ibn Al-Fadl  Al-Baghdadi. Menurut  pengakuan muridnya, Ahmad  Ibn  Ali  Al-Khatib,  bahwa  dalam  bidang  Al-Hadits,  Al-Mawardi  termasuk tsiqot.
Setelah  mengenyam  pendidikan  di kota  kelahirannya,  ia  pindah  ke  Baghdad dan bermukim di Darb  Az-Za'farani . Disini Al-Mawardi belajar  hadits  dan fiqih serta bergabung  dengan halaqah Abu  hamid  Al-Isfir oini  untuk  men yelesaikan  studinya.
Selanjutnya,  setelah  ia  menyelesaikan  studinya  di  Baghdad,  ia  berpindah  tempat ke kota  lain  untuk  menyebarkan  (mengamalkan  ilmunya).  Kemudian,  setelah  lama berkeliling  keberbagai  kota,  ia  kembali  ke  Baghdad   untuk  mengajar kan  ilmunya dalam  beberapa  tahun.  Di kota  itu  ia  mengajarkan  Hadits,  menafsirkan  Al-Qur'an  dan menulis beberapa kitab diberbagai disiplin ilmu, yang hal ini menunjukkan bahwa Al- Mawardi adalah  seorang  yang  alim  dalam  bidang fiqih,  hadits, adab  (sastra),  nahwu, filsafat,  politik,  ilmu-ilmu  social  dan  akhlak.[3] Hasil  karyanya  yang  cemerlang tersebut manjadikannya seorang penulis terkenal.
Dalam  catatan  sejarah,  Al-Mawardi  juga  mendalami  bidang  fiqh  pada  syekh Abu  Al-Hamid  Al-Isfarayani,  sehingga  ia  tampil  salah  seorang  ahli  fiqh  terkemuka dari madzhab syafi’i. Sungguhpun Al-Mawardi  tergolong sebagai penganut  mazhab Syafi’i,  namun  dalam  bidang  teologi  ia  juga  memiliki  pemikiran  yang  bersifat rasional,  hal  ini  antara  lain  bisa  dilihat  dari pernyataan  Ibn  sholah  yang  menyatakan bahwa  dalam  beberapa  persoalan  tafsir  yang  dipertentangkan  antara ahli  sunnah  dan mu’tazilah, Al-Mawardi ternyata lebih cenderung kepada Mu’tazilah’.
Terlepas  dari  pandangan-pandangan  Fiqihnya,  yang  jelas  sejarah  mencatat, bahwa  Al-Mawardi dikenal  sebagai  orang  yang  sabar,  murah  hati  berwibawa  dan berakhlak  mulia.  Hal  ini  antara  lain  diakui  oleh  para  sahabat  dan  rekannya  yang belum pernah melihat Al-Mawardi menunjukkan  budi pekerti yang tercela.

B.     Metode Penafsiran dan Coraknya
Tariqah (Metode) Tafsir al-Mawardi dari hasil penafsiran atas al-Qur’an, bila ditinjau dari sudut sistimatika penulisannya, jelas beliau menggunakan metode tahlili, karena beliau menafsirkan ayat al-Quran secara urut sesuai dengan urutan ayat dan surat dalam al-Qur'an, yaitu dimulai dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat al-naas yang terdiri dari beberapa jilid.
Bia ditinjau dari muqoddimah Tafsir al-Mawardi, sang pengarang yaitu Abu Hasan Ali Ibn Muhammad ibn Habib al-Basry mengatakan bahwa penafsirannya bercorak pada sastra bahasa yang menggunakan beberapa pena’wilan-pena’wilan dari berbagai ulama, baik dari ulama salaf sampai ulama’ khalaf, sehingga banyak pendapat tentang suatu pembahasan ayat atau surat di dalamnya, sehingga terdapat pula kesamaan-kesamaan atas penawilannya dan begitupun yang bertentangan.[4]
A.    Contoh Penafsiran

واذ قلنا للملئكة اسجدوا لأدم فسجدوا الا ابليس ابى واستكبر وكان من الكفرين (34)

Para ahli ta’wil berbeda pendapat dalam mena’wilkan lafad الملئكة بالسجود لأدم . ada dua pendapat:
Yang pertama: makna sujud pada lafadz tersebut dimaksudkan malaikat sujud kepada Nabi Adam bertujuan atas rasa hormat dan ta’dzim.
Yang kedua: makna makna sujud pada lafadz tersebut dimaksudkan sujud ke arah qiblat, dan sujud ke arah qiblat adalah bagian dari rasa keta’dhiman. Dan qoul ini yang lebih shohih.
Dan yang dimaksudkan di sini sujud (ketundukan) atau ketundukan atas rasa hormat sesama makhluk kepada yang lebih tinggi derajatnya.
Dan dikatakan sujud ketika sholat itu termasuk bagian dari tunduk, maka sujudnya para malaikat kepada Nabi Adam melainkan itu bertujuan tho’at atau patuh kepada perintah Allah….
Dan terjadi lagi ikhtilaful Ulama’ mengenai lafadz iblis.
Apakah iblis itu termasuk golongan dari malaikat, atau tidak?
Terdapat dua pendapat, yaitu:
Yang pertama: Iblis itu termasuk golongan dari malaikat karena menurut Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Ibn Musayyab, dan Ibn Jarih beranggapan tersebut (ististna’) tersebut sebagai Ististna’ minhum, maka menunjukkan atas tergolongnya iblis bagian dari malaikat.
Yang kedua: berpendapat tidak termasuk golongan dari malaikat, akan tetapi Iblis itu ayah dari jin, laiknya Adam ayah dari manusia. Dan pendapat ini adalah pendapat yang hasan. Dan Qotadah ibn zaid tidak menafikan adanya “pengecualian” dari selain jenisnya, dan itu disebut Ististna’ Munqathi’[5].

IV.    KESIMPULAN
Tafsir al-Mawardi dari hasil penafsiran atas al-Qur’an, menggunakan metode tahlili, karena beliau menafsirkan ayat al-Quran secara urut sesuai dengan urutan ayat dan surat dalam al-Qur'an, yaitu dimulai dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat al-naas yang terdiri dari beberapa jilid.
Penafsirannya bercorak pada sastra bahasa yang menggunakan beberapa pena’wilan-pena’wilan dari berbagai ulama, baik dari ulama salaf sampai ulama’ khalaf.

V.       PENUTUP
Demikianlah pembahasan makalah yang dapat kami paparkan. Dan tentunya masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan baik dari susunan isinya maupun dalam penyampaiannya. Maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan, dan semuga makalah ini dapat menambah wawasan kita. Amin..


DAFTAR PUSTAKA

An-Nukat wal U’yun Tafsir al-Mawardi jilid 1, Darul Kutub Ilmiyyah.
Nata, Abuddin,  Pemikiran para tokoh pendidikan islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada)

http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_al-Qur%27an






[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_al-Qur%27an
[2] Abuddin Nata, Pemikiran para tokoh pendidikan islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada) hal. 43
[3] An-Nukat wal U’yun Tafsir al-Mawardi jilid 1, Darul Kutub Ilmiyyah. hal. 9-10
[4] An-Nukat wal U’yun Tafsir al-Mawardi jilid 1, Darul Kutub Ilmiyyah. hal. 6
[5] An-Nukat wal U’yun Tafsir al-Mawardi jilid 1, Darul Kutub Ilmiyyah. hal. 101-102

Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan