I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an, kitab suci umat Islam, merupakan
kitab yang paling memiliki kekuatan sepanjang sejarah umat manusia. Kekuatan
tersebut terkadang muncul dengan sendiri, karena aspek estetis al-Qur’an atau
dimunculkan oleh manusia (ulama, mufasir) melalui kajian-kajian tafsirnya.
Kajian-kajian tersebut dituliskan dalam kitab-kitab tafsir yang memiliki
diversitas metode, corak, bentuk dan karakteristiknya. Seiring berjalannya
waktu, diversitas itu dengan sendiri kemudian membentuk hasil dari penafsiran
al-Qur’an yang berbeda-beda dari para mufasir atau kitab tafsir yang ada sampai
sekarang ini. Dan pada makalah kali ini, kami akan memaparkan salah satu
mufasir di tanah air kita yaitu Haji Zainuddin bin Abdul Hamid atau yang lebih
dikenal dengan Haji Zainuddin Hamidy. Mudah-mudahan bermanfaat.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Riwayat Hidup
B.
Metode dan Corak Penafsiran
C.
Contoh Penafsiran
III.
PEMBAHASAN
A. Biografi
1. Riwayat Hidup Haji Zainuddin Hamidy
Haji Zainuddin Hamidy lahir di Koto Nan IV
Payakumbuh pada tanggal 8 Februari 1907. Anak dari Abdul Hamid dan Halimah.
Putra kedua dari dua orang bersaudara, Kakaknya bemama Nahrawi, istri dad Imam
Mukhtasar, seorang ulama terpandang didaerahnya. Dia memiliki 5 orang saudara
sebapak, seperti Zainullah, Amiruddin, Salim, Mariam, dan Bermawi. Masa kecil
dihabiskan Zainuddin Hamidy di kampung halamannya. Abdul Hamid, ayahnya
terkenal sebagai seorang berilmu, terutama ilmu agama yang mendalam, maupun
ilmu bela diri silat. Beliau memiliki sifat percaya diri yang tinggi, pemberani
dan suka menolong orang lain. Ia sering menghadapi preman atau parewa pasar
yang suka memeras dan menganiaya masyarakat lemah. Karena keberanian dan
kepiawaiannya dalam bela diri inilah masyarakat memberikan julukan padanya
dengan orang bagak (orang yang pemberani).
Keberadaan bapaknya yang merupakan “orang
bagak” di kampungnya, tidak membuat Zainuddin sombong, ia selalu bersikap baik
kepada semua orang. Zainuddin di waktu kecilnya
tidak suka bermain seperti kebanyakan anak sebayanya, ia lebih suka belajar.
Paling dia hanya bermain bola yang merupakan olaah raga kesukaannya. Bahkan
hobi main bola ini dibawa sampai beliau dewasa. Menurut keterangan murid
beliau, H. Haffash Shamah, Buya Zainuddin bila tidak mengajar, sering bermain
bola dengan murid-muridnya dan pemuda sekitar pesantren yang dia dirikan.
Zainuddin Hamidy adalah seorang yang ramah
tamah, tapi konsekuen, ulet dan tidak pernah berputus asa. Beliau tidak banyak
bicara hal-hal yang tidak perlu, beliau banyak tersenyum dan memiliki wibawa
yang sangat besar. Beliau adalah ahli agama dan tokoh masyarakat yang selalu
berpenampilan sederhana. Karena keluasan ilmu dan kealimannya, masyarakat Koto
dan Ampek menggelari beliau dengan gelar “Angku Mudo” yang berarti
seorang ahli agama yang masih muda. Kepada murid-muridnya, Buya Zainuddin
Hamidy juga bersikap ramah dan santun. Sekalipun bersikap tenang dan santun,
Namun Buya Zainuddin Hamidy terkenal sangat disiplin dalam mengajarkan
pendidikan, baik kepada murid-muridnya bahkan juga kepada anak-anak beliau.
Setelah menikah dengan Rahmah binti Abu Bakar,
Buya Zainuddin Hamidy berangkat ke Mekkah pada tahun 1927 untuk menunaikan
ibadah Haji dan menuntut ilmu dengan meninggalkan istri tercintanya. Setelah belajar beberapa tahun dan merasa cukup
waktu dalam menuntut ilmu agama, Zainuddin Hamidy pulang ke kampung halamannya
dalam usia yang relative muda. Setelah sampai di Payukumbuh, beliau kemudian
menikahi Desima Jasin. Dengan Desima Jasin ini, Zainuddin Hamidy memiliki tujuh
orang anak.
H. Zainuddin Hamidy wafat pada hari jum’at
tanggal 29 Maret 1997 secara tiba-tiba di kamar di samping sekolahnya, Ma’had
Islami, setelah kembali dari Jakarta berunding dengan Presiden Soekarno. Beliau
meninggalkan 2 orang istri, yaitu Rahmah binti Abu Bakar dan Desima dari keduanya
beliau dikaruniai 14 orang anak. Dari istri pertama beliau memiliki 7 orang
anak, begitu juga istri kedua beliau dikarunia 7 orang anak.
Meninggalnya Syaikh Haji Zainuddin Hamidy
membuat Sumatra Barat berkabung. Umat Islam, khususnya masyarakat Payukumbuh
merasa kehilangan tokoh yang seluruh hidupnya di dedikasikannya untuk kemajuan
pendidikan dan kemaslahatan umat Islam Sumatera Barat dan Indonesia pada
umumnya.[1]
II. Fachruddin H.s
Pada
abad ke 19 M. hidup seorang ulama yang cukup terkenal di Situjuh Batur pada waktu itu yaitu H.
Husein gelar Tuanku Khatib. Istrinya
bemama Hj. Putiah Fathimah. Sebagai seorang ulama, H, Husein sering memberikan ceramah agama di berbagai
masjid dan surau. Dari perkawinannya dengan
Hj. Putiah Fathimah, H. Husein dikaruniai dua orang anak yaitu H. Fachruddin HS
Dt. Majo Indo dan Makinuddin HS.
Fachruddin HS Datuk Majo Indo lahir pada tahun 1906. Secara genetik, H.
Fachruddin HS Dt. Majo Indo merupakan keturunan "darah biru ulama".
Disamping ayahnya, Tuanku Khatib,
sebagai ulama yang disegani di Situjuh Batur, kakak H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo yang bernama Ismail juga
dikenal sebagai ulama berpengaruh di
daerahnya pada masanya.
Kakek H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo ini popular dipanggil "Inyiak Datuk". H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo sejak masa kanak-kanak telah diperkenalkan oleh orang tuanya serta kakekya tentang ilmu agama Islam. Ketika berumur lima tahun, beliau telah diajarkan membaca Al-Quran dan sering dibawa ayahnya pergi berdakwah ke berbagai tempat. Pelajaran agama yang dipelajari ketika H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo berumur 6 dan tujuh tahun, disamping terus belajar membaca Af-Wan, beliau juga diajari membaca Arab Melayu. Pada tahun 1916, H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo masuk Sekolah Dasar Biasa. Setelah menamatkan Sekolah Dasar Biasa ini, selanjutnya H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo belajar secara non-formal ke beberapa guru di sekitar daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1921 hingga tahun 1922, beliau belajar dengan Tuanku Mudo Hamzah di sebuah sekolah di Air Tabit. Pada tahun 1923 sampai tahun 1927 beliau berguru kepada Engku Mudo Ahmad Karung.
Orang tua H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo menginginkan anaknya untuk belajar agama Islam lebih intens ke "pusaY" agama Islam itu sendiri. Untuk itu H. Husein clan Hj. Putiah Fathimah menyuruh anaknya pergi ke Mekkah belajar ilmu agama Islam. Namun H. Fachruddin HS Dt. Majo lndo menolak tanpa alasan yang cukup jelas. Tampaknya beliau lebih suka belajar di sekolah biasa clan belajar dari satu guru ke guru lainnya di berbagai surau. Sewaktu beliau masih belajar pada Engku Mudo Ahmad Karung, H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo melangsungkan pemikahan dengan gadis sekampungnya bernama Itam. Pernikahan IN berlangsung pada tahun 1923 ketika H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo berumur 17 tahun. Pernikahan H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo dengan Itam ini fidak dikaruniai oleh Allah SWT. keturunan. Pada tahun 1925, beliau melangsungkan pernikahannya yang kedua dengan Yulinun.
Lembaga pendidikan Islam yang cukup fenomenal di Minangkabau pada abad ke-19 M. adalah Sumatera Thawalib. Lembaga pendidikan yang berasal "embrio" Surau Jembatan Besi ini berkembang secara luas di Minangkabau pada masa itu. Surau Jembatan Besi didirikan pada tahun 1914 oleh Syekh H. Abdullah Ahmad, Syekh Haji Abdul Karim Amarullah (HAKA) atau yang lebih terkenal dengan nama Haji Rasul ikut menjadi guru. Setelah Syekh Abdullah Ahmad pindah ke Padang, Haji Rasul mengantikan sebagai pimpinan Surau Jembatan Besi yang membawa banyak perubahan atau pembaharuan. Pada tahun 1915 pada Surau Jembatan Besi didirikan Koperasi Pelajar atau inisiatif Haji Habib, dan setahun kemudian koperasi itu diperluas lagi oleh Haji Hasyim. Dengan didirikannya sebuah koperasi pada Surau Jembatan Besi kelihatanlah bahwa surau tersebut mempunyai sifat terbuka dan mau menerima sesuatu yang baru, karena pengaturan koperasi sudah dipengaruhi oleh pengetahuan Barat. Tetapi karena koperasi dianggap berguna dan menguntungkan, maka gagasan pendirian koperasi itu dapat diterima. Pada waktu itu koperasi merupakan sesuatu yang baru pada lembaga yang dikelola oleh Islam.
Pada tahun 1913 Zainuddin Labai AL-Yunusi kembali ke Padang Panjang setelah menuntut ilmu dengan Syekh Abbas Padang Japang di Payakumbuh. Zainuddin Labai AL-Yunusi juga ikut menyumbangkan tenaganya sebagai guru pada surau tersebut dan tahun 1915 dia mendirikan Sekolah Diniah. Terpengaruh oleh sistem pendidikan yang dipergunakannya pada sekolah Diniah, maka dengan persetujuan Haji Rasul, Zainuddin labai AL-Yunusi mengajak pelajar-pelajar Surau Jembatan Besi membentuk suatu perkumpulan yang dinamakan "Makaraful Ichwan", untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam dan berusaha menyelesaikan masalah Agama secara ilmiah dan persahabatan antara sesama penganut agama Islam.[2]
B. Metode dan Corak Penafsiran
A.
Manhaj Tafsir Qur'an Karim Manhaj yang digunakan oleh Zainuddin Hamidy dan
Fachruddin Hs dalam menafsirkan al-Qur'an ini tidak dijelaskan secara eksplisit
dalam kitab tafsirnya ini, apakah tafsir bi al-riwayah, tafsir bi al-ra'yi atau
tafsir bi al-isyari. Dari pengamatan penulis terhadap penafsiran Hamidy dan
Fachruddin dalam menafsirkan al-Qur'an, manhaj yang digunakan oleh beliau
adalah manhaj tafsir bi al-ra'yi / bi al-ijtihadi.
B. Tariqah
(Metode) Tafsir Qur'an Karim Dari hasil kajian terhadap metode tafsir Zainuddin
Hamidy, bila ditinjau dari sudut sistimatika penulisannya, jelas beliau
menggunakan metode tahlili, karena beliau menafsirkan ayat al-Quran secara urut
sesuai dengan urutan ayat dan surat dalam al-Qur'an, yaitu dimulai dengan surat
al-fatihah dan diakhiri dengan surat al-naas.
C. Lawn
(Corak) dan Mazhab Tafsir Lawn Tafsir Qur'an Karim karya Zainuddin Hamidy dan
Fachruddin Hs ini walaupun tidak secara nyata mengarah kepada salah lawn yang
ada, paling tidak secara keseluruhan yang tergambar dari uraiannya menuju pada
lawn sosial kemasyarakatan (Adab Ijtima'i).[3]
C. Contoh
Penafsiran
Surat
an-Nazi’at ayat 1-5
1. Demi
(malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras,
2. Dan
(malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut,
3. Dan
(malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat,
4.
Dan (malaikat-malaikat)
yang mendahului dengan kencang,
5. Dan
(malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia)
Perkataan-perkataan
dalam tangkas ini berbagai ditafsirkan oleh para ahli tafsir, jangankan
tafsir-tafsir lama, sedangkan tafsir Indonesia yang dikarang zaman kita ini pun
berbeda penafsirannya, menurut pilihan masing-masing.
H.
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin H.s mengartikannya: “ Demi (perhatikan) yang
mencabut dengan keras”.
(Tafsir Qur’an, hal.887)[4]
(Tafsir Qur’an, hal.887)[4]
IV.
KESIMPULAN
Bila
ditinjau dari sudut sistimatika penulisannya, jelas beliau menggunakan metode
tahlili, karena beliau menafsirkan ayat al-Quran secara urut sesuai dengan
urutan ayat dan surat dalam al-Qur'an, yaitu dimulai dengan surat al-fatihah
dan diakhiri dengan surat al-naas.
Lawn
(Corak) dan Mazhab Tafsir Lawn Tafsir Qur'an Karim karya Zainuddin Hamidy dan
Fachruddin Hs ini walaupun tidak secara nyata mengarah kepada salah lawn yang
ada, paling tidak secara keseluruhan yang tergambar dari uraiannya menuju pada
lawn sosial kemasyarakatan (Adab Ijtima'i).
V.
PENUTUP
Demikianlah pembahasan makalah yang dapat kami paparkan. Dan
tentunya masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan baik dari susunan
isinya maupun dalam penyampaiannya. Maka dari itu kritik dan saran sangat kami
harapkan, dan semuga makalah ini dapat menambah wawasan kita. Amin..
DAFTAR PUSTAKA
http://ulama-minang.blogspot.com/2010/01/h-fachruddin-hs-datuk-majo-indo-l-1905.html
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon