Tafsir Kontekstual Golongan Filosof

I.                   PENDAHULUAN

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril AS dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya, luas artinya dan cakupanya. Yang terdapat penjelasan masalah dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang paling lurus dalam pemikiran dan amal. Namun begitu, Allah SWT tidak memberi perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafal yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir al-Qur’an.
Ada perbedaan perspektif di kalangan para ulama tentang tafsir falsafi, ada yang menganggap bertentangan dengan Agama Islam dan jauh dari pemahaman nash, sehingga apabila dilakukan, maka akan sama dengan menjadikan agama sebagai filsafat. Di sudut lain, bagi ulama yang mendukung tafsir dengan metode falsafi ini berpendapat bahwa antara falsafah dengan agama Islam tidak ada pertentangan yang signifikan, sebab menurut mereka pada dasarnya wahyu Allah swt. itu tidak bertentangan dengan akal, oleh sebab itu, mereka membuat metode sinergis, dengan mengintegrasikan agama dengan filsafat, yang dimanifestasikan dalam bentuk pemberian takwil pada nash al-Qur’an yang tertentu dan memberikan kejelasan sesuai dengan pola pemikiran nalar.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Tafsir Falsafi
B.     Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi
C.    Contoh Penafsiran Tafsir Falsafi

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir Falsafi
Pengertian tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat[1]. Tafsir falsafi yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Tafsîr al-Falâsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-Ra`yi. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.[2]
Di dalam menafsirkan Al Qur’an terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang masing-masing mufasir. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi, ilmi, adabi, fiqhi, falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas serta pro-kontra dari zaman ke zaman.
Penafsiran terhadap al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam. Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan al-Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir al-Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang. Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.[3]
Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks al-Qur’an tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tarfir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan. Dan mungkin harapan tersebut tidak terlalu berlebihan karena di samping memang kita belum menemukan tafsir yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku-buku mereka.
Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.
Namun kombinasi hasil penafsiran tersebut dengan aspek sosio-historis tentunya akan semakin menyempurnakan eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat dan kredibel dari pada tafsir lain.

B.     Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi
Pada saat ilmu-ilmu agama dan sains mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, diantara buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato. Pada perkembangan selanjutnya para ulama tafsir mencoba memahami Al-Qur’an dengan metode filsafat tersebut, maka lahirlah metode falsafi.[4]
Thaba’ Thaba’i dalam tafsir al-Mizan fi tafsir al-Qur’an berpendapat bahwa para filosof menggunakan pemikiran filsafat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Sesuai dengan kecenderungan dan keilmuannya, Diantara tokoh filosof Islam adalah Al-Farabi, Ibnu-Shina. Thaba’ Thaba’i dalam tafsirnya memasukkan pembahasan filsafat sebagai tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak teori filsafat yang bertentangan dengan al-Qur’an. Ia menggunakan pembahasan filsafat hanya pada bagian ayat tertentu saja.
Dalam hal ini, ulama Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut:
Pertama, Golongan yang menolok filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal menentang filsafat dan berusaha menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah Imam al-Ghazali, karena itu ia mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak faham mereka. Demikian pula Fakhr al-Razi di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan membatalkan teori-teori filsafat mereka karena dinilai bertentangan dengan agama dan al-Qur’an. Dia membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan, khususnya dengan al-Qur’an dan akhirnya ia menolak dengan tegas berdasarkan alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
Kedua, Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat meskinya didalamnya terdapat ide-ide yang bertengan dengan nash-nash syar’i. Kelompok ini berupaya mengkompromikan antara filsafat dan agama serta berusaha untuk menyingkapkan segala pertentangan tersebut, namun usaha mereka belum mencapai titik temu secara final, melainkan masih berupaya memecahkan masalah secara setengah-setengah, sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an semata-mata berangkat dari sudut pandang teori filsafat yang didalamnya banyak hal tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an.
Jadi sederhananya adalah ada dua alasan dalam mengkompromikan al-Qur’an dengan filsafat, yaitu:
1.      Cara pertama, mereka melakukan ta’wil terhadap nash-nash al-Qur’an sesuai dengan pandangan filosof. Yakni mereka menundukkan nash-nash al-Qur’an pada pandangan-pandangan filsafat. Sehingga keduanya nampak seiring sejalan.
2.      Cara kedua, adalah mereka menjelaskan nash-nash al-Qur’an dengan pandangan pandangan teori filsafat. Mereka menempatkan pandangan para filosof sebagai bagian primer yang mereka ikuti, dan menempatkan al-Qur’an sebagai bagian sekunder yang mengikuti filsafat. Yakni filsafat melampaui al-Qur’an. Cara ini lebih berbahaya dari cara yang pertama.
Contoh Tafsir Falsafi adalah seperti dikatan al-Dzahabi menyebutkan penafsiran sebagian filosof yang mengingkari kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw., dengan fisik di samping ruhnya. Mereka hanya meyakini kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw., hanya dengan ruh tanpa jasad.
Di antara kitab tafsir yang ditulis berdasakan corak falsafi ini, yaitu dari golongan pertama yang menolak tafsir falsafat adalah:
1.      Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H)
2.      al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
Sedangkan dari golongan kedua seperti komentar al-Dzahabi tidak pernah mendengar bahwa diantara filosof mengarang kitab tafsir al-Qur’an secara lengkap, kerana sejauh ini tidak lebih dari sebagian pemahaman terhadat al-Qur’an secara parsial yang termuat dalam kitab falsafah yang mereka tulis. Penulisan secara parsial tafsir falsafi antara lain:
1.       Fushush al-Hikam, karya al-Farabi (w. 339 H)
2.      Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H)
3.      Rasail Ikhwan al-Safa.

C. Contoh Penafsiran Tafsir Falsafi
Menurut Aristoteles, untuk menunjukkan dan menjelaskan keberadaan Tuhan terdapat dua fenomena, yaitu waktu dan gerak. Ia menjelaskan bahwa waktu adalah sesuatu yang tidak berawal dan tidak berakhir. Dan ketika waktu dijadikan sebagai patokan, maka harus pula diasumsikan adanya gerak yang azali dan abadi. Gerak itu haruslah melingkar dan bersambung dalam tempat, sehingga gerak  ini pun tidak berawal dan berakhir. Gerakkan ini adalah gerakan pertama yang mengasumsikan adanya Penggerak pertama yang bersifat azali dan substantif. Lebih lanjut Aristoteles menetapkan bahwa Penggerak pertama ini haruslah diam karena Ia lah yang menggerakkan gerak yang azali tadi.
Dari pola pemikiran Aristoteles seperti inilah, kemudian Al Farabi dalam membangun kerangka kerja dasar analisis filosofis mengenai Tuhan dan dunia, berangkat dari pengakuan bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang tak bersebab di alam semesta dan segala sesuatu di alam semesta selain Tuhan dihasilkan oleh sejumlah “sebab” di luar dirinya.[5] Menurut al Farabi, segala sesuatu keluar dari Tuhan berdasarkan ilmu-Nya. Bagi Tuhan, cukup dengan mengetahui zat-Nya dapat menjadi sebab terjadinya alam. Alam keluar / terjadi dari Tuhan tanpa gerak atau alat, karena emanasi (pancaran) adalah pekerjaan akal semata.[6] Dalam hal ini,  al Farabi menjelaskan teori emanasinya, yang mirip dengan teori emanasinya Ibn Sina, yaitu adanya “akal pertama” sampai “akal kesepuluh” yang biasa disebut sebagai al ‘aql al fa’al.
‘Aql fa’al inilah yang melakukan aktifitas di dunia karena ‘aql fa’al ini sebagai penghasil materi dan  pemberi bentuk setiap materi serta jiwa bagi setiap benda ketika benda tersebut siap menerimanya. Jadi, ‘aql fa’al juga merupakan sumber eksistensi jiwa manusia.[7] Dengan kata lain, alam semesta diciptakan bukan dari tiada, melainkan dari sesuatu yang ada. Dan hal ini dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa alam ini qadim, yakni tidak bermula dalam waktu, bersifat kekal dan tidak hancur.[8]
Sebenarnya, selaku seorang Muslim, al Farabi tidak menolak bahwa Tuhan adalah “Pencipta abadi” alam semesta, tetapi selaku Aristotelian sejati, ia percaya bahwa aktifitas Tuhan hanya mencakup memunculkan dalam keadaan aktualitas kemungkinan-kemungkinan yang sebetulnya inheren dalam “materi pertama” (hayula), yang dinyatakan sebagai “abadi bersama Tuhan” (co-eternal). Ini sesuai dengan pemahaman Aristotelian tentang perubahan, bukan sebagai jalan pintasdari tidak ada menjadi ada, karena hal itu dianggap tidak dapat dipahami. Akan tetapi, sebagai proses melalui apa yang disebut “wujud potensial” berkembang melalui “bentuk” menuju “wujud aktual”. Oleh karena itu, Tuhan selaku “Pencipta abadi” konstan mengkombinasikan “materi” dengan “bentuk-bentuk” baru; Dia tidak menciptakan alam semesta muncul dari ke-tiada-an belaka pada saat tertentu pada masa lampau. Dan sebagai akibat logisnya, al Farabi percaya kepada “keabadian” waktu.
Hal demikian itu oleh al Ghazali, dalam kitabnya al Tahafut al Falasifah, dianggap menyalahi kemutlakan Tuhan, karena menganggap segala sesuatu abadi (co-eternal) bersama Tuhan adalah melanggar prinsip penting monotheisme. Menurut al Ghazali, dunia diciptakan oleh Tuhan dari ke-tiada-an mutlak. Bahkan, Tuhan tidak hanya menciptakan “bentuk” (forma) tetapi juga “materi” dan “waktu” bersama keduanya, sehingga memiliki permulaan tertentu dan oleh karenanya bersifat terbatas.[9] Lebih lanjut al Ghazali menyatakan bahwa qodim berarti tidak bermula, tidak pernah ada pada masa lampau dan oleh karena itu bisa membawa kepada pengertian tidak diciptakan. Dalam masalah ini, menurut al Ghazali, yang terpenting hanyalah Tuhan. Oleh karena itu, bagi al Ghazali, selain dari Tuhan haruslah bermula (hadits). Dan sebagai konsekuensi logisnya, alam (dunia) ini harus diasumsikan dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.[10] Dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa penciptaan alam yang tidak bermula adalah pendapat yang tidak dapat diterima oleh teologi, karena menurut teologi, Tuhan adalah Pencipta. Disini, yang dimaksud dengan “Pencipta” dalam paham teologi adalah “penciptaan sesuatu dari tiada” (creation ex nihilo). Masih menurut al Ghazali, kalau dikatakan alam tidak bermula, maka alam ini bukanlah diciptakan , dan Tuhan bukanlah sebagai “Pencipta”, padahal dalam al Qur’an telah jelas disebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta dari segala-galanya.
Pendapat al Ghazali yang demikian itu dibantah oleh Ibn Rusyd. Menurutnya, pendapat para teolog tentang penciptaan alam sebagaimana dikemukakan oleh al Ghazali itu tidak mempunyai dasar yang kuat, karena tidak ada satu ayat pun yang menyatakan bahwa pada mulanya Tuhan berwujud sendiri, yakni tidak ada wujud lain selain diri-Nya, dan kemudian barulah dijadikan alam. Kata Ibn Rusyd, ini hanyalah pendapat dan interpretasi para teolog saja.
Untuk memperkuat argumentasi rasionalnya itu, Ibn Rusyd mengutip Q.S. Hud ayat 7 yang berbunyi:
وهوالذي خلق السموات والارض فى ستة ايام وكان عرشه على لماء ليبلوكم ايكم احسن عملا
Artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Q.S. Huud: 7)[11]

Menurut Ibn Rusyd, ayat tersebut mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi, telah ada wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasan Tuhan. Juga dalam surat al Anbiya’: 30 yang berbunyi:
اولم يرالذين كفرواان السموات والارض كانتا رتقا ففتقنهما وجعلنا من الماء كل شيء حي افلا يوءمنون
Artinya: “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Q.S. al Anbiya’: 30)

Dari ayat-ayat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain, yang diberi nama “air”. Dalam ayat lain disebut “uap”. Antara “air” dan “uap” cukup berdekatan, maka bumi dan langit itu dijadikan dari “uap” atau “air”, dan bukan dari ketiadaan. Dengan demikian, alam, dalam arti unsurnya, adalah bersifat kekal dari zaman lampau atau qadim.[12]
Menurut Ibn Rusyd, sungguh pun alam ini diciptakan karena “sebab” yang lain, namun boleh bersifat qadim, yaitu tidak mempunyai permulaan dalam wujudnya. Dengan demikian, qadim berarti sesuatu yang dalam kejadiannya bersifat kekal, terus menerus, tak bermula dan tak berakhir. Selanjutnya,  Ibn Rusyd menambahkan bahwa antara teolog dan filosof memiliki perbedaan pemahaman tentang apa itu qadim dan hadits. Hadits menurut para teolog berarti mewujudkan dari tiada, sedangkan bagi filosof, hadits berarti mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir. Adapun qadim menurut filosof tidak selalu berarti tanpa sebab, tetapi bisa juga berarti sesuatu yang berwujud dengan sebab.

IV.             Kesimpulan
Tafsir falsafi berati pernafsiran al-Qur’an dengan menggunakan perserktif falsafah, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Adapun awal berkembangnya tafsir falsafah ini, bermula pada saat ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, diantara buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato. Pada perkembangan selanjutnya para ulama tafsir mencoba memahami Al-Qur’an dengan metode filsafat tersebut, maka lahirlah metode falsafi
Ulama Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut:
Pertama, Golongan yang menolak filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Seperti, Imam al-Ghazali dan Fakhr al-Razi Kedua, Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat meskinya didalamnya terdapat ide-ide yang bertengan dengan nash-nash syar’i. Seperti Ibn Sina, al-Farabi dan Ikhwan al-Syafa.

V.                PENUTUP
Demikianlah pembahasan makalah yang dapat kami paparkan. Dan tentunya masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan baik dari susunan isinya maupun dalam penyampaiannya. Maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan, dan semuga makalah ini dapat menambah wawasan kita. Amin..






Daftar Pustaka


Quraisy Syihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999).
Muhammad Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995).
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996).
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Dan Cara Perepannya, Penerjemah, Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994).
M. Amin Abdullah, Antara al Ghazali dan Kant; Fisafat Etika Islam, terj. Hamzah, (Bandung: Mizan, 2002), Cet-II.
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979).
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II, 1978).
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1994).
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mekar, 2004).





[1] Quraisy Syihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 182.

[2] Muhammad Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Jilid I, hlm. 431.
[3] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 215.
[4] Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Dan Cara Perepannya, Penerjemah, Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 20.
[5] M. Amin Abdullah, Antara al Ghazali dan Kant; Fisafat Etika Islam, terj. Hamzah, Bandung: Mizan, Cet. II, 2002, hlm. 59.
[6] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979,  hlm. 144.
[7] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979,  hlm. 61.
[8] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II, 1978, hlm. 45.
[9] M. Amin Abdullah, Antara al Ghazali dan Kant; Fisafat Etika Islam, terj. Hamzah, Bandung: Mizan, Cet. II, 2002, hlm. 62.
[10] Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 379.
[11] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004, hlm. 298.
[12] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II, 1978, hlm. 52.
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan