I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril AS dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan
bahasanya, luas artinya dan cakupanya.
Yang terdapat penjelasan masalah dasar-dasar
aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan
yang paling lurus dalam pemikiran dan amal. Namun begitu, Allah SWT tidak memberi perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak
lafal al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat
yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafal yang sedikit
saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan
yang berupa tafsir al-Qur’an.
Ada perbedaan
perspektif di kalangan para ulama tentang tafsir falsafi, ada yang menganggap
bertentangan dengan Agama Islam dan jauh dari pemahaman nash, sehingga apabila
dilakukan, maka akan sama dengan menjadikan agama sebagai filsafat. Di sudut lain, bagi ulama yang mendukung tafsir dengan metode falsafi ini
berpendapat bahwa antara falsafah dengan agama Islam tidak ada pertentangan
yang signifikan, sebab menurut mereka pada dasarnya wahyu Allah swt. itu tidak
bertentangan dengan akal, oleh sebab itu, mereka membuat metode sinergis,
dengan mengintegrasikan agama dengan filsafat, yang dimanifestasikan dalam
bentuk pemberian takwil pada nash al-Qur’an yang tertentu dan memberikan
kejelasan sesuai dengan pola pemikiran nalar.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Pengertian Tafsir Falsafi
B.
Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi
C.
Contoh Penafsiran Tafsir Falsafi
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir Falsafi
Pengertian tafsir falsafi
adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan dengan
persoalan-persoalan filsafat[1]. Tafsir
falsafi yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai
paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan
menggunakan filsafat. Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan
filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Tafsîr
al-Falâsifah, yakni
menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi,
seperti tafsir bi al-Ra`yi. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi
sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi
ayat. seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina,
dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka
ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.[2]
Di dalam menafsirkan Al Qur’an terdapat beberapa metode yang dipergunakan
sehingga membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan
latar belakang masing-masing mufasir. Sehingga timbullah berbagai corak
penafsiran seperti tafsir shufi, ilmi, adabi, fiqhi, falsafi dan lain-lain yang
tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas serta pro-kontra dari zaman
ke zaman.
Penafsiran terhadap al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal
Islam. Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi
kandungan al-Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka
tafsir al-Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf
bahkan hingga sekarang. Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut,
muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak
penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring
dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat
Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian
juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi universal hanya
berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini
kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada
sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi dan proposisi
makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan
lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.[3]
Dari pemahaman
tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya
terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer
yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga
memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks al-Qur’an tidak lepas dari struktur historis dan
konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir
tarfir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan
diberlebih-lebihan. Dan mungkin harapan tersebut tidak terlalu berlebihan
karena di samping memang kita belum menemukan tafsir yang secara utuh
menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu hanya pemahaman beberapa
ayat yang bisa kita temukan dalam buku-buku mereka.
Corak
penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman
kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut
dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode
berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran
makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun
keberannya masih tetap relatif.
Namun kombinasi hasil penafsiran tersebut dengan aspek sosio-historis
tentunya akan semakin menyempurnakan eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini
jelas akan lebih memikat dan kredibel dari pada tafsir lain.
B. Sejarah Munculnya Tafsir
Falsafi
Pada saat ilmu-ilmu agama dan sains mengalami
kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah-wilayah kekuasaan
Islam dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada
masa khalifah Abbasiyah, diantara buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku
karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato. Pada perkembangan
selanjutnya para ulama tafsir mencoba memahami Al-Qur’an dengan metode filsafat
tersebut, maka lahirlah metode falsafi.[4]
Thaba’ Thaba’i
dalam tafsir al-Mizan fi tafsir al-Qur’an berpendapat bahwa para filosof
menggunakan pemikiran filsafat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Sesuai dengan kecenderungan dan keilmuannya, Diantara tokoh filosof Islam
adalah Al-Farabi, Ibnu-Shina. Thaba’ Thaba’i dalam tafsirnya memasukkan
pembahasan filsafat sebagai tambahan dalam menerangkan suatu ayat atau menolak
teori filsafat yang bertentangan dengan al-Qur’an. Ia menggunakan pembahasan
filsafat hanya pada bagian ayat tertentu saja.
Dalam hal ini, ulama Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut:
Pertama, Golongan yang menolok filsafat, karena mereka
menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Kelompok ini secara
radikal menentang filsafat dan berusaha menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor
kelompok ini adalah Imam al-Ghazali, karena itu ia mengarang kitab al-Isyarat
dan kitab-kitab lain untuk menolak faham mereka. Demikian pula Fakhr al-Razi di
dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan membatalkan teori-teori
filsafat mereka karena dinilai bertentangan dengan agama dan al-Qur’an. Dia membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan,
khususnya dengan al-Qur’an dan akhirnya ia menolak dengan tegas
berdasarkan alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
Kedua, Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat meskinya didalamnya terdapat
ide-ide yang bertengan dengan nash-nash syar’i. Kelompok ini berupaya mengkompromikan
antara filsafat dan agama serta berusaha untuk menyingkapkan segala
pertentangan tersebut, namun usaha mereka belum mencapai titik temu secara
final, melainkan masih berupaya memecahkan masalah secara setengah-setengah,
sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an semata-mata berangkat dari
sudut pandang teori filsafat yang didalamnya banyak hal tidak mungkin
diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an.
Jadi sederhananya adalah ada
dua alasan dalam mengkompromikan al-Qur’an dengan filsafat,
yaitu:
1.
Cara pertama, mereka melakukan ta’wil terhadap nash-nash al-Qur’an sesuai
dengan pandangan filosof. Yakni mereka menundukkan nash-nash al-Qur’an pada
pandangan-pandangan filsafat. Sehingga keduanya nampak seiring sejalan.
2.
Cara kedua, adalah mereka menjelaskan nash-nash al-Qur’an dengan pandangan
pandangan teori filsafat. Mereka menempatkan pandangan para filosof sebagai
bagian primer yang mereka ikuti, dan menempatkan al-Qur’an sebagai bagian
sekunder yang mengikuti filsafat. Yakni filsafat melampaui al-Qur’an. Cara ini
lebih berbahaya dari cara yang pertama.
Contoh Tafsir Falsafi adalah seperti dikatan
al-Dzahabi menyebutkan penafsiran sebagian filosof yang mengingkari kemungkinan
mi’raj Nabi Muhammad Saw., dengan fisik di samping ruhnya. Mereka hanya meyakini
kemungkinan mi’raj Nabi Muhammad Saw., hanya dengan ruh tanpa jasad.
Di antara kitab tafsir yang
ditulis berdasakan corak falsafi ini, yaitu dari golongan pertama yang menolak
tafsir falsafat adalah:
1.
Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H)
2.
al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
Sedangkan dari golongan kedua seperti komentar
al-Dzahabi tidak pernah mendengar bahwa diantara filosof mengarang kitab tafsir
al-Qur’an secara lengkap, kerana sejauh ini tidak lebih dari sebagian pemahaman
terhadat al-Qur’an secara parsial yang termuat dalam kitab falsafah yang mereka
tulis. Penulisan secara parsial
tafsir falsafi antara lain:
1.
Fushush al-Hikam, karya al-Farabi (w. 339 H)
2.
Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H)
3.
Rasail Ikhwan al-Safa.
C. Contoh Penafsiran
Tafsir Falsafi
Menurut
Aristoteles, untuk menunjukkan dan menjelaskan keberadaan Tuhan terdapat dua
fenomena, yaitu waktu dan gerak. Ia menjelaskan bahwa waktu
adalah sesuatu yang tidak berawal dan tidak berakhir. Dan ketika waktu
dijadikan sebagai patokan, maka harus pula diasumsikan adanya gerak yang
azali dan abadi. Gerak itu haruslah melingkar dan bersambung
dalam tempat, sehingga gerak ini pun tidak berawal dan
berakhir. Gerakkan ini adalah gerakan pertama yang mengasumsikan
adanya Penggerak pertama yang bersifat azali dan substantif.
Lebih lanjut Aristoteles menetapkan bahwa Penggerak pertama ini haruslah
diam karena Ia lah yang menggerakkan gerak yang azali tadi.
Dari pola
pemikiran Aristoteles seperti inilah, kemudian Al Farabi dalam membangun
kerangka kerja dasar analisis filosofis mengenai Tuhan dan dunia, berangkat
dari pengakuan bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang tak bersebab di alam
semesta dan segala sesuatu di alam semesta selain Tuhan dihasilkan oleh
sejumlah “sebab” di luar dirinya.[5]
Menurut al Farabi, segala sesuatu keluar dari Tuhan berdasarkan ilmu-Nya.
Bagi Tuhan, cukup dengan mengetahui zat-Nya dapat menjadi sebab terjadinya
alam. Alam keluar / terjadi dari Tuhan tanpa gerak atau alat,
karena emanasi (pancaran) adalah pekerjaan akal semata.[6]
Dalam hal ini, al Farabi menjelaskan teori emanasinya, yang mirip dengan
teori emanasinya Ibn Sina, yaitu adanya “akal pertama” sampai “akal kesepuluh”
yang biasa disebut sebagai al ‘aql al fa’al.
‘Aql fa’al inilah yang melakukan aktifitas di
dunia karena ‘aql fa’al ini sebagai penghasil materi dan pemberi
bentuk setiap materi serta jiwa bagi setiap benda ketika benda tersebut siap
menerimanya. Jadi, ‘aql fa’al juga merupakan sumber eksistensi jiwa
manusia.[7]
Dengan kata lain, alam semesta diciptakan bukan dari tiada, melainkan
dari sesuatu yang ada. Dan hal ini dapat membawa kita pada kesimpulan
bahwa alam ini qadim, yakni tidak bermula dalam waktu, bersifat kekal
dan tidak hancur.[8]
Sebenarnya,
selaku seorang Muslim, al Farabi tidak menolak bahwa Tuhan adalah “Pencipta
abadi” alam semesta, tetapi selaku Aristotelian sejati, ia percaya bahwa
aktifitas Tuhan hanya mencakup memunculkan dalam keadaan aktualitas
kemungkinan-kemungkinan yang sebetulnya inheren dalam “materi pertama” (hayula),
yang dinyatakan sebagai “abadi bersama Tuhan” (co-eternal). Ini sesuai
dengan pemahaman Aristotelian tentang perubahan, bukan sebagai jalan pintasdari
tidak ada menjadi ada, karena hal itu dianggap tidak dapat
dipahami. Akan tetapi, sebagai proses melalui apa yang disebut “wujud
potensial” berkembang melalui “bentuk” menuju “wujud aktual”. Oleh karena itu,
Tuhan selaku “Pencipta abadi” konstan mengkombinasikan “materi” dengan
“bentuk-bentuk” baru; Dia tidak menciptakan alam semesta muncul dari ke-tiada-an
belaka pada saat tertentu pada masa lampau. Dan sebagai akibat logisnya, al
Farabi percaya kepada “keabadian” waktu.
Hal demikian
itu oleh al Ghazali, dalam kitabnya al Tahafut al Falasifah, dianggap
menyalahi kemutlakan Tuhan, karena menganggap segala sesuatu abadi (co-eternal)
bersama Tuhan adalah melanggar prinsip penting monotheisme. Menurut al
Ghazali, dunia diciptakan oleh Tuhan dari ke-tiada-an mutlak. Bahkan,
Tuhan tidak hanya menciptakan “bentuk” (forma) tetapi juga “materi” dan
“waktu” bersama keduanya, sehingga memiliki permulaan tertentu dan oleh
karenanya bersifat terbatas.[9]
Lebih lanjut al Ghazali menyatakan bahwa qodim berarti tidak bermula,
tidak pernah ada pada masa lampau dan oleh karena itu bisa membawa
kepada pengertian tidak diciptakan. Dalam masalah ini, menurut al
Ghazali, yang terpenting hanyalah Tuhan. Oleh karena itu, bagi al Ghazali,
selain dari Tuhan haruslah bermula (hadits). Dan sebagai konsekuensi
logisnya, alam (dunia) ini harus diasumsikan dari tidak ada menjadi ada
sebab diciptakan oleh Tuhan.[10]
Dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa penciptaan alam yang tidak
bermula adalah pendapat yang tidak dapat diterima oleh teologi, karena
menurut teologi, Tuhan adalah Pencipta. Disini, yang dimaksud dengan “Pencipta”
dalam paham teologi adalah “penciptaan sesuatu dari tiada” (creation ex
nihilo). Masih menurut al Ghazali, kalau dikatakan alam tidak bermula,
maka alam ini bukanlah diciptakan , dan Tuhan bukanlah sebagai “Pencipta”,
padahal dalam al Qur’an telah jelas disebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta dari
segala-galanya.
Pendapat al
Ghazali yang demikian itu dibantah oleh Ibn Rusyd. Menurutnya, pendapat para
teolog tentang penciptaan alam sebagaimana dikemukakan oleh al Ghazali itu
tidak mempunyai dasar yang kuat, karena tidak ada satu ayat pun yang menyatakan
bahwa pada mulanya Tuhan berwujud sendiri, yakni tidak ada wujud lain selain
diri-Nya, dan kemudian barulah dijadikan alam. Kata Ibn Rusyd, ini hanyalah
pendapat dan interpretasi para teolog saja.
Untuk
memperkuat argumentasi rasionalnya itu, Ibn Rusyd mengutip Q.S. Hud ayat 7 yang
berbunyi:
وهوالذي
خلق السموات والارض فى ستة ايام وكان عرشه على لماء ليبلوكم ايكم احسن عملا
Artinya: “Dan
Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah
singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara
kamu yang lebih baik amalnya.” (Q.S. Huud: 7)[11]
Menurut Ibn
Rusyd, ayat tersebut mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit
dan bumi, telah ada wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta
kekuasan Tuhan. Juga dalam surat al Anbiya’: 30 yang berbunyi:
اولم
يرالذين كفرواان السموات والارض كانتا رتقا ففتقنهما وجعلنا من الماء كل شيء حي
افلا يوءمنون
Artinya: “Dan
apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.
Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka
tiada juga beriman?” (Q.S. al Anbiya’: 30)
Dari ayat-ayat
di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan,
telah ada benda lain, yang diberi nama “air”. Dalam ayat lain disebut “uap”.
Antara “air” dan “uap” cukup berdekatan, maka bumi dan langit itu dijadikan
dari “uap” atau “air”, dan bukan dari ketiadaan. Dengan demikian, alam,
dalam arti unsurnya, adalah bersifat kekal dari zaman lampau atau qadim.[12]
Menurut Ibn Rusyd, sungguh pun alam ini diciptakan
karena “sebab” yang lain, namun boleh bersifat qadim, yaitu tidak
mempunyai permulaan dalam wujudnya. Dengan demikian, qadim berarti
sesuatu yang dalam kejadiannya bersifat kekal, terus menerus, tak bermula dan
tak berakhir. Selanjutnya, Ibn Rusyd menambahkan bahwa antara teolog dan
filosof memiliki perbedaan pemahaman tentang apa itu qadim dan hadits.
Hadits menurut para teolog berarti mewujudkan dari tiada,
sedangkan bagi filosof, hadits berarti mewujudkan yang tak bermula dan
tak berakhir. Adapun qadim menurut filosof tidak selalu berarti tanpa
sebab, tetapi bisa juga berarti sesuatu yang berwujud dengan sebab.
IV.
Kesimpulan
Tafsir falsafi
berati pernafsiran al-Qur’an dengan menggunakan perserktif falsafah, yaitu
tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga
yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti
bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat. Karena
ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori
filsafat.
Adapun awal berkembangnya tafsir falsafah ini, bermula
pada saat ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan
Islam berkembang di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan penerjemahan buku-buku
asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, diantara
buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku karangan para filosof seperti
Aristoteles dan Plato. Pada perkembangan selanjutnya para ulama tafsir mencoba
memahami Al-Qur’an dengan metode filsafat tersebut, maka lahirlah metode
falsafi
Ulama Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu sebagai berikut:
Pertama, Golongan yang menolak filsafat, karena mereka
menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Seperti, Imam al-Ghazali dan Fakhr al-Razi Kedua, Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat meskinya
didalamnya terdapat ide-ide yang bertengan dengan nash-nash syar’i. Seperti Ibn Sina, al-Farabi
dan Ikhwan al-Syafa.
V.
PENUTUP
Demikianlah pembahasan makalah yang
dapat kami paparkan. Dan tentunya masih terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan baik dari susunan isinya maupun dalam penyampaiannya. Maka dari itu
kritik dan saran sangat kami harapkan, dan semuga makalah ini dapat menambah
wawasan kita. Amin..
Daftar Pustaka
Quraisy
Syihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1999).
Muhammad
Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1995).
Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta:
Paramadina, 1996).
Abdul Hayy
Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Dan Cara Perepannya, Penerjemah, Suryan A. Jamrah,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994).
M. Amin Abdullah, Antara al Ghazali dan Kant;
Fisafat Etika Islam, terj. Hamzah, (Bandung: Mizan, 2002), Cet-II.
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1979).
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam
Islam, (Jakarta :
Bulan Bintang, Cet. II, 1978).
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan,
1994).
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya:
Mekar, 2004).
[2] Muhammad Husein al-Dzahabi,
Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Jilid I, hlm.
431.
[3] Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta:
Paramadina, 1996), hal. 215.
[4] Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Dan
Cara Perepannya, Penerjemah, Suryan A. Jamrah,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 20.
[5] M. Amin Abdullah, Antara
al Ghazali dan Kant; Fisafat Etika Islam, terj. Hamzah, Bandung: Mizan,
Cet. II, 2002, hlm. 59.
[8] Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II, 1978, hlm. 45.
[9] M. Amin Abdullah, Antara al
Ghazali dan Kant; Fisafat Etika Islam, terj. Hamzah, Bandung: Mizan, Cet.
II, 2002, hlm. 62.
[12] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta :
Bulan Bintang, Cet. II, 1978, hlm. 52.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon