I.
PENDAHULUAN
Tariqah sebagaimana
telah diakui dalam Ilmu Tasawuf sebagai jalan yang memberi petunjuk dan membawa
seseorang itu kepada Tuhannya dengan pengabdian sebenarnya. Justru demikian,
jalan untuk menyampaikan kepada maksud dan tujuan itu terbentang luas dan banyak
sekali. Kepelbagaian tariqah yang wujud dan bermacam jenis, warna dan caranya
tetap kembali yang matlamat yang satu iaitu Taqarrub kepada Allah swt dan
akhirnya mancapai Makrifatullah.
Tariqah-tariqah
sejak awal kewujudannya telah berkembang pesat dan diamalkan sehingga ke hari
ini. Bilangannya banyak sekali. Ada tariqah-tariqah yang merupakan tariqah asas
yang dibentuk oleh ahli-ahli Tasawwuf, dan ada juga tariqah-tariqah yang
merupakan perpecahan daripada tariqah asas, telah dipengaruhi oleh pendapat
para masyaikh tariqah asas, telah dipengaruhi oleh pendapat para masyaikh
tariqah yang mengamalkannya di belakangnya atau oleh keadaan setempat, keadaan
bangsa yang menganut tariqah-tariqah itu. Banyak diantara perpecahan
tariqah-tariqah itu disusun atau diberi istilah-istilah yang sesuai dengan
tempat perkembangannya.
Dr Syeikh
H.Jalaluddin, seorang pakar ilmu Tasawwuf dan seorang ahli tariqah,telah banyak
menulis tentang perkembangan tariqah-tariqah, antara lain tariqah-tariqah yang
telah diakui kesahihannya. Beliau menerangkan tariqah-tariqah tersebut ada 41 tariqah,
dan salah satunya adalah tariqah ‘Aidrusiyyah yang akan dijelaskan oleh penulis
pada pembahasan selanjutnya.[1]
II.
SEJARAH MUNCUL DAN
BERKEMBANGNYA
Keturunan dari
Muhammad bin ‘Alawi Ba ‘Alawi, atau yang disebut dengan kelompok Ba ‘Alawi
mempunyai peranan penting dalam mewarnai Islam di Asia Tenggara, dan Indonesia
pada khususnya. Oleh karena itu, wajar bila sejarah mereka dilihat sebagai
bagian penting dalam kajian sejarah Islam di Asia Tenggara dan Indonesia.
Tradisi-tradisi ibadah yang dikembangkan oleh para tokoh Muslim dari keturunan
mereka biasa disebut dengan Thariqah’ Alawiyyah.[2]
Tarekat al-‘aydrus
adalah salah satu tarekat dari kalangan Ba’ ‘Alawi yang masyhur, terutama dalam
masalah aqidah. Banyak sekali kitab-kitab yang membahas tentang al-‘aydrus
sebagai salah seorang sufi yang ternama, bahkan pendapatnya tentang pandangan
masalah tasawuf juga banyak ditemukan dalam kitab-kitab tasawuf. Prof. Dr. H.
Abubakar Aceh berjumpa beberapa kali dengan nama al-‘aydrus, tetapi dengan
menyesal beliau tidak dapat mengetahui dengan sebenarnya al-‘aydrus mana yang
dikehendaki, karena penyebutan nama suku itu sangat umum dalam beberapa kitab
sufi.[3]
Beliau juga
mengatakan bahwa dalam mencari bahan-bahan untuk uraian tarekat ‘Aydrussiyah
sangatlah sulit ditemukan. Karena tidak ada kitab-kitab khusus yang
membicarakan sejarah perkembangan tarekat-tarekat itu, baik dalam bahasa Arab
maupun dalam bahasa asing yang beliau ketahui.[4]
III.
TOKOH DAN BIOGRAFI
SINGKAT
Abu Bakar ibn Syekh
Abdullah al-‘Aidrus bin Abi Bakar as-Sakran dilahirkan di Tarim. Beliau adalah
orang yang sangat sholeh. Menghafalkan al-Qur’an dan memperdalam ilmu Tafsir,
dan juga mempelajari ilmu lahir dan batin kepada beberapa tokoh-tokoh sufi yang
terkemuka. Beliau juga memperoleh ijazah dan khirqah dari beberapa tokoh sufi
yang terkenal, diantaranya dari para sufi yaitu neneknya Abdul Rahman (865 H).
Beliau mempelajari dan memperdalam kitab-kitab tasawuf seperti Ihya’ Ulumudin
karangan Imam Ghazali, Awariful Ma’arif, Risalah Qusyairiyyah dan kitab-kitab
lainnya.
Dalam
kitabnya “al-Silsilatul Quddusiyah” yang membahas khirqah
al-‘Aidrusiyah, ia menerangkan bahwa syeikhnya Abu Bakar mempunyai khirqah dan
silsilah dari tokoh-tokoh sufi yang terkemuka, sambung-menyambung sampai kepada
Syazii, Ibnal Maghrabi, al-Jabarti, Abu Madyan, Abdul Qadir Jailani, Imam
Suhrawardi dan lain-lain, yang didalam kitabnya tersebut disebutkan satu persatu
oleh beliau.
Sejarah
hidup al-‘Aidrus tersebut menunjukkan maqam dan ahwalnya yang gilang-gemilang,
penuh kemurnian, kesucian, keajaiban, dan juga penuh tanda-tanda seperti yaang
dipunyai oleh sufi yang masyhur. Pada waktu beliau berumur 20 tahun, ia dididik
oleh saudaranya, dan banyak bergaul dengan Syaikh Umar Al-Mahdar, pamannya yang
banyak menuntunnya dalam menempuh martabat suluk.
Abu Bakar Al-Aidrus
adalah seorang wali besar jarang yang dapat menyamai beliau di masanya. Beliau
termasuk salah seorang imam dan tokoh tasawuf yang terkemuka. Beliau belajar
tasawuf dari ayahnya dan dari para imam tasawuf yang terkemuka. Selain itu
beliau juga pernah belajar hadis Nabi dari Muhaddis Imam Shakawi.
Sebagian dari
karamahnya pernah diceritakan bahwa ketika beliau pulang dari perjalanan
hajinya beliau mampir di Kota Zaila' yang waktu itu wali kotanya bernama
Muhammad bin Atiq. Kebetulan waktu itu beliau berkunjung kepada wali kota yang
katanya kematian isteri yang dicintainya. Syeikh Abu Bakar menyatakan ikut
berdukacita dan menyuruhnya untuk tetap bersabar atas musibah yang dihadapinya
itu. Rupanya nasihat Syeikh itu rupanya tidak dapat menenangkan hati wali kota
itu. Bahkan ia makin menangis sejadi-jadinya sambil menciumi telapak kaki
Syeikh Abu Bakar minta doa padanya. Melihat kejadian itu Syeikh Abu Bakar
segera menyingkap tutup kain dari wajah wanita yang telah mati itu. Kemudian
beliau memanggil mayat itu dengan namanya sendiri. Dengan izin Allah, wanita
itu hidup kembali.
Syeikh Ahmad bin
Salim Bafadhal pernah menceritakan pengalamannya bersama Syeikh Abu Bakar:
"Pernah aku disuruh Muhammad bin Isa Banajar untuk membawakan hadiah buat
Syeikh Abu Bakar Al-Aidrus. Ketika aku beri salam padanya ia telah
memberitahukan dahulu apa yang kubawa sebelum kukatakan kepadanya tentang isi
hadiah itu. Kemudian Syeikh Abu Bakar berkata: "Berikan kepada si fulan
besar ini, berikan pada si fulan demikian dan seterusnya.
Ketika Syeikh Umar
bin Ahmad Al-Amudi datang berkunjung padanya waktu itu beliau menghormatinya
dan mengeluarkan semua makanan yang dimilikinya. Melihat hal itu, Syeikh Umar
berkata dalam hatinya: "Perbuatan semacam ini adalah membazir".
Dengan segera Syeikh Abu Bakar berkata dengan sindiran: "Mereka itu kami
jamu tapi mereka katakan perbuatan itu adalah membazir. Mendengar sindiran itu
Syeikh Umar Amudi segera minta maaf.
Termasuk karamahnya
jika seorang dalam keadaan bahaya kemudian ia menyebut nama Syeikh Abu Bakar
memohon bantuannya. Dengan segera Allah akan menolongnya. Kejadian semacam itu
pernah dialami oleh seorang penguasa bernama Marjan bin Abdullah. Ia termasuk
bawahannya bernama Amir bin Abdul Wahab. Katanya: "Ketika aku sampai di
tempat pemberhentian utama di kota San'a, tiba-tiba kami diserang oleh
sekelompok musuh. Kawan-kawanku berlarian meninggalkan aku. Melihat aku
sendirian, musuh mula menyerang aku dari segala penjuru. Di saat itulah aku
ingat pada Syeikh Abu Bakar Al-Aidrus dan kupanggil namanya beberapa kali. Demi
Allah di saat itu kulihat Syeikh Abu Bakar datang dan memegang tali kudaku dan
menghantarkan aku sampai ke tempat tinggal. Setelah aku sampai di rumahku,
kudaku yang penuh luka ditubuhnya mati".
Syeikh Dawud bin
Husin Alhabani pernah bercerita: "Ada seorang penguasa di suatu daerah
yang hendak menganiaya aku. Waktu sedang membaca surah Yaasin selama beberapa
hari untuk memohon perlindungan dari Allah, tiba-tiba aku bermimpi seolah-olah
ada orang berkata: "Sebutlah nama Abu Bakar Al-Aidrus". Tanyaku:
"Abu Bakar Al-Aidrus yang manakah, aku belum pernah mengenalnya".
Jelas orang itu: "Ia berada di Kota Aden (Hadhramaut)." setelah
kuucapkan nama itu, Allah menyelamatkan aku dari gangguan penguasa itu. Waktu
aku berkunjung ke tempat beliau, kudapati beliau memberitahu kejadian yang
kualami itu padaku sebelum aku menceritakan cerita pada beliau".
Sayid Muhammad bin
Ahmad Wathab juga bercerita tentangnya: "Pernah aku pergi ke negeri
Habasya (Ethiopia). Di sana aku dikeronok oleh gerombolan dan dirampas kudaku
serta hartaku. Hampir mereka membunuhku. Kemudian aku menyebut nama Syeikh Abu
Bakar Al-Aidrus mohon pertolongan sebanyak sebanyak tiga kali. Tiba-tiba
kulihat ada seorang lelaki besar tubuhnya, datang menolongku dan mengembalikan
kuda beserta hartaku yang dirampas. Orang itu berkata: "Pergilah ke tempat
yang kami inginkan".[5]
Pernah ia
mengatakan, bahwa pamannya pernah mengaruniainya tiga tangan, pertama dari Nabi
Muhammad mengenai tarekat kasyaf, tangan dari syeikh Abdur Rahman Saqqaf dan
tangan dari salah seorang Rijalull Ghaib.
Dapat kita bahwa
keluargannya dan sanak saudaranya adalah orang-orang alim dan toko-tokoh sufi,
sehingga baik pergaulannya maupun pengajarannya memberi bekas mendalam kepada
jiwa tasawufnya. Banyak ia mempelajari tarekat serta ilmunya, yang kemudian
dapat mengangkat kedudukannya, tarekat-tarekat yang berhubungan dengan ajaran
suluk, jazab, yang berhubungan dengan adab, inayah dan qurub.
Abdul Kadir bin Al-‘Aidrus pernah membuat
syair untuk memujinya, yang isinya, bahwa tarekat yang baik adalah tarekat yang
pernah direlai Al-‘Aidrus dan oleh karena katanya kerjakan dengan benar, tempuh
dengan niat jujur dan ikuti dia dengan jazab yang berlimpah-limpah. Seorang
muridnya Umar bin Abdur Rahman, menulis manaqib dan sejarah hidupnya yang
gilang-gemilang itu. Kemudian banyak orang lain menulis pula manaqib dan sejarah
hidup tokoh Tarekat ‘Aidrusiyah ini. Syeikh Abdullah bin Abi Bakar meninggal di
Tarim dalam usia 54 tahun dan dikuburkan disana.
Sebagaimana yang
telah kita katakan keluarga Al-‘Aidrus banyak sekali melahirkan tokoh-tokoh
sufi yanf terkemuka, di antaranya S. Abdur Rahman bin Mustafa Al-‘Aidrus, yang
pernah menjadi pembicaraan Al-Jabarti dalam sejarahnya. Al-Jabarti menerangakan
bahwa S. Abdur Rahman mula-mula mendapat ijazah dari ayah dan kakeknya, pernah
mempelajari ilmu fiqih daripada seorang tokoh ulama yang terkemuka Abdu Rahman
Bin Abdulah Balfaqih. Dalam tahun 1153 ia pergi dengan ayahnya ke India dan disana ia berkumpul dengan tokoh
terkemuka juga dalam tassawuf, Abdullah bin Umar Al-mahdar Al-‘Aidrus, yang
mendidiknya dalam tarekat zikir sampai ia diberi ijazah. Ia juga belajar kepada
Mustafa bin Umar Al-‘Aidrus, Husen bin Abdur Rahman bin Muhammad Al-‘Aidrus,
Muhammad Fadlullah Al-‘Aidrus, sehingga ia mendapat ijazah yang bersilsilah.
Guru-gurunya yang lain adalah Muhammad Fakhir Al-Abbasi, Ghulam Ali dan Haidar
Al-Husaini, belajar ilmu hadits dari Yusuf As-Surati, Azizullah Al-Hindi,
selanjutnya belajar pada As-Sindi dll.
Dalam tahun 1158 H,
ia berangkat ke Mesir yang mengagumkan ulama-ulama di Mesir, banyak diantaranya
yang memperoleh ijazah daripadanya. Ia beulang-ulang ke Mesir dan India, ia
pernah naik haji tujuh kali dan mengunjungi Dimyath beberapa beberapa kali.
Wiri-wiridnya dikemukakan dalam kitab tersebut di atas “Iqdul Yawaqit
Al-Jauhariyah” .[6]
IV.
AJARAN TAREKAT
Al-Fatihatu ilaa
hadhrati al-habib Sayyidina Muhammadin S.A.W. wa aalihi wa sahbihi wa man
waalaahu. Wa ilaa ruuhi sayyidina al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas,
shohibi ratib, wa syeich Ali bin Abdillaahi al-Baaras. wa usuulihim wa
furuu’ihim annallaaha jataghasyaahum bir’rahmati wal maghfirati al-fatiha.
A’uudhu billaahi minasy’yaitaani rajiim. Bismillaahirahmaanirahiim.
Alhamdulillaahi rabbil aalamiin. Arrahmaanirahiim maalikijawmid’diin.
Ijaakana’buduu wa ijaa kanastaiin.Ihdinas’siraatal mustaqiim. Siraathal’ladhiina
anámtu alaihim Ghairil maghdhuu alaihim walaa dhaaliin. Aamiin. Lau’anzalnaa
haadhal qur’aana alaa Jabalin lara’aitahu ghaasyian mutasad’dian min
ghasy’yatil’laahi wa tilkal amthaalu nadhribuhaa linnaasi la’allahum
jatafakkaruun. Huwallaahul ladhii laa ilaaha illaa huwa aalimul ghai’bi wa
shahaadati huwa rahmaanirahiim. Huwallaahul ladhii laa ilaaha illaa huwa
al-malikul Qud’duusu salaamul mu’minul muhaiminul aziizul Jabbaarul mutakabbiru
subhaanallaahi amma jusyrikuun. Huwallaahul ghaalikul baari’ul musawwiru lahul
asmaa’ul husnaa jusabbihu lahu maa fii samaawaati wal ardhi wa huwal aziizul
haqiim.
A’uudhu billaahis
samii’il aliimi minasy’syaitaani rajiim(3x).
A’uudhu
bikalimaatillaahi taamaati min syarri maa ghalaqa(3x).
Bismillaahil ladhii
laa jadhurru ma’asmihii syai’un fil ardhi walaa fis’samaa’i wahuwassamii’ul
aliim(3x).
Bismillaahirahmaanirahiim,
walaa hawlaa walaa quwwata illaabillaahil alijjil adhiim(10x).
Bismillaahirahmaanirahiim(3x).
Bismillaahi
tahassanaa billaahi, bismillaahi tawakkalnaa billlaahi(3x).
Bismillaahi
aamannaa billaahi wa man ju’min billaahi laa ghawfun alaihi(3x).
Subhaanallaahi
azzallaahu subhaanallaahi jal’lallaahu(3x).
Subhaanalaahi wa
bihamdihi subhaanallaahil adhiim(3x).
Subhaanallaahi
wal handulillaahi walaa ilaaha illallaahu wallaahu akbar(4x).
Yaa, lathiifan
bighalqihi yaa, Aliiman bighalqihi yaa, ghabiiran bighalqihi al-tufbinaa yaa,
lathiifu yaa, aliimu yaa, ghabiir(3x).
Yaa, lathiifan
lam jazal al-tufbinaa fiimaa nazal innaka lathiifu lam tazal al-tufbinaa wal
muslimiin(3x).
Laa ilaaha
illallaah(40x).
Muhammadur’rasuulullaah(1x).
Hasbunallaahu wa
ni’mal wakiil(7x).
Allahumma salli
alaa Muhammadin allahumma salli alaihi wa sallim(11x).
Astghfirullaah(11x).
Taa’ibuuna
illallaah(3x).
Yaa, allaahu
bihaa yaa, allaahu yaa, kariimu yaa, allaahu bihusnil ghaatimah(3x).
Ghufranaka
rabbanaa wa ilajkal masiir laa jukalliful’laaha nafsan illaa wus’ahaa lahaa maa
kasabat wa alaihaa maa aktasabat rabbanaa laa tu’agidhnaa in’nasiinaa
aw’agta’naa rabbanaa walaa tahmil alainaa isran kamaa hamaltahu alal’ladhiina
min qablinaa rabbanaa walaa tuhammilnaa maalaa qatalanaa bihi wa’fu annaa wagh
firlanaa warhamnaa anta mawlaanaa fansurnaa alal qawmil kaafiriin. Al-Fatihatu
ilaa Hadhrati sayyidinaa wa Habibinaa wa Syafi’inaa rasuulillaahi Muhammad ibn
Abdillaahi sallallaahu alaihi wa aalihi wa ashaabihi wa azwaajihi wa
dhurri’jaatihi bi’annallaaha ju’lii darajaatihim fil jannati wa janfa’unaa bi
asraarihim wa anwaarihim wa uluumihim fid’diini wa dunjaa wal aaghirati wa
jadz’alunaa min hizbihim wa jarzuqnaa mahabbatuhum wa jatawafaanaa alaa
millatihim wa jah’syurnaa fii zumratihim. Al-Fatiha athaa bakumullaah.(Surat
al-fatiha).
V.
HAL-HAL LAIN ATAU
KEISTIMEWAAN TAREKAT
Perkataan Ratib mempunyai banyak erti. Ratib
yang dimaksudkan di sini berasal dari perkataan (rattaba) bererti
mengaturkan atau menyusun. Ratib adalah sesuatu yang tersusun, teratur dengan
rapinya. Sembahyang sunnah Rawatib adalah antara sembahyang-sembahyang sunnah
yang diamalkan pada waktu-waktu yang tertentu oleh Nabi s.a.w. Ratib al-Attas
mengandungi zikir, ayat-ayat al-Quran dan doa-doa yang telah sedia tersusun
oleh al-Habib Umar bin Abdul Rahman al-Attas yang juga dibaca pada waktu-waktu
yang tertentu.
Istilah Ratib digunakan kebanyakkannya di
negeri Hadhramaut dalam menyebut zikir-zikir yang biasanya pendek dengan
bilangan kiraan zikir yang sedikit (seperti 3, 7, 10, 11 dan 40 kali), senang
diamalkan dan dibaca pada waktu-waktu yang tertentu iaitu sekali pada waktu
pagi dan sekali pada waktu malam. Terdapat Ratib al-Haddad, Ratib al-Aidrus,
Ratib al-Muhdhor dan lain-lain.
Keutamaan Ratib
Berkata sebilangan ulama ahli salaf, antara
keutamaan ratib ini bagi mereka yang tetap mengamalkannya, adalah dipanjangkan
umur, mendapat Husnul-Khatimah, menjaga
segala kepunyaannya di laut dan di bumi dan senantiasa berada dalam
perlindungan Allah.
Bagi mereka yang mempunyai hajat yang
tertentu, membaca ratib pada suatu tempat yang kosong dengan berwuduk, mengadap
kiblat dan berniat apa kehendaknya, Insya-Allah dimustajabkan Allah. Para salaf
berkata ia amat mujarrab dalam menyampaikan segala permintaan jika dibacanya
sebanyak 41 kali.
Antara kelebihan ratib ini adalah, ia menjaga
rumahnya dan 40 rumah-rumah jirannya dari kebakaran, kecurian dan terkena
sihir. As-Syeikh Ali Baras berkata: “Apabila dibaca dalam suatu kampung atau
suatu tempat, ia mengamankan ahlinya seperti dijaga oleh 70 pahlawan yang
bekuda. Ratib ini mengandungi rahsia-rahsia yang bermanfaat. Mereka yang tetap
mengamalkannya akan diampunkan Allah dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di
laut.”
Bagi mereka yang terkena sihir dan membaca
ratib, Insya-Allah diselamatkan Allah dengan berkat Asma’ Allah, ayat-ayat
al-Quran dan amalan Nabi Muhammad s.a.w.
Al-Habib Husein bin Abdullah bin Muhammad bin
Mohsen bin Husein al-Attas berkata: “Mereka yang mengamalkan ratib dan terpatuk
ular nescaya tidak akan terjadi apa-apa pada dirinya. Bagi orang yang takut
nescaya akan selamat dari segala yang ditakuti. Pernah ada seorang yang
diserang oleh 15 orang pencuri dan dia selamat.”
Pernah datang satu kumpulan mengadu akan hal
mereka yang dikelilingi musuh. Al-Habib Husein menyuruh mereka membaca ratib
dan beliau jamin Insya-Allah mereka akan selamat.
Ada sebuah kampung yang cukup yakin dengan
Habib Umar al-Attas dan tidak tinggal dalam membaca ratibnya. Kecil, besar, tua
dan muda setiap malam mereka membaca ratib beramai-ramai dengan suara yang
kuat. Kebetulan kampung itu mempunyai musuh yang hendak menyerang mereka.
Kumpulan musuh ini menghantar seorang pengintip untuk mencari rahsia tempat
mereka supaya dapat diserang. Kebetulan pada waktu si pengintip datang dengan
sembunyi-sembunyi mereka sedang membaca ratib dan sampai kepada zikir yang
artinya: “Dengan nama Allah, kami beriman kepada
Allah dan barang siapa yang beriman kepada Allah tiada takut baginya!”
Mendengar tiada takut
baginya, dan diulangi sampai tiga kali, si pengintip terus menjadi
takut dan kembali lalu menceritakan kepada orang-orangnya apa yang dia dengar
dan mereka tidak jadi menyerang. Maka selamatlah kampung itu.[7]
VI.
PENUTUP
Karya tulis ini
masih sangat jauh dari kesempurnaan dikarenakan sulitnya literatur yang bisa
penulis dapatkan. Untuk itu, penulis memohon kritik dan saran untuk kemajuan yang lebih baik. Atas perhatiannya
penulis ucapkan terima kasih.
[1] Aceh,
Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat, (Kajian Historis tentang Mistik),
Solo : Ramadhani 1993. Hlm. 303
[2] http://www.bamah.net/2011/05/pengaruh-kaum-ba%E2%80%99alawi-dalam-penyebaran-islam-di-indonesia/
[3] Aceh,
Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat, (Kajian Historis tentang Mistik), Solo :
Ramadhani 1993. Hlm. 360
[4] Ibid.
Hlm. 362
[5] Isa,
Zulkifli Mat, Kemuliaan Para Wali, Perniagaan Jahabersa.
[6] Aceh,
Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat, (Kajian Historis tentang Mistik),
Solo : Ramadhani 1993. Hlm. 303
[7] Kelebihan Ratib: Huraian Ratib al-Habib Umar
bin Abdul Rahman al-Attas, oleh Syed Hassan bin Muhammad al-Attas, Masjid
Ba’alwi Singapura, terbitan Hamid Offset Service
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon