Unsur-Unsur dalam Hadits

    Oleh: Zaimuddin Ahya'




PENDAHULUAN
Mengingat hadits merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah al-qur’an, maka penting bagi kita ummat muslim untuk mengetahui segala sesuatu hal yang berkaitan dengan hadits, termasuk mempelajari ilmu-ilmu hadits dalam rangka menyelami hadits-hadits Nabi yang merupakan wasiyat Rasulullah bagi ummat islam sedunia. Dalam mempelajari suatu hadits maka kita butuh pengetahuan mengenai adanya unsur-unsur yang ada di dalam hadits. Maka dalam penjabaran makalah ini nanti akan kami jabarkan mengenai unsur apa saja yang ada di dalam hadits. 

RUMUSAN MASALAH
  1. Pengertian Sanad, Matan, Rawi
  2. Kedudukan Sanad dan Matan
PEMBAHASAN
Secara struktur hadits terdiri dari tiga komponen, yakni sanad (rantai penutur), matan (redaksi hadits), dan rawi (mukhorij).
  1. Pengertian Sanad, Matan, Rawi.
Kata sanad menurut bahasa adalah sandaran, tempat kita bersandar. Dikatakan demikian karena hadits bersandar pada sanad. Adapun menurut istilah, para ahli hadits mengatakan sanad adalah jalan yang menyampaikan kita pada matan hadits. Ada juga yang mengatakan sanad adalah silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadits.[1] Adapun sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur atau perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya. Dalam hal ini jumlah nama-nama yang tercantum dalam urutan sanad turut menentukan derajat hadits dengan sanad ‘aliy (jumlah rawinya lebih sedikit dibandingkan dengan sanad lain), atau sanad nazil (jumlah rawinya lebih banyak dibanding dengan sanad yang lain).[2]
Selain istilah sanad, terdapat juga istilah-istilah seperti isnad, musnid dan musnad. Kata-kata seperti ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama hadits.
Kata isnad menurut ilmu bahasa berarti menyandarkan atau mengembalikan ke asal. Sedangkan menurut istilah isnad adalah menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya.[3]
Sedangkan musnid ialah orang yang menerangkan hadits dengan menyebut sanadnya. Adapun musnad ialah hadits yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang.[4]
Rangkaian sanad itu berdasarkan perbedaan tingkat kedhabitan dan keadilan rawi yang dijadikan sanadnya. Ada yang berderajat tinggi, sedang, dan lemah. Para muhaditsin membagi tingkatan sanadnya menjadi tiga, yakni ashahhul asanid (sana-sanad yang lebih shahih), ahsanul asanid, adh’aful asanid.[5]
Kata matan menurut bahasa berarti mairtafa’a min al-ardhi (tanah yang meninggi). Sedangkan menurut istilah adalah lafadz-lafadz hadits yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu. Ada juga redaksi yang lebih simpel lagi, yang menyebutkan bahwa matan adalah ujung sanad (gayah as-sanad).[6]
Terkait dengan matan atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadits adalah ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan. Dan matan hadits dalam hubungannya dengan hadits lain apakah sanadnya menguatkan atau melemahkan serta sesuai dengan al-qur’an atau bertolak belakang.[7]
Sedangkan rawi adalah orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadist (naqil al-hadits). Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap tabaqahnya disebut juga rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan tetapi yang membedakan antara rawi dan sanad, adalah terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits.[8]
Adapun istilah riwayat menurut bahasa adalah memindahkan dan menukilkan berita dari sesesorang  kepada orang lain. Menurut ilmu hadits ialah memindahkan hadits dari seseorang guru kepada orang lain, atau membukukannya ke dalam kumpulan hadits.[9] Oleh karena itu orang-orang yang meriwayatkan hadits kemudian disebut sebagai rawi hadits.
  1. Kedudukan Sanad dan Matan.
Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits yang diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad akan dapat diketahui hadits yang dapat diterima atau ditolak dan hadits yang shahih atau tidak shahih. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum islam.
Abdullah Ibnu Mubarak berkata, “menerangkan sanad hadits termasuk tugas agama. Andai tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya tanpa memerlukan sanad adalah seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga”. Kemudian Asy-Syafi’i juga berkata, “perumpamaan orang yang mencari (menerima) hadits tanpa sanad sama dengan orang yang mengumpulkan kayu api di malam hari”.
Perhatian terhadap sanad pada masa shahabat, yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dengan daya ingat mereka yang luar biasa. Memerhatikan sanad riwayat adalah suatu keistimewaan dari ketentuan-ketentuan umat islam. Tujuannya adalah untuk memelihara sunnah agar terhindar dari tangan-tangan ahli bid’ah dan para pendusta. Karena dengan adanya sanad inilah, para ahli hadits dapat membedakan hadits yang shahih dan yang dha’if dengan cara melihat para perawi hadits tersebut. Jika tidak ada sanad niscaya islam sekarang akan sama sepreti pada zaman sebelumnya karena pada zaman sebelumnya tidak ada sanad sehingga perkataan nabi-nabi mereka dan orang-orang shaleh diantara mereka tidak dapat dibedakan. Adapun islam yang sekarang telah berumur 1400 tahun lebih masih dapat dibedakan antara perkataan Rasulullah dan perkataan shahabat.[10]

KESIMPULAN
            Dari apa yang kami paparkan diatas telah cukup jelas dapat simpulkan bahwa penjagaan terhadap sanad, matan dan rawi merupakan hal penting yang nantinya dapat menjadi patokan dalam menentukan derajat suatu hadits, serta dapat menjadi benteng penjagaan agar suatu hadits dapat terhindar dari praktek-praktek pemalsukan suatu hadits.

PENUTUP
Demikian yang dapat kami susun dan sampaikan. Tentunya sangat wajar bila dalam makalah ini terdapat kekurangan ataupun kesalahan, dan oleh karena itu kami mengharapkan koreksi serta kritik saran dari teman-teman guna penyempurnaan makalah ini.

  
  

DAFTAR PUSTAKA

ü  Drs. M. Agus Sholahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadits, Bandung, Pustaka Setia, 2009
ü  Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1999
ü  Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis, Jakarta, Rajawali Pers, 2003






[1] Drs. M. Agus Sholahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadits, Bandung, Pustaka Setia, 2009, hlm. 90.
[2] Ibid. hlm. 97
[3] Ibid. hlm. 93
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 169.
[5] Ibid. Ulumul Hadits, hlm. 94
[6] Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis, Jakarta, Rajawali Pers, 2003, hlm. 47
[7] Ibid. Ulumul Hadits, hlm. 99
[8] Ibid. Ilmu Hadis, hlm. 47
[9] Ibid. Sejarah &Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 170
[10] Ibid. Ulumul Hadits, hlm. 103 
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan