I.
PENDAHULUAN
Aktivitas antarmanusia-termasuk aktivitas
ekonomi-terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu’amalah
(interaksi). Pesan utama Al-Qur’an dalam mu’amalah keuangan atau aktivitas
ekonomi adalah:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara bathil…” (QS
Al-Baqarah [2]: 188).
Dari ayat di atas, dapat kita ketahui bahwa dalam
hal jual beli pun diatur oleh Allah mulai dari hal kecil hingga hal yang besar
seperti akad dalam jual beli, mendatangkan saksi dalam bertransaksi dan
haramnya memakan riba. Lalu seperti apakah penafsiran ayat-ayat yang berbicara
tentang jual beli? Dalam hal ini pemakalah akan membahas penafsiran ayat-ayat
tentang jual beli menurut para mufassir. Semoga bermanfaat.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah itu
jual beli?
2.
Bagaimana
bunyi Ayat-ayat tentang Jual Beli? Serta bagaimana penafsirannya?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pengertian
“Jual beli” menurut bahasanya, ialah suatu bentuk akad penyerahan sesuatu
dengan sesuatu yang lain. Karena itu akad ini memasukkan juga segala sesuatu
yang tidak berupa uang, seperti tuak.
Sedangkan
menurut syara’, maka pengertian jual beli yang paling tepat ialah memiliki
sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar ijin syara’, atau
sekedar memiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan syara’. Dan yang demikian
itu harus dengan melalui pembayaran yang berupa uang.[1]
Dalam
referensi lain dijelaskan bahwa Jual beli menurut istilah syara’ adalah
menerima uang dari hasil penjualan suatu barang berdasarkan syara’, atau hanya menerima manfaat yang
diperkenankan syara’, dengan melalui pembayaran yang berupa uang.[2]
B. Ayat-ayat tentang Jual Beli dan penafirannya
1.
Jual
Beli
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿٢۷٥﴾ يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا
يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ ﴿٢۷٦﴾
“Orang-orang yang
memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual
beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia
berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan
urusannya (terserah) kepada Allah. barang siapa mengulangi, maka mereka itu
penghuni neraka, kekal di dalamnya.”(275) ”Allah memusnahkan riba sedikit demi sedikit dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang berulang-ulang
melakukan kekufuran, dan selalu berbuat banyak dosa.”
Firman Allah SWT., الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba.” Pada ayat ini, kata mengambil
diibaratkan dengan memakan, karena maksud sebenarnya dari pengambilan riba
memang untuk dimakan.[3]
Kata riba menurut etimologi bahasa maknanya adalah mutlak
penambahan, maknanya: jika bertambah. Di
antara makna menurut bahasa ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim: “Demi Tuhan, tidak satupun dari suapan yang kita makan kecuali
terus bertambah dari bawahnya.” Yakni makanan yang telah didoakan oleh Nabi
saw. agar penuh keberkahan.
Kemudian, makna secara syari’at telah dipalingkan dari makna yang
mutlak seperti ini (yakni penambahan), dan meminimalisir maksudnya secara
keseluruhan. Al-Qur’an terkadang menyebutkannya untuk makna penghasilan yang
haram, seperti pada firman Allah SWT. kepada orang-orang Yahudi: وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya” (QS. an-Nisaa’: 161). Namun yang dimaksud dengan riba
pada ayat ini tidak sama dengan riba yang dikenal dalam syari’at Islam, yang
dimaksud riba pada ayat ini adalah harta yang diharamkan secara keseluruhan,
seperti pada firman Allah SWT. pada ayat lain: سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak
memakan yang haram.” (QS. al-Maaidah: 42)
Yakni memakan harta yang haram, seperti misalnya dengan cara
menipu, atau menyogok, atau juga dengan cara menghalalkan harta orang-orang
ummi, dimana mereka mengatakan: لَيْسَ عَلَيْنَا فِي الْأُمِّيِّينَ سَبِيلٌ “Tidak ada dosa bagi
kami terhadap orang-orang ummi” (QS. Aali ‘Imraan: 75). Dengan demikian, maka
kata riba sebelum Islam adalah segala harta yang haram, yang didapatkan dari
cara apapun.
Riba dalam syari’at Islam adalah seperti kebanyakan yang dilakukan
oleh orang arab. Misalnya saja seperti perkataan mereka ketika menagih uang
pinjaman: apakah kamu mau menambah waktunya dengan menambahkan prosentase
bunganya? Lalu setelah itu karena orang yang berutang tidak mampu membayar maka
ia terpaksa menambah jumlah utangnya (sedangkan ia tidak menerima pinjaman
kecuali di awalnya saja). Dan ini adalah haram seperti yang disepakati oleh
seluruh umat sepanjang zaman.[4]
Firman Allah SWT., إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” Yakni:
sesungguhnya penambahan ketika datangnya jangka waktu terakhir untuk membayar
sebuah utang adalah sama dengan harga asli pada awal jual beli. Hal ini
dikarenakan orang arab tidak mengenal riba kecuali yang seperti ini. yaitu:
ketia datang saat orang yang berutang untuk membayar utangnya, maka orang yang
diutangi akan mengatakan: “apakah engkau akan membayar, atau engkau ingin
riba?” yakni: menambahkan prosentase pada utangnya.
Lalu Allah SWT. mengharamkan perilaku seperti ini, dan membantah
perkataan mereka yang menyamakan riba dengan jual beli melalui firman-Nya: وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.”
Allah SWT. juga menjelaskan bahwa ketika saat membayyat telah
tiba, namun orang yang berutang belum juga mampu membayarnya, maka disarankan
bagi yang mengutanginya untuk memberikan waktu tenggang hingga orang yang
berutang itu mempunyai kelapangan untuk membayar.
Huruf alif dan laam pada kata الْبَيْعَ berguna untuk
keterangan jenis, karena tidak ada penyebutan kata ini sebelumnya yang dapat
dijadikan sandaran tempat kembalinya. Lalu, setelah terbukti bahwa kata الْبَيْعَ adalah untuk
menerangkan keumuman ayat, maka yang menjadi pengkhususannya adalah kata riba
dan juga transaksi lainnya yang dilarang dan tidak diperbolehkan, seperti jual
beli khamer, perdagangan bangkai, transaksi sesuatu yang belum ada
kejelasannya, dan jual beli lainnya yang telah ditetapkan larangannya dalam
hadits maupun ijma’ para ulama.
Ini adalah pendapat dari kebanyakan para ulama. Sedangkan beberapa
ulama lainnya berpendapat bahwa ayat ini termasuk mujmal Al-Qur’an, yang
lalu dibagi-bagi menjadi jual beli yang halal dan jual beli yang haram. Oleh
karena itu ayat ini tidak dapat digunakan untuk penghalalan jual beli secara
keseluruhan ataupun pengharamannya secara keseluruhan, kecuali disertai dengan
penelasan dari hadits Rasulullah SAW. yang menunjukkan pembolehan jual beli
secara keseluruhan tanpa pembagi-bagian.[5]
Kata (يمحق)
yamhaq yang ditejemahkan dengan memusnahkan, dipahami oleh pakar-pakar bahasa
dalam arti mengurangi sedikit demi sedikit hingga habis, sama halnya dengan
sinar bulan setelah purnama, berkurang sedikit demi sedikit, sehingga lenyap
dari pandangan. Demikian juga riba.
Penganiayaan yang timbul karena praktek riba menimbulkan
kedengkian di kalangan masyarakat, khususnya kaum lemah. Kedengkian tersebut
sedikit demi sedikit bertambah dan bertambah, sehingga pada akhirnya
menimbulkan bencana yang membinasakan. Jangan menduga bahwa kebinasaan dan
keburukan riba hanya tercermin pada praktek-praktek amoral yang dilakukan oleh
para lintah darat, tetapi kebinasaan itu juga menimpa bidang ekonomi, pada
tingkat individu dan masyarakat. Banyak pengalaman dalam kedua tingkat itu yang
dapat dijadikan contoh. Banyak peristiwa yang membuktikan, betapa mereka yang
melakukan transaksi riba pada akhirnya terjerumus dalam kemiskinan. Demikianlah
Allah memusnahkan riba sedikit demi sedikit, tidak terasa oleh pelakunya,
kecuali setelah nasi menjadi bubur.
Lawan riba adalah sedekah. Tidak heran jika Allah menyuburkan
sedekah. Dari segi material, sedekah mengembangkan dan menambah harta. Buktinya,
seseorang yang bersedekah tulus akan
merasakan kelezatan dan kenikmatan membantu, dan ini pada gilirannya
melahirkan ketenangan dan ketenteraman jiwa yang dapat mendorongnya untuk lebih
berkonsentrasi dalam usahanya. Di sisi lain, penerima sedekah dan infak, dengan
bantuan yang diterimanya akan mampu mendorong terciptanya daya beli dan
penambahan produksi. Itu sedikit dari fungsi sedekah dan infak dalam
pengembangan harta.
Allah tidak menyukai, yakni tidak
mencurahkan rahmat, kepada setiap orang yang berulang-ulang melakukan
kekufuran, dan selalu berbuat banyak dosa.
Ayat ini sekali lagi mengisyaratkan kekufuran orang-orang yang
mempraktekkan riba, bahkan kekufuran berganda, sebagaimana dipahami dengan
penggunaan kata (كفار)
kaffar bukan kafir. Kekufuran berganda itu adalah sekali, ketika
mereka mempersamakan riba dengan jual beli sambil menolak ketetapan Allah, di
kali kedua, ketika mempraktekkan riba, dan di kali ketiga, ketika tidak
mensyukuri nikmat kelebihan yang mereka miliki, bahkan menggunakannya untuk
menindas dan menganiaya. Orang yang melakukannya selalu berbuat banyak dosa,
karena penganiayaan yang dilakukannya bukan hanya menimpa satu orang, tetapi
menimpa banyak orang, bukan hanya anggota keluarga yang kepala keluarganya
terpaksa melakukan transaksi riba, bahkan menimpa seluruh masyarakat.[6]
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ
تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ
الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ ﴿٣٧﴾
“Orang yang tidak dilalaikan oleh
perdagangan dan tidak (pula) oleh jual beli dari dzikrullah, dan melaksanakan
shalat serta menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (ketika itu)
hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).” An-Nur/24:37
Ayat di
atas menggunakan kata (تجارة) tijarah
dan (بيع) bai’.
Keduanya biasa diterjemahkan jual beli.
Sementara ulama memahami kata (تجارة) tijarah
dalam arti membeli dan (بيع) bai’
dalam arti menjual. Ada juga yang membedakannya dengan menyatakan bahwa
kata bai’ biasa digunakan untuk menggambarkan telah terjadinya transaksi
dan diperolehnya keuntungan, sedangkan kata tijarah menggambarkan
profesi jual beli. Dengan demikian seseorang yang tidak dilengahkan oleh tijarah
belum tentu ia tidak dilengahkan oleh bai’. Thabathaba’i berpendapat
bahwa kata tijarah jika diperhadapkan dengan bai’ maka ia berarti
kesinambungan dalam upaya mencari rezeki dengan jalan jual beli, sedang bai’
adalah upaya jual beli yang menghasilkan keuntungan riil yang sifatnya
langsung. Dengan demikian penggalan ayat ini bagaikan menyatakan bahwa
manusia-manusia itu tidak pernah lengah dari mengingat Allah sepanjang upaya
mereka yang bersinambung guna mencari keuntungan, dan tidak juga pada saat
mereka sedang melakuan jual beli dan meraih keuntungan. Ibn ‘Asyur memahami
kata tijarah dalam arti mendatangkan barang untuk memperoleh keuntungan
dengan jalan menjualnya, sedangkan bai’ adalah menjual sesuatu karena
kebutuhan akan harganya.[7]
Kata الْبَيْعَ (jual beli) dalam
bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari kata baa’a, yang artinya membeli
ini dengan itu, yakni menyerahkan sesuatu dan mengambil penggantinya.
Oleh karena itu, jual beli memerlukan adanya seorang pemilik
sesuatu yang disebut penjual, ataupun kata lainnya yang serupa dengan makna
penjual. Jual beli juga memerlukan adanya seorang pemilik uang yang disebut
pembeli, ataupun kata lainnya yang serupa dengan makna pembeli. Jual beli juga
memerlukan adanya suatu barang berharga yang disebut barang dagangan, ataupun
yang sejenisnya, yang ingin ditukar dengan sejumlah uang. Jual beli juga
memerlukan adanya sejumlah uang yang disebut dengan harga ataupun yang
sejenisnya, yang ingin ditukar dengan suatu barang tertentu.
Dengan demikian, maka rukun jual beli itu ada empat perkara:
yaitu, penjual, pembeli, harga (uang), dan benda (barang) yang dihargai.[8]
2. Kewajiban Mendatangkan Saksi dalam segala
bentuk Transaksi
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ
مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ
أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ
يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ﴿٢٨٣﴾
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu
tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang
dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa
kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena
barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah/1:
283)
Ayat ini
menerangkan tentang muamalah (transaksi) yang dilakukan tidak secara tunai,
yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada juru tulis yang akan
menuliskannya.
Dalam
hal muamalah yang tidak tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada
seorang juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah ada barang
tanggungan (agunan/jaminan) yang diserahkan kepada pihak yang berpiutang.
Kecuali jika masing-masing saling mempercayai dan menyerahkan diri kepada
Allah, maka muamalah itu boleh dilakukan tanpa menyerahkan barang jaminan.[9]
Firman
Allah SWT., فَرِهَانٌ
مَقْبُوضَةٌ “Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang).” Abu Umar dan Ibnu Katsir membacanya: faruhunun
(menggunakan harakat dhammah pada huruf ra’ dan ha’).
Ath-Thabari
mengatakan: sebagian kalangan berpendapat bahwa kata رُهُنٌ
adalah bentuk jamak dari رهان, dan
kata رهان ini
adalah bentuk jamak dari رَهْنٌ.
Dengan demikian maka kata رُهُنٌ adalah
bentuk jamak dari sebuah kata jamak.
Makna
dari kata رَهْنٌ (barang
gadaian) menurut para ulama adalah: penyerahan suatu benda yang dimiliki oleh
orang yang berutang sebagai jaminan, agar benda tersebut dapat dimanfaatkan
ketika ada alasan tertentu dari orang yang berutang hingga ia tidak dapat
mengembalikan pinjamannya. Begitulah makna yang disampaikan oleh para ulama.
Sedangkan dalam etimologi bahasa, kata رَهْنٌ ini
artinya adalah: selalu dan terus menerus.
Ibnu
Athiyah mengatakan: Ada juga yang mengatakan bahwa makna kata رَهْنٌ
adalah jaminan itu sendiri. Kata asalnya adalah أَرْهَنَ يُرْهِنُ ارْهاَناً.
Sedangkan Abu Ali berpendapat bahwa أَرْهَنَ
sebagai akar kata رَهْنٌ
digunakan untuk jual beli dan utang piutang biasa adalah رهْن. Berbeda lagi dengan pendapat Abu Zaid yang
mengatakan bahwa kata أُرْهِن
justru digunakan khusus pada barang yang mahal dan mewah. Sedangkan Az-Zujaj
berpendapat bahwa kedua kata ini dapat digunkan pada makna yang sama. Pendapat
ini juga didukung oleh Ibnu Al A’rabi dan Al Akhfasy.
Lalu
Ibnu Athiyah mengatakan: para ulama bahasa sepakat bahwa kata الرهْن
digunaka untuk jual beli dan utang piutang. Selanjutnya mashdar ini disebutkan
untuk barang yang telah dibayarkan.
Abu Ali
mengatakan: Karena menurut bahasa kata الرهْن itu
berarti tetap dan terus menerus, maka dari sini para ulama fikih mengambil
kesimpulan bahwa jika barang yang digadaikan telah berpindah dari tangan murtahin
(orang yang menerima barang gadaian itu) ke tangan rahin (orang yang
menggadaikan) dengan bentuk apapun juga.
Al-Qurthubi
berkata: inilah yang paling diunggulkan dalam madzhab kami, yaitu bahwa ketika
barang gadaian itu dipulangkan kepada rahin dengan kemauan si murtahin sendiri,
maka pegadaian pun telah terhenti sampai disitu.
Pendapat
ini juga diamini oleh Abu Hanifah, namun ia menambahkan: Jika orang tersebut
memulangkan barangnya dengan niat meminjamkan atau menitipkan maka pegadaian
masih terus berjalan.[10]
3.
Takaran
dan Timbangan
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا
نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ
ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ ﴿١٥٢﴾
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak
yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia)
dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak
membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara,
bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah.
Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.” Al-An’am/6:
152
Ayat di
atas menggunakan bentuk perintah – bukan larangan – menyangkut takaran dan
timbangan (وَأَوْفُوا الْكَيْلَ
وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ) wa aufu al-kaila wa al-mizana bi
al-qisth/ dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Ini menurut
Thahir Ibn ‘Asyur untuk mengisyaratkan bahwa mereka dituntut untuk memenuhi
secara sempurna timbangan dan takaran, sebagaimana dipahami dari kata (أَوْفُوا) aufu yang berarti sempurnakan,
sehingga perhatian mereka tidak sekadar pada upaya tidak mengurangi, tetapi
pada penyempurnaannya. Apalagi ketika itu alat-alat ukur masih sangat
sederhana. Kurma dan anggur pun mereka ukur bukan dengan timbangan dan takaran.
Hanya emas dan perak yang mereka timbang. Perintah menyempurnakan ini juga
mengandung dorongan untuk meningkatkan kemurahan hati dan kedermawanan yang
merupakan salah satu yang mereka akui dan banggakan sebagai sifat terpuji.
Seakan-akan ayat ini – tulis Ibn ‘Asyur – mengatakan pada mereka: “Dimanakah
kedermawanan kalian yang kalian berlomba untuk menampakkkannya. Bukankah
sebaiknya sifat terpuji itu kalian nampakkan pada saat menakar dan menimbang,
sehingga kalian melebihkannya dari sekadar berlaku adil, bukan justru
mengurangi dan mencurinya.
Kata (الْقِسْطِ) al-qisth mengandung makna rasa
senang kedua pihak yang bertransaksi, karena itu ia bukan sekadar berarti adil,
apalagi jika ada keadilan yang tidak dapat menyenangkan salah satu pihak. Yang
menganiaya tidak akan senang menerima, walau sanksi yang adil. Qisth bukan
hanya adil, tetapi sekaligus menjadikan kedua belah pihak senang dan rela.
Timbangan dan takaran harus menyenangkan kedua pihak, karena itu ayat di atas
di samping memerintahkan untuk menyempurnakan takaran dan timbangan, juga
memerintahkan penyempurnaan itu bi al-qisth, bukan sekadar bi al-‘adl/
dengan adil.
Perintah
menyempurnakan takaran disusul dengan kalimat: Kami tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sesuai kemampuannya. Ini dikemukakan untuk
mengingatkan bahwa memang dalam kehidupam sehari-hari tidak mudah mengukur
apalagi menimbang, yang benar-benar mencapai adar adil yang pasti, tetapi
kendati demikian, penimbang dan penakar hendaknya berhati-hati dan senantiasa
melakukan penimbangan dan penakaran itu semampu mungkin. Bahwa ayat ini
merupakan perintah kepada penjual atau pemberi barang, karena pembeli atau
penerima tidak selalu awas, apalagi saat disertai keinginan yang besar untuk
memperoleh barang itu. Juga karena takaran dan timbangan itu biasanya berada
ditangan pemberi barang bukan penerima atau pembelinya.
Perintah
memenuhi (عهد الله) ‘ahd
Allah/ janji Allah. Rangkaian kedua kata ini dapat berarti apa yang
ditetapkan oleh Allah atas kamu menyangkut perjanjian, yang dalam hal ini
adalah syariat agama; bisa juga dalam arti apa yang kamu telah janjikan kepada
Allah untuk melakukannya dan yang telah kamu akui, atau bisa jadi juga ia
berarti perjanjian yang Allah perintahkan untuk dipelihara dan dipenuhi. Kesemua
makna ini benar lagi diperintahkan Allah SWT. dan juga dapat ditampung oleh
redaksi tersebut. Bahwa ia dinamai perjanjian Allah, karena perjanjian itu
disaksikan oleh Allah lagi biasanya disepakati atas nama Allah SWT.[11]
IV.
KESIMPULAN
Pengertian “Jual beli” menurut bahasanya, ialah
suatu bentuk akad penyerahan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan
menurut syara’, maka pengertian jual beli yang paling tepat ialah memiliki
sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar ijin syara’, atau sekedar
memiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan syara’.
Dalam al-Qur’an terdapat kata (تجارة) tijarah
dan (بيع) bai’.
Keduanya biasa diterjemahkan jual beli. Sementara ulama memahami kata (تجارة) tijarah
dalam arti membeli dan (بيع) bai’
dalam arti menjual. Ada juga yang membedakannya dengan menyatakan bahwa
kata bai’ biasa digunakan untuk menggambarkan telah terjadinya transaksi
dan diperolehnya keuntungan, sedangkan kata tijarah menggambarkan
profesi jual beli. Dengan demikian seseorang yang tidak dilengahkan oleh tijarah
belum tentu ia tidak dilengahkan oleh bai’.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah ini kami susun. Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari
sempurna. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Syekh Syamsuddin Abu. 2010. Terjemah
Fathul Qarib, penj. Abu H.F. Ramadhan B.A,. Surabaya: Mutiara Ilmu
Asy-Syafi’i, Syaikh Al-Imam Al-Alim Al-Alammah
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad Bin Qasim. 1983. Terjemah Fathul Qarib,
penj. Drs. KH. Imron Abu Amar. Kudus: Menara Kudus
Kementrian Agama RI. 2012. Al-Qur’an dan
Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan). Jakarta: Kementerian Agama RI
Shihab, M. Quraish. 2000. Tafsir Al-Mishbah,
Pesan dan Keserasian Al-Qur’an. Cet. I. Jakarta: Lentera Hati
Al-Qurthubi, Syaikh Imam. 2007. Tafsir
al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam
[1] Syaikh Al-Imam Al-Alim Al-Alammah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad
Bin Qasim Asy-Syafi’I, Terjemah Fathul Qarib, penj. Drs. KH. Imron Abu
Amar, (Kudus: Menara Kudus, 1983), hlm. 228
[2] Syekh Syamsuddin Abu Abdillah, Terjemah Fathul Qarib, penj.
Abu H.F. Ramadhan B.A, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010), hlm. 165
[3] Maksud dari memakan pada ayat ini adalah seluruh bentuk pemanfaatan
dari harta tersebut, yaitu untuk dipergunakan membeli pakaian, tempat tinggal,
memberi makan pada anak-anaknya, dan lain sebagainya.
[4] Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), hlm. 768-770
[5] Syaikh Imam Al-Qurthubi, … , hlm. 786-788
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Keserasian al-Qur’an.
Cet. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. 556-557
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Keserasian al-Qur’an.
Cet. I, … , hlm. 356-357
[8] Syaikh Imam Al-Qurthubi, … , hlm. 788-789
[9] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang
Disempurnakan), (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 437-438
[10] Syaikh Imam Al-Qurthubi, … , hlm. 906-909
[11] Kementerian Agama RI, … , hlm.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon