Al-Munjiyat & Rinciannya

 I.  Pendahuluan 
Imam Ghazali di dalam bukunya yang berjudul Ihya’ Ulumu al-Diin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), membagi pembahasan tasawuf dalam empat bab, yaitu:
a.      Rub’u al-Ibaadaat (bagian peribadatan)
b.      Rub’u al-‘Aadaat  (bagian kebiasaan)
c.       Rub’u al-Muhlikat (Bagian perbuatan yang membinasakan/merusak), dan
d.      Rub’u al-Munjiyat (bagian perbuatan yang menyelamatkan)
Dan di dalam beberapa bab itu terdapat rincian dan penelasannya masing-masing. Sedangkan penulis pada makalah ini akan menjelaskan bab keempat, yaitu al-Munjiyat. 

II. Permasalahan
1.      Apakah yang dimaksud dengan al-Munjiyat?
2.      Apa saja rincian dari al-Munjyiat?
3.      Bagaimana signifikansi al-Munjiyat dalam kehidupan sehari-hari bagi kita semua?
  
III. Pembahasan
Al-Munjiyat membahas tentang sifat-sifat yang menyelamatkan. Persoalan  al-Munjiyat biasa disebut dengan sifat-sifat Mahmudah (terpuji) yang mesti diamalkan. Sifat-sifat ini terbagi atas lahir dan bathin, atau jasmani dan ruhani. Melalui proses Takhalli (bersih dari sifat tercela) dan Tahalli (mengisinya dengan sifat terpuji), akan tercapilah Tajalli (kenyataan ma’rifat pada Tuhan).[1]
Al-Munjiyat melingkupi sepuluh amalan, yaitu :
1)      Taubat
ان الله يحب التوابين ويحب المتطهرين
Artinya :”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri”.[2]
Dalam ayat ini disebutkan Tawwaab (orang-orang yang benar-benar bertaubat), bukan taaib (orang yang bertaubat). Sebab, begitu banyak orang yang bertaubat namun taubat mereka tidak diterima.[3]
Taubat adalah maqam pertama yang harus dilakukan oleh para sufi. Karena, dengan taubat kita dapat membersihkan diri kita dari perbuatan dosa yang telah kita perbuat. Taubat dibagi menjadi dua, Taubat al-inabah (taubat karena malu), da Taubat al-istijabah (taubat karena takut).[4] Menurut Dzu an-Nun al-Mishri, taubat dibagi menjadi dua, yaitu taubat Taubat ‘awwam (taubat dari dosa), dan Taubat Khawwash (taubat karena lalai). Sedangkan menurut Harun Nasution, taubat dibagi menjadi tiga, yaitu taubat dari dosa besar, taubat dari dosa kecil, da taubat dari hal yang makruh dan syubhat.
Melaksanakan taubat hukumnya wajib dari segala dosa-dosa yang telah  diperbuat. Jika seseorang melakukan dosa kepada Allah, tanpa ada hubungan sama sekali dengan orang lain, maka diwajibkan baginya melakukan tiga syarat,[5] yaitu :
a.      Hentikan kemaksiatan yang dilakukan,
b.      Menyesal telah melakukan kemaksiatan, dan
c.       Berniat tidak akan mengulangi emaksiatan.

Dan jika kemaksiatan yang diakukan berhubungan dengan sesama manusia, maka syarat-syaratnya ada empat macam, yaitu tiga syarat yang telah disebutkan dan harus melepaskan tanggungan yang telah dilakukan, serta mengembalikan hak orang tersebut. Jika tnggungan berupa hartaharta atau semisalnya, maka wajib mengembalikan harta tersebut kepada yang berhak.[6]
2)      Sabar dan syukur
     i.  Sabar
Dalam kamus lisanu al-arabi, kata sabar didefinisikan seperti seseorag yang bersungguh-sungguh mendaki bukit terjal yang penuh dengan batu-batu lancip. Jadi, sabar bukanlah sifat menerima kenyataan dengan tanpa usaha yang sungguh untuk keluar dari cobaan.
استعينوا بالصبر والصلاة ان الله مع الصابرين
Artinya :”Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sahalat. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Q.S. al-Baqarah :153)
     ii. Syukur
Syukur diikuti suruur (kebahagiaan), karena ia termasuk ihwalnya, dan juga kebijaksanaan , karena kebijaksanaan termasuk amalannya. Ilmu yang menjadi sebab bersyukur adalah engkau mengetahui bahwa seluruh kenikmatan datang dari Allah SWT semata. Bersyukur adalah wajib, karena termasuk keimanan kepada Allah SWT. Allah berfirman,
وما بكم من نعمة فمن الله
“Dan apa saja yang kelihatan dari kamu, maka itu datang dari Allah”. (Q.S. an-Nahl 16:53)
Mensyukuri kenikmatan adalah wajib, dan bersyukur merupakan bagian dari keimanan. Adapun keadaan spiritual yang tumbuh akibat bersyukur adalah rasa senang dan gembira atas kenikmatan Allah. Kegembiraan itu sendiri merupakan syukur, karena hal itulah yang dimaksudkan dengan hakikatnya. Bersyukur adalah wajib karena termasuk keimanan kepada Allah SWT. Selain itu, bersyukur merupakan buah keimanan kepada Allah SWT.
Adapun amalan syukur ada yang dimaksudkan dengan esensi dan selainnya. Bentuk amalan syukur, menurut hakikatnya adalah memmanfaatkan kenikmatan sesuai dengan tujuan penciptaannya dengan bijaksana. Sedangkan bentuka amalan syukur, menurut selain hakikatnya adalah memelihara kenikmatan yang ada dan berusaha untuk menambahnya.
Pendek kata, bersyukur adalah menggunakan kenikmatan sesuai dengan tujuan penciptaannya. Siapapun lurus ihwalnya sehingga ia bisa meletakkan setiap hal pada tempatnya, dia adalah orang yang bijaksana. Sebab, kebijaksanaan adalah menempatkan setiap hal pada tempatnya, baik berupa ilmu maupun amalan.[7]
3)      Takut dan harap
واياي فارهبون
“Dan kepadaKu, maka takutlah engkau semua”
Abu Naim al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawwuf Hasan al-Bashri sebagai berikut, “takut (Khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah senang tidur karena selalu mengingat Allah”.[8]
Khauf adalah ibadah hati, tidak dibenarkan Khauf ini kecuali terhadap-Nya SWT. Khauf adalah syarat pembuktian keimanan seseorang. Allah berfirman :
إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain syaitan-syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (Q.S. Ali Imran 3:175)
Takut juga diposisikan sebagai ujian, sebagaimana firman Allah SWT  :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan”. (Q.S. Al-Baqarah :155)
Menurut  Sayyid  Quthb, ayat tersebut menjelaskan tentang adanya keniscayaan untuk menempa jiwa dengan bencana dan ujian. Adanya rasa takut, merupakan “training” mental dan jiwa manusia. Oleh karena itu mereka yang memiliki positive thinking yang akan berhasil melewati rasa takut dan mampu meningkatkan kualitas hidupnya.
Raja’ tidaklah menjadikan pelakuya terpuji kecuali bila disertai dengan amalan. Allah berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Seseungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah di jalan Allah mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al-Baqarah : 218)
4)      Fakir dan zuhud
Ada sementara orang yang berpendapat bahwa yang dinamakan zuhud itu ialah dengan menyiksa diri sendiri, makan dan dan minum harus dikurangi sesangat-sangatnya, demikian pula tidur dan istirahatnya, pakaian cukup yang jelek-jelek, dan kelakuan yang bukan-bukan. Jelaslah bahwa bukan yang demikian ini yang dikehendaki oleh Rasulullah SAW. Memang zuhud itu jika kita lakukan, pasti kita akan dicintai oleh Allah SWT dan seluruh manusia. Nabi SAW bersabda, “Berlaku zuhudlah di dunia, pasti dicintai oleh Allah, dan berlaku zuhudlah terhadap milik orang lain, pasti dicintai oleh sesama manusia. Maka dari itu yang sekarang perlu kita sadari sebaik-baiknya adalah apaka yang dinamakan zuhud tu? Zuhud adalah meninggalkan ketamakan dalam urusan keduniawian, yang menyebabkan lupa ketaatan kepada Allah SWT, lengah untuk mencari bekal hidup di akhirat nanti. Inilah artinya zuhud di dunia.[9]
Sebagian orang berpendapat bahwa, jika seseorang itu mempunyai sifat zuhud, maka dia adalah orang yang kafir. Anggapan seperti itu tidak benar jika kita mlihat para sahabat di zaman Nabi. Banyak dari para sahabat yang memiliki kekayaan yang melimpah, tetapi mereka dengan kezuhudannya tidak pernah meletakkan keduniawian di hati mereka.
5)      Tauhid dan tawakkal
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan siapapun bertawakkal kepada Allah SWT, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. (Q.S. Al-Thalaq : 3)
Banyak sekali orang yang salah mengerti dalam melaksanakan  ketawakkalan kepada Allah SWT. Ada yang berpendapat, tawakkal adalah menyerah bulat-bulat kepada Allah tanpa berbuat daya dan upaya dan usaha untuk mencari mana-mana yang baik dan menyebabkan kebahagiaan. Ringkasnya orag tersebut enggan untuk berikhtiar. Adapun maksud tawakkal yang diperintahkan oleh Allah adalah menyerahkan diri kepada Allah sesudah berupaya sebagaimana mestinya. 
6)      Cinta, rindu, kedekatan dan rela
Mahabbah merupakan sumber dari hubungan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya, yakni manusia dan alam semesta. Mahabbah menjadi tingkat keruhanian penting setelah digali berdasarkan pengalaman mistik dari ahli tasawwuf Ja’far al-Shiddiq (699-756 M), yang dianggap sebagai pencetusnya, ia juga seorang ahli hadits dan tafsir. Mahabbah juga dikembangkan oleh Syaqiq al-Balkhi, Harits al-Muhasibi, dan terutama sekali dipopulerkan oleh Rabi’ah al-‘Adawiyah. Pada saat dikembangkan oleh para sufi tersebut tingkat keruhanian terpenting yang tersusun meliputi taubat, sabar, raja’, khauf, fakir zuhud, tauhid (selaras dengan kehendak Tuhan), tawakkal, dan mahabbah yang termasuk di dalamnya syauq, uns, dan ridla.
Menurut Rumi, hanya cinta yang dapat membawa seorang pelaku sufi berhasil dalam perjalanan mereka mencapai diri yang tinggi, sebab cinta merupakan cara unggul mencapai pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu. Di dalam sistem estetika sufi, cinta (‘isyq atau mahabbah)mempunyai makna luas. Mahabbah bukan diartikan secara umum, melainkan lebih pada keadaan dan tingkatan ruhani yang membawa seseorang mencapai pengetahuan ketuhanan. Sebagaimana diungkap dengan  indah oleh Abu Nu’aym al-Isfahani di dalam Hilyatu al-Awliyaa’, bahwa mahabbah merupakan gabungan dari berbagai unsur keadaan jiwa, “Hati orang arif adalah sarang cinta (‘Isyq), dan hati pecinta birahi (‘asyiq) adalah sarang rindu (syauq), dan hati orang rindu (syauqi) adalah sarang kedekatan (uns)”.
7)      Niat, jujur dan ikhlas
Menurut Imam al-Ghazali, ikhlas memiliki hakikat, prinsip dan kesempurnaan. Prinsip ikhlas adalah niat, sebab, dalam niat itu terdapat keikhlasan. Sedangkan hakikat ikhlas adalah kemurnian niat dari kotoran apapun yang mencampurinya. Kesempurnaan ikhlas adalah kejujuran. Ikhlas mempunyai tiga pilar, yaitu niat, keikhlasan niat dan kejujuran.
Pertama, niat. Allah berfirman :
وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yan menyeru kepada Tuhannya  di pagi hari, sedang mereka menghendaki keridlaanNya”. (Q.S. Al-An’am:52)
Al-Ghazali berpandangan bahwa hakikat niat adalah kemauan yang mendorong kekuatan yang lahir dari pengetahuan. Penjelasannya bahwa seluruh pekerjaan seseorang tidaklah absah tanpa kekuatan, kemauan dan ilmu. Ilmu akan menggerakkan kemauan, dan kemauan merupakan motivasi dan pendorong kekuatan, dan kekuatan adalah alat, sarana dan pembantu kemauan untuk menggerakkan seluruh organ tubuh.
Kedua, keikhlasan niat. Menurut Hujjatul Islam, ikhlas adalah pemusatan satu motivasi. Lawannya adalah dualisme dlam motivasi, sehingga setiap hal yang berkembang selalu dicampuri dengan unsur lain. Apabila terbebas dari segala bentuk campur unsur lain bisa disebut murni. Seperti penjelasan di atas bahwa niat merupakan pendorong. Orang beramal tanpa riya’ disebut dengan mukhlish. Orang yang beramal hanya karena Allah diebut mukhash. Namun ada istilah khusus bagi keduanya. Ingkar misalnya, adalah bentuk kecenderungan, namun kecenderungan dalam konteks kebatilan.
Ketiga, kejujuran. Kejujuran adalah kesempurnaan ikhlas. Menurut Ghazali ada enam tingkatan kejujuran. Orang yang mencapai derajat kejujuran yang sempurna layak disebut sebagai orang yang benar-benar jujur.
8)      Muraqabah (Pengharapan) dan Muhasabah (introspeksi)
Menurut al-Murta’isy al-Naisaburi, muraqabah adalah memelihara rahasia dengan memperhatikan yang ghaib. Bersama setiap kejap mata dan lafadz perkataan.[10] Pada intinya, sikap ini mencerminkan keimana kepada Allah, sehingga menyadari dengan sepenuh hati tanpa adanya keraguan, kebimbangan, bahwa Alah selalu mengawasi setiap gerak-geriknya, setiap langkah, setiap pandangan, setiap pendengaran, bahkan setiap keinginan yang terlintas dalam dirinya. Sehingga dari sifat ini, akan muncul pengalaman maksimal dalam beribadah kepada Allah SWT, di manapu ia berada, atau kapanpun ia beramal dalam kondisi eorang diri, ataupun ketika berada di tengah-tengah keramaian orang.
Muhasabah artinya menghitung-hitung diri, atau melakukan intropeksi terhadap seluruh ucapan, perbuatan lahir maupun perbuatan batin yang telah dilakukan.[11]
9)      Tafakkur
Dorongan untuk bertafakkur, tadabbur, berfikir dan mengambil pelajaran dapat diketahui dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits. Tafakkur adalah kunci untuk memperoleh cahaya, asas meminta pertolongan dan perangkap ilmu.[12]
حدثنا ابو معاوية عن اسماعيل بن مسلم عن الحسن قال : تفكروا في خلق الله ولا تتفكروا في الله
10)  Ingat mati
“Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa menantinya, dan juga takut akan kiamat yang akan menagih jnjinya”. Banyak duka dan cita di dunia memperteguh amal shalih.[13]
Mengingat mati itu sangat efektif menjauhkan diri kita dari berbuat aniaya dan dhalim. Sebab, jika seseorang hendak melakukan perbuatan dosa, hendklah ia segera mengingat kematian, karena halitu dapat mejauhkannya dari niat untuk berbuat dosa.

 IV.            PENUTUP
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Penulis hanya bisa meminta maaf dan mohon kritik dan sarannya untuk perbaikan selanjutnya. Terimakasih atas perhatiaannya.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anu al-Kariim
Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia : Sejarah dan Aliran, Jakarta : Gema Insani Press, 1997.
alGhazali, Mutiara Ihya’ Ulum al-Din, Bandung : PT. Mizan Publika, 2009
Imam Nawawi, Riyadlu al-Shalihin, al-Maktabah al-Syamilah
Imam Ghazali, ihya’ ulumuddin, terjemeh oleh Ismail ya’kub, Jakarta: CV. Fauzan. 1979
Irwan Kurniawan, Pilar-pilar Rohani, Jakarta : Lentera. 1998
Syafi’ah, Luqman Junaedi, Ensiklopdi Tasawuf Imam al-Ghazali, Bandung : PT. Mizan Publika, 2009
Zaimul Am, Sirrul Asrar (Hakikat Segala Rahasia Kehidupan), Jakarta : Zaman. 2011


[1] Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran, Jakarta : Gema Insani Press, 1997. Hlm. 58.
[2]Q.S. Al-Baqarah 2:222
[3] Zaim Am, Sirrul Asrar (Hakikat Segala Rahasia Kehidupan), Jakarta : Zaman. 2011. Hlm. 64
[4] Disampaikan oleh Prof. Amin Syukur dalam kuliah akhlaq tasawwuf.
[5] Imam Nawawi, Riyadlu al-Shalihin, al-Maktabah al-Syamilah. Hlm. 3
[6] Ibid. Hlm. 3
[7] Al-Ghazali dalam “Raudlah al-Thalibin wa Umdatu al-Salikin” (Beirut 1414 H), diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan dengan judul “Pilar-pilar Rohani” (Lentera, Jakarta 1998)
[9] Imam Nawawi, Riyadlu al-Shalihin, al-Maktabah al-Syamilah.
[10] Imam Ghazali, ihya’ ulumuddin, terjemeh oleh Ismail ya’kub, Jakarta: CV. Fauzan. 1979
[11] Syafi’ah, Luqman Junaedi, Ensiklopdi Tasawuf Imam al-Ghazali, Bandung : PT. Mizan Publika, 2009
[12] alGhazali, Mutiara Ihya’ Ulum al-Din, Bandung : PT. Mizan Publika, 2009
[13] Salah satu ajaran Hasan Basri menurut Hamka.

Suka artikel ini ?

About Aldiethok

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan