1. Pendahuluan
Kedudukan
shalat dalam agama Islam sangat tinggi dibanding dengan ibadah yang lainya. Shalat
merupakan pondasi utama bagi tegaknya agama Islam dan keislaman seseorang.
Dengan demikian tidaklah dapat di katakan seseorang beragama Islam jika yang
bersangkutan tidak melakukan shalat. Sebelum melakukan shalat kita harus
mengetahui pengertian, hukum-hukum dan syarat-syarat shalat yang akan kita
kerjakan.
Shalat
jum’at menjadi kewajiban setiap muslim, juga sebagai forum silaturahim bagi
umat muslim dan juga menunjukkan syiar Islam di wilayah masing-masing. Pada
hari jum’at, Allah memperlihahkan dengan jelas kepada hamba-hamba-Nya berbagai
amal yang utama, nikmat-nikmat yang melimpah, dan berkah-berkah yang tak
terhitung jumlahnya.
Oleh
karena itulah Allah mensyariatkan kaum muslimin untuk berkumpul di hari raya
sepekan sekali untuk berdzikir kepada Allah, mensyukuri-Nya, dan menunaikan
shalat jum’at. Allah memberikan perhatian yang lebih besar kepada shalat jumat
dari pada shalat-shalat yang lain. Pada kesempatan itu seluruh kaum muslimin
berkumpul di masjid agung untuk mendengarkan khutbah seorang khatib yang akan
memberi nasehat kepada mereka, dan mengajak mereka untuk ingat serta taat
kepada Allah, dan mengikuti sunah Nabi-Nya SAW.
2. Pokok
Masalah
a. Hukum Shalat
Jum’at dan Orang yang Diwajibkan Melakukannya
b. Syarat dan
Rukun Shalat Jum’at
c. Shalat Safar
(Qashar dan Jama’)
3. Analisis
A. Hukum Shalat
Jum’at
Shalat jum’at hukumnya
adalah fardlu ‘ain, sebagaimana firman Allah SWT :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن
كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”(QS. Al Jumu’ah : 9)
Dan Sabda Rasulullah SAW :
كما روى
مسلم في صحيحه عن أبي هريرة ، وابن عمر رضي الله عنهما ، أنهما سمعا النبي عليه
الصلاة والسلام يقول على أعواد منبره : ” لينتهين أقوام عن ودعهم الجمعات أو
ليختمن الله على قلوبهم ، ثم ليكونن من الغافلين ” ،
Dari
Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, keduanya mendengar Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda di atas mimbarnya : “Hendaknya suatu kaum benar-benar
berhenti dari meninggalkan shalat jum’at atau Allah akan menutup hati mereka
kemudian mereka menjadi bagian dari orang-orang yang lalai.”[1]
Namun ada
sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa hukum shalat jum’at adalah fardlu
kifayah. Sedangkan pendapat Imam Malik –riwayat yang Syadz- berpendapat
bahwa shalat jum’at itu sunnah.[2]
Penyebab perbedaan ini karena shalat Jum’at menyerupai shalat Id, sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW:
أن رسول الله صلى
الله عليه و سلم قال في جمعة من الجمع : يَا
مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللَّهُ عِيدًا
لِلمُسْلِمِينَ فَاغْتَسِلُوا
Artinya
: Bahwasanya Rasulullah SAW pernah
berkata pada suatu Jumat : “ wahai segenap kaum muslimin, sesungguhnya hari ini
telah Allah jadikan bagi sebagai sebuah hari raya, maka mandilah.[3]
B.
Waktu Shalat Jum’at
Waktu sholat Jum’at adalah sama
dengan waktu sholat Zhuhur, yaitu daritergelincirnya
matahari hingga ukuran bayangan sesuatu sama dengannya. Dalilmengenai ketentuan
waktu sholat Jum’at adalah hadits yang diriwayatkan olehImam Bukhori
dalam kitab “Shahih Bukhori” dari Anas bin Malik ra. :
كان النبي صلى
الله عليه وسلم يصلي الجمعة حين تميل الشمس
“Nabi SAW melaksanakan sholat Jum’at ketika matahari
condong (tergelincir)”.
Imam Muslim meriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’ ia
berkata :
كنا نجمع مع رسول الله ص م اذا زالت
الشمس ثم نرجع نتتبع الفئ
“Kami melaksanakan sholat jum’at bersama
Rasulullah SAW ketika mataharitelah
tergelincir, kemudian kami pulang mengikuti bayangan.[4]
C. Syarat-syarat
Shalat Jum’at
Mengenai syarat-syarat sholat Jum’at
terdapat perbedaan dari masing-masing mazhab. Berikut penulis sebutkan di bawah
pendapat masing-masing dalam masalah ini :
Hanafiyah : Mereka
berpendapat bahwa syarat-syarat sholat Jum’at yang tidak termasuk dalam
syarat-syarat sholat lainnya dapat dibagi menjadi dua bagian,yaitu syarat wajib
dan syarat sah. Syarat wajib sholat Jum’at menurut mereka ada enam :
1.
Laki-laki, maka
sholat Jum’at itu tidak wajib bagi wanita. Akan tetapi bila iamenghadirinya,
maka sholat Jum’atnya sah dan cukup baginya sebagai pengganti sholat Zhuhur.
2.
Merdeka, maka
sholat Jum’at itu tidak wajib bagi hamba sahaya. Akan tetapiapabila ia
menghadiri dan melaksanakannya, maka sholat Jum’atnya itu sah.
3.
Sehat, maka sholat
Jum’at itu tidak wajib bagi orang sakit yang tidak dapat pergi menghadiri
sholat Jum’at dengan jalan kaki. Jika ia tidak mampu pergike mesjid dengan
jalan kaki, maka kewajiban melaksanakan sholat Jum’at itugugur, sekalipun ada
orang yang dapat membawanya (menuntunnya), sesuaidengan kesepakatan Hanafiyah.
4.
Bermukim di daerah
tempat didirikannya sholat Jum’at atau dekat dengannya.Jika ia mukim di daerah
yang jauh dari tempat sholat Jum’at, maka sholatJum’at tidak wajib baginya.
Menurut mereka yang dimaksud jarak jauh adalah jarak 1 farsakh, yaitu 3 mil. 1
mil sama dengan 6.000 hasta, yaitu 5,04 Km.
5.
Berakal, maka
sholat Jum’at itu tidak wajib bagi orang gila dan yanghukumnya sama dengannya.
6.
Baligh, maka sholat
Jum’at itu tidak wajib bagi anak kecil yang belummencapai usia baligh.
Sedangkan syarat sahnya sholat Jum’at ada
tujuh, yaitu :
1.
Di dalam kota, maka
sholat Jum’at itu tidak diwajibkan kepada orang yangtinggal di desa,
berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
“Sholat Jum’at, Sholat Tasyriq, Sholat Idul
Fitri dan Sholat Idul Adha tidaklah dilaksanakan kecualidi negeri yang luas
atau kota besar.”(Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu AbiSyaibah dalam kitabnya,
yang sanadnya Mauquf di Ali ra. Demikian jugahadits ini diriwayatkan
al-Razzaq).
Perbedaan antara kota dan desa, bahwa kota
itu adalah suatu tempat (daerah)di mana paling besarnya mesjid yang ada di
dalamnya tidak cukup untuk menampung penduduknya yang mukallaf untuk
melaksanakan sholat Jum’at,sekalipun mereka tidak datang secara keseluruhan.
Inilah yang difatwakan oleh sebagian besar fuqaha mazhab Hanafiyah. Maka
menurut mereka sholat Jum’at itu sah dilaksanakan di setiap daerah yang di
dalamnya terdapat banyak masjid yang dipakai untuk mendirikan shalat Jum’at,
karena tidak ada satu pun masjid di suatu desa yang mampu menampung seluruh
penduduknya yang mukallaf.
2.
Ada izin dari
penguasa (pemimpin) atau wakilnya yang dipercayakan.
3.
Masuk waktu, maka
sholat Jum’at tidak sah kecuali apabila waktu zhuhur telah masuk.
4.
Berkhutbah.
5.
Khutbah itu
dilakukan sebelum sholat.
6.
Berjamaah, maka
sholat Jum’at itu tidak sah apabila dilaksanakan sendirian.
7.
Diperkenankan untuk
masyarakat umum oleh Imam (penguasa), maka sholat Jum’at itu tidak sah
dilaksanakan si suatu tempat yang sebagian orang dilarang masuk ke tempat
tersebut.
Malikiyah :
Mereka berpendapat bahwa syarat Jum’at itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu
syarat wajib dan syarat sah. Syarat wajibnya yaitu :
1.
Laki-laki, maka
sholat Jum’at itu tidak diwajibkan kepada wanita.
2.
Merdeka.
3.
Tidak ada uzur yang
membolehkan untuk meninggalkan sholat Jum’at.
4.
Orang tersebut
dapat melihat, maka sholat Jum’at tidak diwajibkan kepadaorang buta, kecuali
ada orang yang membawanya.
5.
Bukan seorang tua
bangka yang sulit baginya untuk hadir.
6.
Bukan pada waktu
panas membakar atau dingin mencekam.
7.
Ia tidak khawatir
ada seorang zalim memenjarakannya atau memukulnyauntuk aniaya.
8.
Ia tidak mengkhawatirkan hartanya,
kehormatannya, atau jiwanya.
9.
Ia bermukim di
suatu kota yang di sana didirikan sholat Jum’at, atau bermukim di suatu desa
atau kemah jauhnya dari kota itu berjarak 3⅓
mil.
10. Hendaknya
ia berada di negeri tempat tinggalnya.
Sedangkan syarat sah sholat Jum’at ada lima
perkara, yaitu :
1.
Tinggal di suatu
kota atau daerah di mana ia hidup di kota tersebutselamanya dalam keadaan aman
dari orang-orang pendatang yang dapatmenguasainya.
2.
Dihadiri dua belas
orang selain imam.
3.
Imam. Tentang imam
disyaratkan dua hal :
a.
Imam tersebut
seorang yang mukim atau musafir yang berniat mukim selama empat hari.
b.
Yang menjadi imam
adalah orang yang menjadi khatib.
4.
Dua khutbah.
5.
Di masjid Jami’.
Syafi’iyah :
Mereka berpendapat bahwa syarat-syarat sholat Jum’at itu dibagi menjadi dua
bagian, yaitu syarat wajib atau syarat sah.
Adapun syarat-syarat wajibnya sama dengan
syarat wajib yang 10sebagaimana pendapat Malikiyah. Namun Syafi’iyah menganggap
sah sholat Jum’atnya wanita dan hamba sahaya. Sementara itu Syafi’iyah juga
mensyaratkan hendaklah dapat mendengar seruan azan bagi orang yang bermukim
atau dekat tempat didirikannya.
Adapun syarat sahnya sholat Jum’at menurut
Syafi’iyah ada 6 perkara, yakni:
1.
Keseluruhan sholat
Jum’at dan kedua khutbahnya jatuh pada waktu Zhuhur dengan yakin.
2.
Dilaksanakan dalam
suatu bangunan yang luas (memadai), baik bangunan itudi kota, desa, kampung,
gua dalam gunung, ataupun bangunan di bawahtanah.
3.
Sholat Jum’at dilaksanakan
secara berjamaah.
4.
Jumlah jamaahnya
mencapai empat puluh orang.
5.
Sholat Jum’at itu
hendaknya dilakukan terlebih dahulu dari sholat lainnya ditempat sholat Jum’at
itu dilaksanakan.
6.
Mendahulukan dua
khutbah lengkap dengan rukun dan syaratnya.
Hanabilah :
Mereka juga berpendapat sama dengan tiga mazhab sebelumnya tentang adanya
syarat wajib dan syarat sah sholat Jum’at. Syarat wajibnya juga hampir sama
dengan mazhab lainnya yaitu :
1. Merdeka.
2. Laki-laki.
3. Tidak
ada uzur yang membolehkan untuk meninggalkan sholat Jum’at.
4. Hendaklah
orang itu dapat melihat.
5. Bukan
pada waktu panas membakar atau dingin mencekam.
6. Tidak
takut dipenjarakan dan lain sebagainya karena dizalimi.
7. Tidak
khawatir akan kehilangan harta atau mengkhawatirkan kehormatan atau jiwanya.
8. Sholat
Jum’at itu didirikan di sebuah gedung (bangunan).
Adapun syarat sahnya sholat Jum’at ada
empat yaitu :
1. Masuk
waktu.
2. Hendaknya
berukim di suatu kota atau desa.
3. Dihadiri
empat puluh orang atau lebih termasuk imamnya.
4. Dua
khutbah lengkap dengan syarat-syarat dan hukum-hukumnya.[5]
D. Hukum Sholat
Qabliyah Jum’at
Tiga mazhab (Hanafiyah, Malikiyah
dan Hanabilah) menyatakan bahwa shalat Qabliyah Jumat itu tidak ada dasar
pensyariatannya. Sedangkan satumazhab lagi yaitu As-Syafi'iyah menyatakan
sebaliknya. Inti perbedaan pendapat mereka terletak pada hadis-hadis yang
meriwayatkan praktek shalat qabliyah jumat itu. Di mana mereka yang
menafikannya mengatakan bahwa tidak ada satu pun hadits tentang itu yang
shahih. Yang ada hanyalah hadits-haditslemah saja.
Namun Syafi'iyah memang tidak
melandaskan pendapatnya pada hadits yang lemah sebagaimana dituduhkan. Beliau
mengambil jalan qiyas, yaitu mengqiyaskan shalat Jumat dengan shalat Zhuhur.
Sehingga kalau sebelum shalat Zhuhur disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah
sebelumnya, makademikian juga dengan shalat Jumat, disunnahkan untuk melakukan
shalat sunnah sebelumnya.
E.
Azan sholat Jum’at
Pada zaman Rasulullah Azan sholat
Jum'at hanya sekali, yaitu ketika Khatib telah naik ke atas mimbar dan duduk. Muadzin
malaksanakan azan di depan khatib. Ketika zaman Utsman bin Affan dan banyaknya
umat Islam di kota Madinah, maka beliau menganjurkan azan pertama untuk tujuan
mengingatkan kepada penduduk Madinah akan masuknya waktu sholat Jum'at, agar
mereka bergegas ke Masjid. (H.R. Bukhari, Baihaqi dll). Pendapat Usman ternyata
tidak ditentang para sahabat lain yang ada saat itu, sehingga ini merupakan
Ijma' Sahabat.[6]
F.
Rukun Dua Khutbah Jum’at
Sebuah ibadah dikatakan sah apabila
telah dipenuhi rukun dan syaratnya. Oleh karena itu supaya khutbah yang
disampaikan dalam pelaksanaan sholat Jum’at menjadi sah maka kita harus
mengetahui rukun khutbah. Dalam hal ini terjadi perbedaan pandangan mazhab
dalam hal ini. Berikut di bawah ini pendapat-pendapat masing-masing mazhab :
Hanafiyah : Mereka berpendapat bahwa khutbah
itu mempunyai satu rukun,yaitu harus berupa bacaan dzikir mencakup yang sedikit
dan yang banyak. Makauntuk memenuhi ketentuan khutbah yang difardhukan cukup
dengan sekali tahmid, sekali tasbih, dan sekali tahlil
Syafi’iyah: Mereka berpendapat bahwa rukun
khutbah itu ada lima :
1. Memuji Allah.
Pujian tersebut disyaratkan berupa “bacaan pujian” danhendaknya pujian itu
mencakup lafadz Jalalah (Allah). Rukun ini harus dilakukan dalam
masing-masing khutbah pertama dan kedua.
2. Membaca
sholawat atas Nabi SAW pada masing-masing dari kedua khutbah.
3. Berwasiat
(berpesan) agar supaya bertaqwa (kepada Allah) dalam masing-masing dari kedua
khutbah sekalipun tidak menggunakan lafadz “wasiat”.
4. Membaca satu
ayat dari Al-Qur’an dalam salah satu dari kedua khutbah.Membacanya pada khutbah
pertama lebih utama. Dan disyaratkan hendaknyaayat tersebut sempurna atau
sebagian dari ayat yang panjang dan hendaknyadapat dipahami maknanya.
5. Berdoa untuk
orang-orang mukmin dan mukminat, khususnya dalam khutbah kedua.
6.
Malikiyah : Mereka berpendapat bahwa khutbah
itu mempunyai satu rukun, yaitu hendaknya khutbah itu mencakup kabar gembira
dan kabar menakutkan, dan dalam kedua khutbah itu tidak disyaratkan menggunakan
kalimat bersajak. Jika ia berkhutbah dengan menggunakan kalimat-kalimat puitis
atau prosa, maka yang demikian sah. Dan disunnahkan mengulangi khutbahnya bila
tidak membaca shalawat.
Hanabilah : Mereka berpendapat bahwa rukun dua
khutbah itu ada empat :
1. Memuji Allah
pada awal dari masing-masing kedua khutbah dengan lafadz “Alhamdulillah”.
2. Membaca
shalawat kepada Rasulullah SAW dan harus dengan menggunakan lafadz shalawat
3. Membaca satu
ayat al-Qur’an, dan ayat tersebut harus utuh dalam makna danhukumnya
4.
Berwasiat (berpesan) agar bertaqwa kepada Allah SWT sedikitnya
denganmengucapkan اتقوا
الله
dan lain semacamnya.
G.
Syarat-syarat Dua Khutbah Jum’at
Dua khutbah Jum’at disyaratkan
beberapa hal berikut :
1.
Khutbah tersebut dilakukan sebelum sholat. Maka tidak
ia tidak dianggapsebagai khutbah Jum’at bila dilakukan setelah sholat sesuai
dengankesepakatan tiga imam mazhab. Malikiyah menyangkal pendapat ini.
MenurutMalikiyah, apabila kedua khutbah itu dilakukan setelah sholat, maka
yangdiulangi sholatnya saja sedangkan kedua khutbahnya sah dan tidak
perludiulang.
2.
Berniat untuk berkhutbah, menurut Hanafiyah dan
Hanabilah jika khatib berkhutbah tanpa niat, maka khutbahnya itu tidak
diperhitungkan. SedangkanSyafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa niat itu
bukan syarat sahnyakhutbah. Hanya saja Syafi’iyah mensyaratkan hendaknya khatib
tidak menyimpang dari khutbah. Jika ia bersin dan mengucapkan
alhamdulillah,maka khutbahnya batal. Tentang syarat ini tiga mazhab yang lain
tidak setujudengan pendapat Syafi’iyah.
3.
Hendaklah kedua khutbah tersebut menggunakan Bahasa
Arab menurut pandangan Hanabilah dan Malikiyah maskipun jamaahnya bukan orang
Arabyang tidak mengerti Bahasa Arab. Sedangkan Hanafiyah berpendapat
bahwakhutbah itu boleh disampaikan dengan selain Bahasa Arab. Dalam
pandanganSyafi’iyah yang disyaratkan menggunakan Bahasa Arab adalah
rukun-rukunkedua khutbah, selain itu tidak disyaratkan menggunakan Bahasa Arab.
4.
Hendaklah kedua khutbah dilakukan pada waktunya (waktu
zhuhur). Jika ia berkhutbah sebelum waktunya dan melaksanakan sholat, maka yang
demikianitu tidak sah secara sepakat.
5.
Hendaklah khatib mengeraskan kedua khutbahnya agar
dapat didengar olehhadirin.
6.
Hendaklah khatib tidak memisahkan antara khutbah dan
sholat Jum’at dengan tenggang waktu yang lama.
H.
Jama’
Menjama’ shalat adalah menggabungkan antara dua shalat (Dhuhur dg Ashar
atau Maghrib dg Isya’) dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh
seseorang melakukan jama’ taqdim dan jama’ ta’khir. (lihat Fiqus Sunnah
1/313-317).
Jama’ Taqdim adalah mengabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu
shalat pertama, yaitu; Dhuhur dengan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur,
Maghrib dan Isya dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama’ Taqdim harus dilakukan
secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun Jama’ Ta’khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam
waktu shalat kedua, yaitu Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar,
Maghrib dab Isya’ dikerjakan dalam waktu Isya’.Jama’ Ta’khir boleh dilakukan
secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah
dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. (lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94,
Kitab As Shalah, Prof. Dr.Abdullah Ath Thayyar 177).
Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya-baik
musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi
dilakukan ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam
2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah
musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan (HR.
Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll), dan
orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin
Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).
Berkata Imam Nawawi rahimahullah :”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa
seorang yang mukim boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak
dijadikan sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al
Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjama’ara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib
dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa
sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas beliau
menjawab:”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak ingin memberatkan
umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).
I.
Qashar
Qashar
adalah meringkas shalat empat raka’at (dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua
rakaat. (lihat Tafsir Ath Thabari 4/244, Mu’jamul Washit hal 738). Dasar
mengqashar shalat adalah Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. (lihat Al
Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab 4/165).
Allah Ta’ala berfirman :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ
يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا
مُبِينًا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang
kafir.” (QS. an Nisaa’:
101).
Qashar hanya boleh dilakukan oleh Musafir-baik safar
dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu
dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila
bepergiannya bisa disebut safar menurut pengertian umumnya. sebagian ulama
memberikan batasan dengan safar yang lebih dari 80 Km agar tidak terjadi
kebingungan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shahih
yang jelas. (lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim
1/481, Fiqhua Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath
Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam
menentukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak
mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan
tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km-, karena pendapat ini juga merupakan
pendapat para Imam dan Ulama yang layak berijtihad. (lihat Majmu’ Fatawa
Syaikh Utsaimin 15/265).
Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya
apabila telah meninggalkan kampong halamannya sampai dia pulang kembali ke
rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al Khalafi 138).
Berkata Anas radhiallahu ‘anhu: “Aku shalat bersama
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di kota Madinah empar raka’at dan di
Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).
J. Jama’ dan Qashar
Tidak
ada kelaziman antara jama’ dan qashar. Musafir disunahkan untuk mengqashar
shalat dan tidak harus menjama’, yang afdhal bagi musafir yang telah
menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar
saja tanpa menjama’ sebagaimana dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam ketika berada di Mina pada waktu haji wada’, yaitu beliau hanya
mengqashar saja tanpa menjama’ (lihat Sifat haji Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam,
karya Al Albani),
Dan
beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah melakukan jama’ sekaligus qashar pada
wkatu perang Tabuk. (HR. Muslim, lihat Taudhihul Ahkam, AL Bassam
2/308-309 ).
Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam selalu melakukan jama’ sekaligus qashar apabila
dalam perjalanan dan belum sampai tujuan. (As Shalah 181.Pendapat ini merupakan fatwa para
ulama termasuk Syaikh Abdul Aziz bin Baz). Jadi Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sedikit sekali menjama’ shalatnya karena beliau
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melakukannya ketika diperlukan saja. (lihat
Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308).
4. Penutup
Cukup
sekian makalah dari kami. Kritik dan saran sangat penulis harapkan demi
terciptanya keadaan yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Imam
Muslim, Shahîh Muslim, Maktabah al-Syamiilah. Juz 2
Ibnu
al-Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatu
al-Muqtashid. al-Hidayah : Surabaya.
Muhammad
bin Idris Abu Abdullah al-Syafi’i, Musnad al-Syafi’i, Dâru al-Kutub
al-‘Ilmiyyah : Beirut. Juz 1.
Al-juzairi,
Al-Fiqh ‘Ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Mathba’ah al-Istiqamah : Kairo.
[1]
Imam Muslim, Shahîh Muslim, Maktabah al-Syamiilah. Hal. 591. Juz
2
[2]
Ibnu al-Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatu
al-Muqtashid. al-Hidayah : Surabaya.
Hal. 113
[3]
Muhammad bin Idris Abu Abdullah al-Syafi’i, Musnad al-Syafi’i, Dâru
al-Kutub al-‘Ilmiyyah : Beirut. Juz 1. Hal. 63
[4]
Al-juzairi, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Mathba’ah al-Istiqamah
: Kairo. Hal. 591
[5]
Ibid. Hal. 595-596
[6]
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT.
RemajaRosdakarya, Cet. III, 2003.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon