Oleh: Zaimuddin Ahya'
I. Riwayat Hidup
I. Riwayat Hidup
Plato lahir
sekitar tahun 427 SM dalam sebuah keluarga bangsawan Athena yang kaya raya,
yang hidup ketika Yunani menjadi pusat kebudayaan besar selama empat abad.
Ayahnya bernama ariston dan ibunya periktione. Sesudah ariston meninggal,
periktione dinikahi pamannya yang bernama pyrilampes, seorang politikus
kalangan perikles. Sejak masa mudanya ia bergaul dengan tokoh-tokoh penting
yang memainkan peranan penting dalam politik Athena. Saudara ibunya, kharmides,
dan kemenakan ibunya, kritias, termasuk partai aristokrat dan mereka adalah
anggota panitia “30 Tyrannoi” yang delapan bulan lamanya memerintah dengan kejam kota athena pada
tahun 404-403 SM. Mula-mula mereka berdua termasuk sahabat-sahabat sokrates,
tapi kemudian mereka menyimpang dari cita-cita sokrates. Dengan ini boleh
diandaikan bahwa Plato telah mengenal sokrates sejak ia masih kanak-kanak.
Dalam surat VII Plato mengisahkan bahwa ia
mencita-citakan sebuah karier politik dan beberapa kenalan dari “30 tyrannon”
mengajak dia supaya dia memasuki arena politik di bawah perlindungan mereka.
Tetapi lebih dulu ia menunggu hasil politik mereka. Dan plato terkejut ketika
mengetahui bahwa mereka mau mempergunakan sokrates untuk maksud jahat, yang
berakhir pada kematian sokrates. Dalam
surat yang sama Plato menceritakan pula bahwa pengalaman pahit ini sudah
memadamkan ambisi politiknya dan ia berkeyakinan bahwa satu-satunya pemecahan
adalah mempercayakan negara pada filsuf-filsuf sejati atau menjadikan
penguasa-penguasa sebagai filsuf-filsuf.
Sesudah sokrates meninggal Plato bersama
teman-temannya menetap di Megara pada murid sokrates kemudian kembali ke
Athena. Dan pada surat VII juga di sebutkan bahwa pada umur 40 tahun
plato mengunjungi italia dan sisilia. Tidak lama sesudah kembali dari Italia,
Plato mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama “Akademia”. Sekolah ini
dirancangkannya sebagai pusat penyelidikan ilmiah. Dengan itu Plato hendak
merealisasikan cita-citanya, yaitu memberikan pendidikan intensif dalam bidang
ilmu pengetahuan dan filsafat kepada orang-orang muda yang akan menjadi pemimpin-pemimpin politik
nanti. Mata pelajaran yang diindahkan ialah ilmu pasti. Menurut cerita tadisi,
di atas pintu masuk akademia terdapat tulisan: “yang belum mempelajari
matematika, janganlah masuk di sini”. Disamping ilmu pasti ilmu-ilmu lain
diperhatikan pula. Pengorganisasian negara dan pembuatan undang-undang mendapat
perhatian khusus sebagai pokok penyelidikan. Semua ilmu itu dan semua ilmu lain
yang sudah di praktekkan di negeri Yunani pada saat itu, dipelajari dalam
Akademia di bawah nama “filsafat”.
Empat puluh tahun lamanya Plato mengepalai
Akademia di Athena. Mengenai priode yang panjang ini tidak ada informasi lain
kecuali berita tentang urusannya dengan politik di pulau sisilia. Plato
mengepalai Akademia sampai kematiannya pada tahun 348 SM.
II.
Beberapa Sifat
khusus Filsafat Plato
1.
Bersifat “Sokratik”
Tidak dapat di
bantah bahwa pertemuan Plato dengan Sokrates merupakan peristiwa penentu dalam
kehidupan Plato. Buat Plato Sokrates adalah “orang yang paling baik, paling
bijaksana dan paling jujur” dan manusia paling adil dari seluruh jamannya”. Dalam
karya-karyanya, Sokrates diberi tempat
sentral. Sokrates mempunyai peranan dalam semua dialog Plato dan hampir selalu,
kecuali dialog-dialog yang dikarang Plato dalam masa tuanya. Ini mempunyai
kesan bahwa Plato dalam karyanya tidak ada maksud lain dari pada membangun
suatu monumen mengenangkan serta menghormati gurunya.
2.
Semua karya yang ditulis Plato
merupakan dialog-dialog, kecuali surat-surat dan Apologia. Plato adalah
filsuf pertama dalam sejarah filsafat yang memilih dialog sebagai bentuk sastra
untuk mengekpresikan pikiran-pikirannya.
Sulit ditemukan alasan kenapa Plato memilih
dialog, karna selain filsuf yang original sekali, Plato adalah juga seorang
sastrawan yang nilainya unggul dalam kesusastraan dunia dan selalu sukar kenapa
seniman memilih bentuk ini bukan bentuk yang lain. Tetapi sekurang-kurangnya
ada dua alasan yang dapat menjelaskan sedikit pertanyaan tadi.
Alasan pertama mempunyai hubungan erat
dengan sifat “sokratik” filsafat Plato. Plato memilih dialog sebagai bentuk
sastra, justru karena Sokrates memainkan peranan sentral dalam pemikirannya.
Sokrates tidak mengajar, tetapi mengadakan tanya jawab dengan dengan
kawan-kawan sekota di Athena. Plato meneruskan keaktifan Sokrates dengan
mengarang dialog-dialog. Alasan kedua bertalian dengan aggapan plato sendiri
tentang filsafat, ia berkyakinan bahwa filsafat menuturut intinya tidak lain
dari pada suatu dialog. Berfilsafat berarti mencari kebijaksaan atau kebenaran,
dan sebaiknya “mencari kebenaran” itu dilakukan bersama-sama dalam suatu
dialog, dimana antara satu dengan yang
lain bisa mengoreksi kesalahan masing-masing.
3.
Mite-Mite Dalam Dialog Plato
Salah satu cri
khas karangan-karangan Plato adalah adanya mite-mite. Plato berpendapat bahwa
mite tidak bertentangan mutlak dengan rasio. Acap sekali rasio menemui
perbatasan yang tidak dapat dilampaui. Di sini mite memasuki wilayah-wilayah
yang tidak di kenal. Khususnya untuk mengemukakan dugaan-dugaan mengenai
hal-hal adi-duniawi dan nasib jiwa.
III.
Ajaran tentang
Idea-Idea
Ajaran tentang
Idea-Idea merupakan inti dan dasar Filsafat Plato. Dalam bahasa modern kata
“Ide/Idea” berarti suatu gagasan yang hanya terdapat dalam pemikiran saja dalam
artian bersifat subyektif belaka. Lain halnya dengan Plato, menurutnya Idea
merupakan sesutau yang bersifat obyektif. Ada Idea-Idea, terlepas dari subyek
yang berpikir, tidak diciptakan oleh pemikiran dan tidak tergantung pada
pemikiran, sebaliknya pemikiran yang tergantung pada Idea-Idea dan justru
adanya Idea-Idea yang berdiri sendiri pemikiran dimungkinkan.
Dalam
kehidupanya sokrates mencari definisi-definisi. Ia tidak puas dengan
menyebutkan satu demi satu perbuatan-perbuatan yang adil atau tindakan-tindakan
yang berani. Ia ingin menyatakan apakah keadilan atau keberanian itu sendiri.
Dengan kata lain Sokrates berusaha menentukan hakikat atau esensi keadilan dan
keutamaan-keutamaan lain. Plato meneruskan usaha Plato dengan melangkah lebih
jauh lagi. Menurut dia esensi itu mempunyai realitas, terlepas dari segala
perbuatan konkret. Idea keberanian, Idea keadilan dan Idea lain memang ada.
Misalnya, ada
banyak hal yang boleh disebut “bagus” kain bagus, patung bagus, rumah bagus dan
selainnya. Sehelai kain tidak disebut bagus karena itu kain, sebab terdapat
pula kain jelek. Yang menyebabkan kain ini disebut bagus adalah Idea “yang
bagus”. Di satu pihak kain ini masih punya ciri selain bagus dan juga masih
banyak hal yang disebut bagus pula. Jadi, Idea “yang bagus” merupakan “yang
bagus” sendiri, secara sempurna, tidak tercampur sesuatu yang lain
Cara lain untuk
mengerti lebih baik asal usul ajaran Plato mengenai Idea adalah ilmu pasti.
Ilmu pasti tidak membicarakan gambar-gambar konkret: suatu garis tertentu,
suatu segitiga tertentu, suatu lingkaran tertentu. Ilmu pasti berbicara
mengenai garis, segitiga, lingkaran pada umumnya. Jadi segitiga yang tegambar
pada papan tulis misalnya, tidak mewujudkan segitiga yang sempurna. Karena
sisi-sisinya tidak dapat digambarkan lurus secara eksakta dan juga segitiga
yang tergambar itu mempunyai kepanjangan tertentu, sedangkan segitiga sempurna
tidak mempunyai kepanjangan tertentu. Jadi, mesti terdapat suatu Idea
“segitiga”. Segitiga yang digambarkan pada papan tulis hanya merupakan tiruan
tak sempurna saja dari Idea “segitiga.
Dari yang terurai dapat disimpulkan
bahwa menurut Plato realitas seluruhnuya
seakan-akan terdiri dari dua “dunia”. Satu “dunia” mencakup benda-benda jasmani
yang disajikan kepada panca indera. Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya
tetap berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus keosokan harinya berubah
menjadi jelek. Lagi pula dunia indrawi ditandai dengan pluralitas. Disamping
“dunia” indrawi itu terdapat suatu “dunia” lain, suatu dunuia ideal atau dunia
yang terdiri dari Idea-Idea. Dalam dunia Ideal sama sekali tidak ada perubahan
dan tidak ada banyak hal yang bagus, hanya ada satu Idea “yang bagus”. Dan
tiap-tiap Idea bersifat sempurna.
Dua “dunia” tersebut mempunyai hubungan
yang erat, plato mengungkapkan hubungan itu dengan tiga cara
a.
Idea itu hadir dalam benda
konkret, tanpa mengurai Idea itu sendiri
b.
Benda konkrit mengambil bagian
dalam Idea
c.
Ide meruapakan model bagi
benda-benda konkret
Anggapan Plato tentang dua “dunia”
menjurskan juga pendiriannya tentang pengenalan. Menurut Plato ada dua jenis
pengenalan, pertama, pengenalan tentang Idea-Idea yaitu pengenalan dalam
arti sebenarnya yang dinamakan episteme. Rasio adalah alat untuk
mencapai pengenalan ini dan ilmu pengetahuan adalah lapangan istimewa dimana
pengenalan ini dipraktekkan. Kedua, pengenalan tentang benda-benda
jasmani, tentunya dengan menggunakan panca indera.
Dalam politeia Plato mengatakan
bahwa antara Idea-Idea terdapat suatu orde atau hierarki. Seluruh Hierarki itu
memuncak dengan Idea “yang baik”. Itulah Idea tertinggi yang menyoroti idea
yang lain, seperti matahari menyoroti benda-benda jasmani.
IV.
Ajaran tentang
Jiwa
Plato berkeyakinan bahwa jiwa manusia
itu bersifat baka. Keyakinan ini bersangkut paut dengan ajaranya tentang
Idea-Idea. Salah satu argumen yang penting ialah kesamaan yang terdapat antara
jiwa dan Idea-Idea. Dengan itu ia menuruti prinsip “yang sama mengenal yang
sama”. Sudah nyata bahwa jiwalah yang mengenal Idea-Idea bukan badan.
Menurut Plato jiwa sudah ada sebelum
hidup di bumi. Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami suatu
pra-eksistensi, di mana ia memandang Idea-Idea. Berdasarkan pendiriannya ini,
Plato merancangkan suatu teori tentang pengenalan. Buat dia pengenalan tidak
lain dari pada pengingatan (anamnesis) akan Idea-Idea yang dilihat pada
waktu pra-eksistensi itu.
Dalam polieteia Plato menyebutkan
bahwa jiwa terdiri dari tiga bagian. Kata “bagian” ini harus dipahami sebagai
“fungsi”, sebab Plato sama sekali tidak memaksudkan bahwa jiwa mempunyai
keluasan yang dapat dibagi-bagi. Bagian pertama ialah “bagian rasional” (to
logistikon). Bagian kedua ialah “bagian keberanian” (to thymoides). Dan yang
ketiga adalah “bagian keberanian” (to epithymetikon). Disamping itu ada lagi keadilan (dikaiosyne) yang tugasnya
menjamin keseimbangan antara bagian jiwa.
Ajaran Plato tentang manusia dalam
sejarah filsafat biasanya dinamakan “dualisme”. Dia memandang manuia sebagai
suatu makhluk yang terdiri dari dua unsur yang kesatuanya tidak dinyatakan.
Tubuh dan jiwa tidak merupakan kesatuan.
V.
Ajaran tentang
Negara
Ada perbedaan dalam karangan-karangan
Plato tentang ajaran mengenai negara,
agaknya terjadi perubahan pemikiran dalam dirinya. Dalam uraian ini akan
dibahas tiga karangan Plato mengenai negara
a.
Politeia
Menurut Plato
negara yang ideal terdiri dari tiga golongan (selain budak-budak). Golongan
pertama adalah penjaga-penjaga yang sebenarnya atau filsuf-filsuf. Kepemimpinan
negara dipercayakan kepada mereka. Golongan kedua adalah pembantu-pembantu atau
prajurit-prajurit. Mereka ditugaskan menjamin keamanan negara dan mengawasi supaya
warga negara tunduk kepada filsuf-filsuf. Golongan ketiga adalah terdiri dari
petani-petani dan tukang-tukang yang menanggung kehidupan ekonomis bagi seluruh
polis.
Karena para pembantu dan penjaga memainkan
peranaan penting dalam negara yang ideal, tentunya ada bahaya bahwa mereka akan
menyalah gunakan setatus mereka. Dari sebab itu plato berpendapat bahwa mereka
tidak boleh mempunyai “hak milik pribadi” dan “keluarga’’. Mereka akan hidup
bersama dalam sebuah tangsi dan anggaran belanja tahunan tidak boleh melebihi
kebutuhan. Dan pada suatu kesempatan mereka akan melaksanakan “perkawinan
sementara” dan pasangan yang dipilih harus yang punya harapan memberikan
keturunan yang lebih baik. Dan ketika anak-anak mereka sudah lahir akan diasuh di asrama, sehingga
orang tua tidak tau siapa anaknya. Dengan ini mereka akan memperhatikan seluruh
polis, bukan anak-anak mereka saja.
b.
Politikos
Tentang bentuk negara yang paling baik, Politikos
mengatakan bahwa sebaiknya undang-undang dibuat sejauh sejauh perlu menurut
keadaan yang konkret, kira-kira seorang dokter selalu mengganti obat menurut
keadaan pasiennya. Keadaan manusia dan perbuatan-perbuatannya senantiasa
berubah, sehingga sukar diselenggarakan dengan peraturan-peraturan yang sama.
Akan tetapi membuat undang-undang yang cocok dengan tiap-tiap situasi menuntut
pengetahuan dan kecakapan adi-manusiawi. Dengan ini Plato meninggalkan
cita-citannya dalam politeia mengenai filsuf yang jadi pemimpin negara, karena
di anggap kurang praktis. Secara konkret adanya undang-undang umum harus di
anggap sebagai “the scond best”. Karena alasan-alasan
praktis, undang-undang harus dipandang sebagai intansi tertinggi dalam negara.
Plato berpendapat bahwa dalam negara di mana
terdapat undan-undang dasar, bentuk negara yang paling baik adalah monarki,
bentuk negara yang kurang baik adalah aristokrasi dan yang paling buruk adalah
demokrasi. Tetapi kalau tidak ada undang-undang harus di katakan sebaliknya.
c.
Nomoi
Kalau
di banding dengan politeia, maka nomoi tidak melukiskan negara yang
ideal, melainkan memberikan undang-undang dasar yang dapat diterima oleh polis
yunani sekitar pertengahan abad ke-4. Plato tidak lagi melarang milik pribadi
dan tiap-tiap warga negara diizinkan memiliki keluarga. Ia menekankan bahwa
susunan negara harus memperhatikan keadaan setempat, ekonomis dan geografis.
Bentuk
negara yang diusulkan nomoi merupakan semacam campuran demokrasi dan monarki,
karena terlalu banyak kelaliman (monarki) dan banyak kebebasan (demokrasi)
merupakan dua ekstrem yang sama buruknya. Nomoi mengusulkan suatu sistem
pemerintahan di mana semua petugas dipilih oleh rakyat, tetapi ditambah
syarat-syarat supaya hanya mereka yang cakap yang akan dipilih.
*) Dirangkum dari
buku Sejarah Filsafat Yunani yang di tulis oleh Dr. K. Bertens
Comentar
Sebelum kami memberikan komentar atas Plato,
kami ingin menyampaikan bahwa sebenarnya kami merasa masih terlalu dini untuk
berkomentar apalagi mengkritik, karna
yang kami ketahui tentang Plato mungkin saja berbeda dengan apa yang
dimaksudkan oleh Plato.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Plato
beranggapan adanya Idea yang berdiri sendiri. Dan segala benda konkrit yang
dilihat oleh panca indra tidak lain hanya tiruan tak sempurna dari Idea-Idea
tersebut. Anggapan ini berdampak pada kerancauan dan kebingungan rasio manusia,
karna disamping adanya Idea tidak bisa dibuktikan dengan panca indra, rasio
manusia juga tidak sepakat untuk menerima pemikiran Plato tersebut. Ini
terbukti dengan penolakan Ariestoteles, dia mengatakan bahwa Plato berlebihan
dalam anggapanya tentang Idea-Idea dan menyerupai seseorang yang tidak mampu
berhitung dengan bilangan kecil dan karenanya menganggap lebih gampang
berhitung dengan bilangan yang besar.
Kemudian dalam persoalan kebakaan jiwa,
Plato mengikuti teori “yang sama mengenal yang sama”. Seperti yang dikemukakan
di atas bahwa Idea itu abadi dan yang bisa mengenal Idea adalah jiwa, maka jiwa
juga abadi menurut Plato. Dalam hal ini kami sepakat bahwa jiwa itu abadi,
karna kalau diandaikan jiwa tidak abadi berarti kita akan berakhir ketika
kematiaan tiba, padahal banyak hal yang telah kita lakukan entah itu termasuk
kebaikan atau keburukan yang harus dipertanggung jawabkan. Tapi bukan berarti
kami mengikuti teori “yang ada mengenal yang ada”, menurut kami jiwa abadi
disebabkan adanya tuntutan pertanggung jawaban atas perbuatan yang telah
dilakukan ketika jiwa bersatu dengan jasad.
Seperti yang telah tertera di atas, Plato
juga mencurahkan perhatiannya kepada bentuk negara yang ideal. Ada perubahan
dalam pemikiran Plato tentang negara. Ini dapat dilihat dari tiga karangan
Plato yang telah disebut di atas dan menurut pengamatan kami karangan yang
paling matang adalah Nomoi (karya terakhir Plato). karangan yang pertama
(Politeia) walaupun tujuannya baik tapi tetap tidak bisa di benarkan
atas larangannya memiliki milik pribadi dan keluarga bagi para pemimpin negara,
karna walau bagaimanuapun keumuman manusia tidak bisa menghindari dua hal
tersebut atau bahkan dua hal tadi telah menjadi kodrat manusia. Dan dalam
karangan kedua (Politikos) Plato tidak melarang memiliki milik pribadi
dan berkeluarga dan dia juga tidak lagi mengharuskan para filsuf yang menjadi
pemimpin negara seperti dalam Politeia. Ketidak samaan Plato dalam
kerangannya menurut pandangan kami bukan karna ketidak konsistenannya, akan tetapi
lebih dipengaruhi oleh keyakinannya tentang filsafat dan kesemangatannya dalam
mencari kebenaran.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon