I.
PENDAHULUAN
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum
musyrikin meminta penjelasan tentang sifat-sifat Allah kepada Rasulullah saw.
dengan berkata: "Jelaskan kepada kami sifat-sifat Tuhanmu." Ayat ini
(S. 112:1-4) turun berkenaan dengan peristiwa itu sebagai tuntunan untuk
menjawab permintaan kaum musyrikin. (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, al-Hakim
dan Ibnu Khuzaimah dari Abi Aliyah yang bersumber dari Ubay bin Ka'ab.
Diriwayatkan pula oleh at-Thabarani dan Ibnu jarir yang bersumber dari Jabir
bin Abdillah dan dijadikan dalil bahwa surat ini Makkiyah. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum Yahudi menghadap kepada Nabi
saw. dan diantaranya Ka'bubnul 'asyraf dan Hay bin Akhtab. Mereka berkata:
"Hai Muhammad, lukiskan sifat-sifat Tuhan yang mengutusmu." Ayat ini
(S.112:1-4) turun berkenaan dengan peristiwa itu. (Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir
yang bersumber dari Qatadah dan Ibnu Mundzir yang bersumber dari Sa'id bin
Jubair. Dengan riwayat ini Sa'id bin Jubair menegaskan bahwa surat ini
Madaniyyah. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum
Ahzab (Persekutuan antara kamu Quraisy, Yahudi Madinah, kaum Goththafan dari
Thaif dan munafiqin Madinah dan beberapa suku sekeliling Makkah) berkata:
"Lukiskan sifat Tuhanmu kepada kami." Maka datanglah Jibril
menyampaikan surat ini (S.112:1-4) yang melukiskan sifat-sifat Allah. (Diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir dari Abil 'Aliyah yang bersumber dari Qatadah).
Menurut as-Suyuthi kata
"al-Musyrikin" dalam hadits yang bersumber dari Ubay bin Ka'ab ialah
musyrikin dari kaum Ahzab, sehingga surat ini dapat dipastikan Madaniyyah
sesuai dengan hadits Ibnu Abbas. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara
dua hadits tersebut di atas dan diperkuat pula oleh riwayat Abus Syaikh di
dalam kitabul Adhamah dari Aban yang bersumber dari Anas yang meriwayatkan
bahwa Yahudi Khaibar menghadap kepada Nabi saw. dan berkata: "Hai Abal
Qasim! Allah menjadikan malaikat dari cahaya hijab, Adam dari tanah hitam,
Iblis dari api yang menjulang, langit dari asap, dan bumi dari buih air.
Cobalah terangkan kepada kami tentang Tuhanmu." Rasulullah saw tidak
menjawab, sehingga turunlah Jibril membawa wahyu surat ini (S.112:1-4) yang
melukiskan sifat Allah.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Tafsir Surat Al-ikhlas Ayat
1-4
B. Tafsir Surat Al-Nisa Ayat 48
dan 136
C. Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat
22-24
D. Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat
110-111
E. Tafsir Surat Al-Haddid Ayat 4
F. Tafsir Surat Qaf Ayat 16
G. Tafsir Surat Al-An’am Ayat 103
H. Tafsir Surat Al-Anbiya’Ayat 22
I.
Tafsir Surat Fatir Ayat 44
J.
Tafsir Surat Al-Syura Ayat 11
III. PEMBAHASAN
A. Tafsir Surat Al-ikhlas Ayat
1-4
بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ
الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
(4).
Katakanlah (Muhammad): “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa
(1) Allah tempat meminta segala sesuatu (2) (Allah) tidak beranak dan tidak
pula diperanakkan (3) Dan tidak ada sescuatu yang setara dengannya (4)”.
(Al-Ikhlas :1-4)[1]
Allah ( الله ) nama bagi suatu wujud mutlak, yang berhak disembah,
pencipta, pemelihara dan pengatur seluruh jagat raya. Dia-lah Tuhan Yang Maha
Esa, yang wajib disembah dan seluruh perintah-Nya harus ditaati.
Pakar–pakar bahasa berbeda pendapat tentang kata ini.
Ada yang menyatakan bahwa ia adalah nama yang tidak terambil dari satu akar
kata tertentu, dan ada juga yang menyatakan bahwa ia terambil dari kata aliha (اله) yang berarti “mengherankan”, “menakjubkan”,
karena sertiap pembuatan-Nya akan mengherankan pembahasannya. Ada juga yang
berpendapat bahwa kata ilah (اله) terambil dari akar kata yang berarti “ditaati” karena ilah atau
tuhan selalu ditaati. Betapapun, kata allah menunjuk kepada Tuhan Yang
Wajib Wujud-Nya; berbeda dengan kata ilah yang menunjuk kepada siapa
saja yang dipertuhan, baik itu allah, maupun selain-Nya, seperti matahari yang
disembah oleh umat tertent, atau hawanafsu yang diikuti dan diperturutkan
kehendaknya.
Ahad (احد) yang diterjemahkan dengan “Esa” terambil
dari akar kata wahdah (وحدة) yang berarti “kesatuan”, seperti juga kata wahid
( ( واحدyang berarti “satu”. Kata ahad (احد) itu dapat menunjukkan bentuk sifat dan juga sebagai nama.
Namun, dalam ayat ini ditafsirkan kata ahad (احد) berfungsi sebagai sifat allah Swt, dalam arti Allah
memiliki sifat-sifat tersendiri yang tidak dimiliki oleh selain-Nya.
Ash-Shamad terambil dari kata kerja (صمد) shamada yang berarti “menuju”. Ash-Shamad
adalah kata jadian yang berarti “yang dituju. Mayoritas ulama’
bahasa dan tafsir memahami arti asshmad bahwa Allah adalah dzad yang kepadanya
bertumpu semua harapan makhluk, Dia yang diharapkan untuk memenuhi kebutuhan
makhluk serta menanggulangi kesulitan mereka[2]
B. Tafsir Surat Al-Nisa Ayat 48
dan 136
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (48)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (An-Nisa :48)[3]
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ
Ada dua macam syirik kepada Allah: (Pertama) syirik
dalam masalah uluhiyyah yaitu perasaan akan adanya kekuasaan lain selain
kekuasaan Allah dibelakang sebab-sebab dan sunah-sunah alam. (Kedua)
syirik dalam masalah rububiyah, aitu mengambil sebagian hukum-hukum agama
berupa penghalalan dan pengharaman dari sebagian manusia dengan meninggalkan
wahyu. Inilah yang diisyaratkan oleh Al qur’an di dalam firmannya: mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan
Al-Masih putera Maryam.( At taubah 31)[4].
Hikmah dari tidak diampunkannya syirik, bahwa agama
disyariatkan tidak lain untuk mensucikan diri dan membersihkan ruh serta
menigkatkan akal. Syirik menghilangkan semua ini, karena ia merupakan akhir
kemana akal jatuh. Dari situlah lahirlah seluruh kotoran yan merusak individu
dan kelompok. Dan dengan syirik itu orang-orang selain mereka atau seperti
mereka akan mensucikan dan tunduk kepada mereka, dengan anggapan bahwa
kekuasaan tertinggi ada ditangan mereka, dan membuat mereka senang dan menaati
mereka berarti membuat Allah senang dan taat kepadanya[5].
وَيَغْفِرُ
مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Allah akan mengampuni dosa selain syirik kepada siapapun
yang dikehendakinya diantara hamba-hambanya yang berdosa. Kehendak Allah sesuai
dengan kebijaksanaan dan berdasarkan hukum sunahnya pada makhluk. Sunahnya
telah berlaku, bahwa dia dia tidak akan mengampuni dosa-dosa yang tidak
ditaubati oleh pelakunya dan tidak diikuti oleh kebaikan yang dapat
menghilangkan bekasnya dari diri pelakunya.[6]
وَمَنْ يُشْرِكْ
بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Barangsiapa yang menjadikan sekutu-sekutu Allah yang
mendirikan langit dan bumi, baik dengan jalan mengadakan, maupun dengan
mengharamkan dan menghalalkan, sesungguhnya ia telah berbuat dosa yang bahayanya
sangat besar, sehingga karena kebesarannya itu seluruh seluruh dosa dan
kesalahan dipandang kecil. Ia patut untuk tidak diampuni, sedangkan lainnya
dapat hilang dengan pengampunan.[7]
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي
نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ
يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (136)
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada
Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari
kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”. (An-Nisa
136)[8]
Allah Swt memerintahkan
hamba-hamba-Nya yang mukmin agar tetap beriman sesempurna-sempurnanya, meliputi
iman kepada Allah swt, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Ny,
kepada Rasul-rasul-Nya dan kepada hari kiamat. Sebab orang yang kafir
mengingkari wujudnya Allah swt, mengingkari adanya malaikat-malaikat, adanya
kitab suci “Al-Qur’an” yang diturunkan Allah Swt atas Muhammad Rasul-Nya secara
bertahap menurut peristiwa-peristiwa yang dialami olehperkembangan lahirnya islam
dan adanya beberapa kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt kepada
Rasul-rasul-Nya sebalum Muhammad saw, serta mengingkari akan adanya hari
kiamat, maka orang yang demikian itu telah sejauh-jauh kesesatan[9].
C. Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat
22-24
هُوَ اللَّهُ
الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ
الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ (22) هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ
الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ (23) هُوَ
اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
(24)
“Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang(22) Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang
Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha
Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka
persekutukan(23) Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang
Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya
apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana(24)”. (Al-Hasyr :22-24)[10]
kelompok ayat ini merupakan penutup
uraian surah. Sebelum ini telah berulang-ulang disebut Allah atau pengganti
nama-Nya serta sifat-sifat-Nya (26 kali menyebut kata Allah dan 16 kali
pengganti atau penyebutan sifat-sifat-Nya). Kesemuanya menunjuk keagungan Allah
swt. Di sisi lain, ayat yang lalu menguraikan tentang keagungan al-Qur’an.
Maka, sangat wajar jika kelompok ayat ini berbicara tentang sifat-sifat Allah
yang menurunkan kitab suci itu, sekaligus menunjuk kepada Allah yang disebut
berulang-ulang pada ayat-ayat yang lalu.Ayat ini menunjuk-Nya dengan kata
“Dia”, yakni Dia menurunkan al-Qur’an dan yang disebut-sebut pada ayat-ayat
yang lalu. Dia, Allah yang tiada tuhan yang berhak disembah serta tiada
pencipta dan pengendali alam raya selain Dia, Dia Maha Mengetahui
yang ghaib, baik yang nisbiyy/relative maupun yang mutlak dan yang
nyata, Dia-lah saja ar-Rahman, Pencurah rahmat yang bersifat
sementara untuk seluruh makhluk dalam pentas kehidupan dunia ini, lagi
ar-Rahim, Pencurah rahmat yang abadi
bagi orang-orang beriman di akhirat nanti.[11]
Setelah menyebut sifat nama paling
populer dan unik dari Zat yang wajib wujud-Nya itu_yakni Allah_serta
mengetengahkan sifat-Nya yang menyentuh semua makhluk, yakni ar-Rahman dan
ar-Rahim, kini ayat yang 23 ini menyebut beberapa sifat-Nya dan mengingatkan
yang dapat menggugah yang at’at mengingat-Nya untuk lebih mendekat kepada-Nya
dan mengingatkan yang durhaka dan lupa kepada-Nya untuk berhati-hati. Ayat di
atas kembali mengulangi penggalan awal ayat yang lalu dengan menyatakan bahwa:
Dia Allah yang tiada tuhan selain Dia, Dia adalah al-Malik, Maha
pemilik segala sesuatu dengan sebenarnya lagi Maha Raja, al-Quddus,
Mahasuci dari segala kekurangan dan segala yang tidak pantas, as-Salam,
Mahadamai dan sejahtera, al-Mu’min, Maha Mengaruniakan keamanan, al-Muhaimin
Maha Memelihara dan Maha Mengawasi, al-Azis Mahaagung, al-Jabbar,
Mahaperkasa, al-Mutakabbir Mahatinggi, Mahasuci Allah dari apa
yang mereka persekutukan.[12]
Ayat 24 ini masih melanjutkan uraian
tentang nama-nama mulia Allah, dengan mengatakan: Dia-lah yang
saja Allah, zat yang wajib wujud-Nya dan yang harus disembah. Dia adalah
al-Khaliq Sang Pencipta_al-Bari’, al-Mushawwir,
Milik-Nya saja al-Asma’ al-Husna,
yakni nama-nama terbaik. Bertasybih kepada-Nya apa yang di langit dan
di bumidan Dia adalah al-Azis, yang Mahaperkasa, lagi al-Hakim,
Mahabijaksana.
Penggalan awal ayat ini berbeda
dengan kedua ayat sebelumnya (ayat 22-23) yang dimulai dengan Alladzi La
Ilaha Illa Huwa. Di sini langsung dimulai dengan menunjuk-Nya sambil
menyebut sifat-sifat-Nya. Dimulainya kedua ayat yang lalu seperti itu karena
kesebelas sifat yang disebut di sana
adalah sifat-sifat ynag mesti ada bagi Zat yang berhak memiliki alam raya dan
kuasa mengendalikannya. Keyakinan tentang ketuhanan dan kewajiban menyembah Allah semata
bersumber dari disandangnya oleh Allah sifat-sifat tersebut. Dengan demikian,
sifat-sifat itu berfungsi sebagai penjelasan mengapa ketuhanan hanya milik
Allah semata-mata dan mengapa hanya Dia sendiri yang harus disembah, yakni
karena hanya Dia Yang Maha Mengetahui yang ghaib, Dia Rahman lagi Rahim dan
seterusnya, karena itu pula ayat 23 ditutup dengan Mahasuci Allah dari apa
yang mereka persekutukan. Adapun sifat-sifat al-Khaliq, al-Bari,
dan al-Mushawwir, yang menggambarkan makna penciptaan dan pewujudan
sesuatu, ini tidak menunjukkan disandangnya sifat Ketuhanan Yang Maha Esa,
terbukti bahwa kaum musyrikin pun percaya bahwa Allah menyandang sifat-sifat
tersebut, namun mereka mempercayai adanya tuhan-tuhan yang mereka persekutukan
dengan Allah.[13]
D. Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat
110-111
قُلِ
ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا (110) وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ
يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ
وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا (111)
Katakanlah (Muhammad): "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman.
Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna (nama-nama
yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu(110)
Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan
tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang
memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang
sebesar-besarnya(111). (Al-Isra’ :110-111)[14]
Al-Biqa’i
menghubungkan ayat ini dengan yang sebelumnya dengan memunculkan satu
pertanyaan yang lahir dari ayat-ayat lalu. Yaitu setelah terbukti kebesaran
Allah dan kebenaran serta keagungan al-Qur’an, dan setelah diuraikan bahwa
orang-orang yang diberi ilmu sujud kepada Allah dengan penuh khusyuk, sedang
saat sujud adalah saat paling tepat untuk berdo’a, di sini seakan-akan mereka
yang tadinya enggan percaya berkata: “Kini kami percaya. Maka, bagaimana dan
dengan nama apa kami bermohon?” Nah, ayat ini menjawab pertanyaan itu.
Thabathaba’i demikian juga dengan
Sayyid Quthub tidak menyebut hubungan ayat ini dengan sebelumnya; sedang Ibn
Asyur menghubungkan dengan sebab nuzul (turun). Ia menegaskan bahwa ayat
ini pasti ada sebab nuzul-nya, karena tidak alasan untuk memberikan
pilihan berdo’a dengan nama Allah dan nama-Nya yaitu ar-Rahman saja secara
khusus, tanpa nama-nama-Nya yang lain. Sebab nuzul itu terjadi ketika ayat-ayat
sebelum ayat ini dan, dengan demikian, ayat ini ditempatkan sesudah ayat-ayat
yang lalu.
Adapun sebab nuzul-nya,
menurut ath-Thabari dan al-Wahidi, adalah ketika nabi Muhammad saw. Sujud
sambil menyebut Ya Rahman, Ya Rahim, orang-orang musyrik berkata: “Dia
percaya bahwa dia hanya menyembah satu Tuhan, sedang sekarang dia menyebut dua.
“Riwayat lain mengatakan bahwa Abu Jahl berkata: “Muhammad juga menyebut juga
nama ar-Rahman sedang dia melarang kita menyembah dua tuhan, padahal dia
sendiri sekarang menyebut dua tuhan.”
Apapun hubungannya, yang jelas ayat
ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw. Bahwa katakanlah: “serulah
Tuhan Ynag Maha Esa dengan nama Allah atau serulah Dia
dengan nama ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru di
antara semua nama-nama-Nya, maka itu adalah baik, Dia mempunyai al-Asma
al-Husna, yakni nama-nama yang terbaik. Kalian tidak perlu ragu menyebut
salah satu nama itu atau kesemuanya sekaligus krena berbilangnya nama tidak
berarti berbilangnya Zat dan selanjutnya janganlah engkau mengeraskan
suaramu dalam sholatmu atau do’amu agar tidak mengganggu orang lain atau
agar tidak didengar oleh kaum musyrikin sehingga mereka mengganggu atau
menghina agamamu dan janganlah pula terlalu merendahkannya sehingga
tidak terdengar sama sekali dan carilah jalan tengah di antara kedua itu, yakni
suarayang tidak nyaring dan tidak pula rahasia “ dan katakan pula-lah:
“Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak karena memang Dia
tidak membutuhkannya dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya
karena hanya Dia sendiri yang mencipta dan mengaturnya, sedang sekutu adalah
pertanda kelemahan, padahal Allah Mahakuasa dan Dia bukan pula hina ynag
memerlukan penolong untuk mencegah kehinaan-Nya, tetapi hanya Dia saja Yang
Maha Agung dan karena itu agungkanlah Dia dengan pengagungan yang
sebesar-besarnya.”[15]
E. Tafsir Surat Al-Haddid Ayat 4
هُوَ
الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى
عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا
يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا
كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (4)
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy Dia mengetahui apa yang masuk
ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit
dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Al-Hadid :4)[16]
Ayat yang lalu menyebut wujud-Nya
yang tidak berawal dan tidak berakhir, kehadiran-Nya yang nyata dan tersembunyi,
serta kuasa serta ilmu-Nya yang menyeluruh, kini ayat di atas menguraikan
pencipta-Nya terhadap alam raya serta sekelumit dari perincian pengetahuan-Nya
yang menyeluruh itu. Ayat di atas menegaskan bahwa: Hanya Dia-lah yang
menciptakan langit yang berlapis-lapis tujuh itu dan bumi yang
menghampar ini_yakni alam raya seluruhnya_dalam enam hari, yakni masa
atau periode; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy, yakni Dia berkuasa
dan mengatur segala yang diciptakan-Nya sehingga berfungsi sebagaimana yang Dia
kehendaki. Jangan duga bahwa, setelah selesai diciptakan, Dia abaikan atau Dia
tidak mengetahui lagi keadaan ciptaan-Nya. Tidak! Dia dari saat ke saat
bersinambung mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, seperti
air, berbagai kekayaan alam, fosil-fosil makhluk yang telah mati, benih, dan
lain-lain, dan mengetahui pula apa yang keluar darinya, seperti
tumbuhan, binatang, barang tambang dan sebagainya, dan mengetahui juga apa
yang turun dari langit, seperti malaikat, hujan, dan apa yang naik
kepadanya, seperti uap, do’a, amal-amal manusia, dan bukan hanya itu,
tetapi Dia juga selalu bersama kamu dengan pengetahuan dan
kuasa-Nya di mana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa
yang kamu kerjakan secara lahir maupun batin, nyata maupun tersembunyi.[17]
F. Tafsir Surat Qaf Ayat 16
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ
أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
dari pada urat lehernya”. (Qaf :16)[18]
Kata (
خلقنا ) khalaqna yang berbentuk kata kerja masa lampau bukan saja bermakna
telah menciptakan pada masa lampau, tetapi mewujudkannya di pentas bumi
dan menyediakan baginya segala sesuatu untuk kelangsungan hidupnya hingga masa tertentu. Dengan demikian, walaupun ia berbentuk kata
kerja masa lalu, ia mengandung makna kemantapan dan kesinambunagn sepanjang
hidup manusia. Demikian Thabathaba’i.
Kata (توسوس) tuwaswisu biasanya digunakan untuk
bisikan-bisikan negative. Ini dapat dilakukan oleh nafsu
manusia dan juga syetan. Yang paling rahasia yang ada pada diri manusia adalah
bisikan-bisikan itu. Allah senantiasa mengetahui bisikan-bisikan hati yang
senantiasa terlintas da;lam diri manusia sebagaimana dipahami dari penggunaan
bentuk kata kerja masa kini dan datang.
Kata (الوريد) al-warid
ada yang memahaminya dalam arti urat leher, ada juga yang mengartikannya
urat-urat yang tersebar ditubuh manusia di mana darah mengalir. Ibn Asyur
mengartikannya sebagai pembuluh darah dijantung manusia. Betapa pun, kata
tersebut bermaksud menggambarkan sesuatu yang menyatu dalam diri manusia
sehingga sangat dekat pada diri masing-masing orang. Bahkan, menurut Ibn Asyur,
pembuluh darah itu kendati sangat dekat, karena ketersembunyiannya, maka
manusia tidak merasakan kehadirannya dalam dirinya. Demikian
juga dengan kedekatan dan kehadiran Allah melalui pengetahuan-Nya. Manusia
tidak merasakannya.
Ada juga yang memahami makna kedekatan itu
dalam arti kuasa Allah. Yakni kalau urat nadi atau pembuluh darah manusia yang
menyalurkan darah dari jantungnya merupakan suatu yang sangat besar perannannya
dalam hidup manusia maka kuasa Allah jauh lebih besar dari itu[19].
G. Tafsir Surat Al-An’am Ayat 103
لَا
تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ
الْخَبِيرُ (103)
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,
sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi
Maha Mengetahui”. (Al-Ain’am :103).[20]
Kata (تدرك)
tudriku atau yudriku terambil dari kata (درك)
yang hakikatnya adalah “mencapai apa yang diharapkan”. Ia dipahami dalam
kaitrannya dengan makhluk sebagai terjangkaunya dengan terjangkaunya dengan
indera sesuatu yang inderawi dan dengan akal sesuatu yang ma’kul. Jika
demikian, menurut ayat ini manusia tidak dapat menjangkau hakikat dzat Allah
dan sifat-Nya denagn pandangan mata atau panca indera tidak juga dengan akal.[21]
Kata (الابصار)
Al-Abshar adalah kata jama’ dari kata (بصر)
bashara yaitu potensi yang terdapat dalam mata yakni kornea mata berupa
selaput bening yang memasukkan cahaya ke dalam mata sehingga bola mata dapat
melihat. Pada hakikatnya yang melihat bukannya bola mata, tetapi sesuatu yang
terdapat di bola mata itu. Nah ayat ini menyatakan bahwa Allah tidak dapat
dijangkau oleh potensi penglihatan makhluk, sedang dia dapat menjangkau yakni
melihat dan menguasai segala apa yang dapat terlihat. Jika demikian, ketidakmampuan
makhluk melihat Allah dengan mata kepala disebabkan oleh kelemahan potensi
penglihatan itu sendiri. Kelelawar yang potensi matanya lebih lemah dari
manusia, tidak dapat melihat sesuatu di siang hari. Sebaliknya ada binatang
(seperti burung rajawali) yang potensi matanya lebih kuat dari manusia justru
dapat melihat dari jarak jauh di mana potensi mata manusia tidak dapat
menjangkaunya. Di sisi lain perlu diingat bahwa sesuatu tidak dapat dilihat
bukan karena dia tidak ada, tetapi boleh jadi karena dia terlalu kecil dan
halus sehingga tersembunyi, atau karena dia terlalu besar, terang dan jelas.[22]
Ayat di atas menyatakan bahwa Allah
menjangkau semua penglihatan, bukannya menyatakan semua yang
berpotensi untuk dilihat. Ini untuk membedakan jangkauan penglihatan-Nya
dengan penglihatan makhluk. Apa yang dijangkau oleh makhluk melalui kornea
matanya terbatas pada hal-hal yang bersifat lahiriah, katakanlah warna, bentuk,
kecil besar dan lain-lain, tetapi apa yang Allah jangkau melebihi semua itu.
Dia menjangkau segala sesuatu, lahir dan batin, tidak ada sesuatupun yang
tersembunyi bagi-Nya[23].
Kata (اللطيف)
Al-Lathif terambil dari akar kata ((لطف Lathafa. Menurut pakar bahasa kata yang
hurufnya terdiri dari lam, Tha’ dan Fa’ mengandung makna “lembut, halus atau
kecil”. Dari makna ini kemudian lahir makna “ketersembunyian” dan “ketelitian
”. berkaitan dengan penjelasan tentang penyucian Allah Swt, maka makhluk tidak
mempunyai kemampuan indera dan akal manusia untuk menjangkau Dzat dan sifat-Nya
atas dasar kata Al-lathif difahami dalam arti Maha Tersembunyi.
Sebagaimana kisahnya nabi Isa as dalam permohonan untuk melihat-Nya.
Kata (الخبير)
khabir terambil dari kata akar (خبر)
khabara. Kata-kata yang dirangakai oleh huruf-huruf Ha’, Ba’,
Ra’ berkisar maknanya pada dua hal yaitu: “pengetahuan” dan “kelemah
lembutan”. Khabir dari segi bahasa dapat berarti “yang mengetahui” dan juga
“tumbuhan yang lunak”. Menurut Imam Ghozali, Allah Swt. Yang bersifat khabi adalah
yang tidak tersembunyi bagi-Nya hal-ahal yang sangat dalam dan yang
disembunyikan, serta tidak sesuatu pun dalam kerajaan-Nya di bumi maupun di
alam raya kecuali diketauhi-Nya, tidak bergerak satu zarrah atu diam, tidak
bergejolak jiwa, tidak juga tenang, kecuali ada beritanya disisi-Nya.
Kata (العليم)
Al-‘alim adalah yang mencakup pengetahuan segala sesuatu dari
sisi-Nya bukan dari sesuatu yang diketahui itu, sedang Al-Khabir adalah
Dia yang pengetahuan-Nya menjangkau sesuatu yang diketahui. Di sini, sisi
penekanannya bukan pada yang mengetahui tetapi pada sesuatu yang diketahui itu.[24]
H. Tafsir Surat Al-Anbiya’Ayat 22
لَوْ كَانَ
فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ
عَمَّا يَصِفُونَ (22)
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan
selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah
yang mempunyai `Arsy daripada apa yang mereka sifatkan”.
(Al-Anbiya’ :22)[25]
Ayat 22 diatas merupakan salah satu argumentasi
menyangkut keesaan Allah Swt. Penjelasannya lebih kurang sebagai berikut. Tuhan
diyakini oleh setiap yang mempercayai wujud-Nya, adalah Maha Kuasa, yang tidak
terbatas dan tidak dapat dibendung kehendak dan kekuasaan-Nya. Seandainya ada
dua tuhan –katakanlah Tuhan A dan Tuhan B- yang wujud dan mengatur alam raya
ini, maka hanya akan ada tiga kemungkinan yang dapat muncul dalam benak manusia
menyangkut penagaturan alam raya. Yang pertama, bahwa keduanya sepakat membagi
kekuasaan, misalnya yang ini kuasa pada waktu tertentu atau bagian tertentu dan
yang itu pada waktu dan bagian yang lain. Jika ini terjadi, maka itu
menunjukkan bahwa kekuasaannya terbatas yakni tuhan A dibatasi oleh tuhan B dan
demikian pula sebaiknya. Kalau demikian itui halnya, maka pada hakikatnya
keduanya tidak dapat diterima oleh benak manusia sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kemungkinan kedua, adalah kedua tuhan itu
berselisih dan tidak sepakat dalam pengaturan Alam raya. Masing-masing ingin
memaksakan kehendaknya. Jika kemungkinan ini yang terjadi, maka boleh jadi
masing-masing tuhan berhasil mewujudkan apa yang dikehendakinya. Kemungkinan
ini seperti bunyi ayat di atas, pastilah mengakibatkan kehancuran alam raya.
Karena tuhan A mengarahkan Alam ke sini dan tuhan B mengarahkannya ke sana.
Kemungkinan kedua ini ditolak oleh nalar, karena kenyataan membuktikan betapa
konsisten dan harmonis Alam raya ini. Jika demikian, tidak ada kemungkinan lain
kecuali wujud Tuhan Yang Maha Esa, karena kalaupun ada tuhan yang ingin
memaksakan kehendaknya, tetapi itu tidak akan berhasil karena dibsendung oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa, dan dengan demikian siapa yang terkalahkan itu, pada
hakikatnya bukanlah Tuhan[26].
I. Tafsir Surat Fatir Ayat 44
أَوَلَمْ
يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ وَكَانُوا أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعْجِزَهُ
مِنْ شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا
قَدِيرًا (44)
“Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi,
lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka, sedangkan
orang-orang itu adalah lebih besar kekuatannya dari mereka? Dan tiada sesuatu
pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”. (Fatir :44)[27]
Allah berfirman: berkata,
Wahai Muhammad, kepada orang-orang yang kafir Pesan Anda telah membawa:
perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana hukuman dari orang-orang
kafir yang Rasul, bagaimana Allah menghancurkan mereka sepenuhnya, dan serupa
(end menunggu) orang-orang kafir. Lihat bagaimana rumah mereka dikosongkan dari
mereka dan bagaimana mereka kehilangan segalanya setelah hidup mewah dan
menjadi begitu banyak dan begitu dilengkapi dengan baik, dan memiliki begitu
banyak kekayaan dan anak-anak begitu banyak. Semua itu adalah sia-sia bagi mereka
dan tidak bisa melindungi mereka sedikit pun dari hukuman Allah ketika perintah
dari Tuhan datang. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya saat Dia ingin hal itu terjadi
di langit atau di bumi.
إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا قَدِيرًا
(Sesungguhnya, Dia adalah Maha
Mengetahui, All-Able.) Berarti, Dia tahu semua yang ada dan mampu melakukan
segala hal.
J. Tafsir Surat Al-Syura Ayat 11
فَاطِرُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ
الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (11)
“(Dia) Pencipta Langi dan Bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan
(pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (AL-
Syura :11)[28]
Ayat di atas masih melanjutkan uraian ayat-ayat
yang lalu tentang siafat-sifat allah. Ayat di atas bagaikan menyatakan: Dia adalah
pencipta langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, dan Dia juga pencipta
makhluk-makhluk yang menghuninya termasuk berhala-berhala. Dia telah menjadikan
bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan baik sebagai lelaki (suami)
maupun perempuan (istri) dan menjadikan pula dari jenis binatang ternak
pasangan-pasangan buat masing-masing binatang, baik jantan maupun betina
sehingga kamu dan binatang-binatang itu dapat melanjutkan keturunan.
Kata (يذرعكم) yadzra'ukum terambil
dari kata (ذرّ) dzarra yang mengandung makna mencipta dan memperbanyak
sekaligus menjadikannya sesuatu yang menyenangkan. Dari sini ia di artikan
mengembangbiakkan. Kata (فيه) fihi di rangkaikan dengan kata (يذرعكم) yadzra'ukum
itu untuk mengisyaratkan bahwa proses tersebut sangat di sukai.
Firmannya (ليس
كمثله شيء) laisa ka mitslihi syai'un, menjadi bahasan yang cukup panjang
di kalangan ulama, ini karena (ك) kaf berfungsi
mempersamakan sesuatu dengan yang lain, demikian juga kata (مثل) mitsl yang
biasa di artikan “biasa atau seperti”. Dari sini, sementara ulama memahami
huruf (ك) kaf berfungsi hanya sebagai penguat, sehingga penggalan ayat
di atas bagaikan menyatakan “sungguh tidak ada sama sekali sesuatupun yang
serupa dengan-Nya”.[29]
IV.
KESIMPULAN
Ø
Allah ( الله ) nama bagi suatu wujud mutlak, yang berhak disembah,
pencipta, pemelihara dan pengatur seluruh jagat raya. Dia-lah Tuhan Yang Maha
Esa, yang wajib disembah dan seluruh perintah-Nya harus ditaati.
Ø
Allah Swt memerintahkan
hamba-hamba-Nya yang mukmin agar tetap beriman sesempurna-sempurnanya, meliputi
iman kepada Allah swt, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Ny,
kepada Rasul-rasul-Nya dan kepada hari kiamat.
Ø Ayat ini
menunjuk-Nya dengan kata “Dia”, yakni Dia menurunkan al-Qur’an dan yang
disebut-sebut pada ayat-ayat yang lalu. Dia, Allah yang tiada tuhan yang
berhak disembah serta tiada pencipta dan pengendali alam raya selain Dia,
Dia Maha Mengetahui yang ghaib, baik yang nisbiyy/relative maupun yang
mutlak dan yang nyata, Dia-lah saja ar-Rahman, Pencurah rahmat
yang bersifat sementara untuk seluruh makhluk dalam pentas kehidupan dunia ini,
lagi ar-Rahim, Pencurah rahmat
yang abadi bagi orang-orang beriman di akhirat nanti.
Ø Ayat ini
memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw. Bahwa katakanlah: “serulah
Tuhan Ynag Maha Esa dengan nama Allah atau serulah Dia
dengan nama ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru di
antara semua nama-nama-Nya, maka itu adalah baik, Dia mempunyai al-Asma
al-Husna, yakni nama-nama yang terbaik.
Ø Ayat di
atas menegaskan bahwa: Hanya Dia-lah yang menciptakan langit yang
berlapis-lapis tujuh itu dan bumi yang menghampar ini_yakni alam raya
seluruhnya_dalam enam hari, yakni masa atau periode; kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arsy, yakni Dia berkuasa dan mengatur segala yang
diciptakan-Nya sehingga berfungsi sebagaimana yang Dia kehendaki. Jangan duga
bahwa, setelah selesai diciptakan, Dia abaikan atau Dia tidak mengetahui lagi
keadaan ciptaan-Nya. Tidak! Dia dari saat ke saat bersinambung
mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, seperti air,
berbagai kekayaan alam, fosil-fosil makhluk yang telah mati, benih, dan
lain-lain, dan mengetahui pula apa yang keluar darinya, seperti
tumbuhan, binatang, barang tambang dan sebagainya, dan mengetahui juga apa
yang turun dari langit, seperti malaikat, hujan, dan apa yang naik
kepadanya, seperti uap, do’a, amal-amal manusia, dan bukan hanya itu,
tetapi Dia juga selalu bersama kamu dengan pengetahuan dan
kuasa-Nya di mana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa
yang kamu kerjakan secara lahir maupun batin, nyata maupun tersembunyi.
Ø Kedekatan
itu dalam arti kuasa Allah. Yakni kalau urat nadi atau pembuluh darah manusia
yang menyalurkan darah dari jantungnya merupakan suatu yang sangat besar
perannannya dalam hidup manusia maka kuasa Allah jauh lebih besar dari itu.
Ø Ayat di atas menyatakan bahwa Allah
menjangkau semua penglihatan, bukannya menyatakan semua yang
berpotensi untuk dilihat. Ini untuk membedakan jangkauan penglihatan-Nya
dengan penglihatan makhluk. Apa yang dijangkau oleh makhluk melalui kornea
matanya terbatas pada hal-hal yang bersifat lahiriah, katakanlah warna, bentuk,
kecil besar dan lain-lain, tetapi apa yang Allah jangkau melebihi semua itu.
Dia menjangkau segala sesuatu, lahir dan batin, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi
bagi-Nya.
Ø Ayat
diatas merupakan salah satu argumentasi menyangkut keesaan Allah Swt.
Penjelasannya lebih kurang sebagai berikut. Tuhan diyakini oleh setiap yang
mempercayai wujud-Nya, adalah Maha Kuasa, yang tidak terbatas dan tidak dapat
dibendung kehendak dan kekuasaan-Nya.
Ø (Sesungguhnya,
Dia adalah Maha Mengetahui) Berarti, Dia tahu semua yang ada dan mampu
melakukan segala hal.
Ø Ayat di
atas bagaikan menyatakan: Dia adalah pencipta langit dan bumi tanpa ada contoh
sebelumnya, dan Dia juga pencipta makhluk-makhluk yang menghuninya termasuk
berhala-berhala. Dia telah menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan baik sebagai lelaki (suami) maupun perempuan (istri) dan
menjadikan pula dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan buat masing-masing
binatang, baik jantan maupun betina sehingga kamu dan binatang-binatang itu
dapat melanjutkan keturunan.
DAFTAR PUSTAKA
v
Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim
Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Pustaka
Hidayah, Bandung, 1997.
v
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa,Tafsir
Al-Maraghi,(terjemah: Bahrun Abu Bakar), TOHA PUTRA, Semarang, 1985).
v
Depatemen Agama. Al-Qur’an
dan terjemahannya, Cv.Pustaka Pustsaka
Agung Harapan, Edisi Terbaru 2006.
v
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah (Pesan,Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an), vol 8, ( Jakarta: Lentera Hati, cet 1. 2002)
v
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah (Pesan,Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an), vol 12, ( Jakarta: Lentera Hati, cet 1. 2003)
v
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah (Pesan,Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an), vol 13, ( Jakarta: Lentera Hati, cet II. 2009)
v
Terj.
Bahreisy, Salim Dan Said Bahreisy, (Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier),jilid
II, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1990)
v
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah (Pesan,Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an), vol 7, ( Jakarta: Lentera Hati, cet II. 2009)
[1] Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya, Cv.Pustaka
Pustsaka Agung Harapan, Edisi Terbaru 2006.
[2] M.
Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (tafsir atas surat-surat pendek berdasarkan
urutan turunnya wahyu), Pustaka
Hidayah, Bandung, 1997. Hal 667-671.
[3] Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya, Cv.Pustaka
Pustsaka Agung Harapan, Edisi Terbaru 2006.
[4] Ahmad
Musthafa Al-Maraghi,Tafsir Al-Maraghi,(terjemah: Bahrun Abu Bakar), TOHA PUTRA,
Semarang, 1985. Hal, 94).
[5] Ibid,
hal 94.
[6] Ibid,
hal 95.
[7] Ibid,
hal 96.
[8] Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya, Cv.Pustaka
Pustsaka Agung Harapan, Edisi Terbaru 2006.
[9] Terj. Salim Bahreisy Dan Said
Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier,jilid II, Surabaya:
PT.Bina Ilmu, 1990. hal. 574-575.
[10] Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya, Cv.Pustaka
Pustsaka Agung Harapan, Edisi Terbaru 2006.
[11] M.
Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan,Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an), vol 13, ( Jakarta: Lentera Hati, cet II. 2009) Hal.558.
[12] Ibid.
Hal. 559-560
[13] Ibid.
Hal. 572-573
[14] Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya, Cv.Pustaka
Pustsaka Agung Harapan, Edisi Terbaru 2006.
[15] M.
Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan,Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an), vol 7, ( Jakarta: Lentera Hati, cet II. 2009) Hal.214-215.
[16] Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya, Cv.Pustaka
Pustsaka Agung Harapan, Edisi Terbaru 2006.
[17] M.
Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan,Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an), vol 13, ( Jakarta: Lentera Hati, cet II. 2009) Hal.405-406.
[18] Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya, Cv.Pustaka
Pustsaka Agung Harapan, Edisi Terbaru 2006.
[19] M.
Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan,Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an), vol 13, ( Jakarta: Lentera Hati, cet II. 2009) Hal.25-27.
[20] Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya, Cv.Pustaka
Pustsaka Agung Harapan, Edisi Terbaru 2006.
[21] M.
Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan,Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an), vol 5, ( Jakarta: Lentera Hati, cet 1. 2003) Hal.218.
[23] Ibid.
H.220
[25] Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya, Cv.Pustaka
Pustsaka Agung Harapan, Edisi Terbaru 2006.
[26]M.
Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan,Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an), vol 8, ( Jakarta: Lentera Hati, cet 1. 2002) Hal. 434-435.
[27] Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya, Cv.Pustaka
Pustsaka Agung Harapan, Edisi Terbaru 2006.
[28] Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya, Cv.Pustaka
Pustsaka Agung Harapan, Edisi Terbaru 2006.
[29] M.
Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan,Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an), vol 12, ( Jakarta: Lentera Hati, cet 1. 2003) Hal. 456-457.
1 comments:
Click here for commentsAlhamdulillah nemu ini, saat mencari Referensi tentang ayat² yang berhubungan dengan Ketuhanan.
Jeneponto, 6 Feb 2024
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon