I.
Pendahuluan
Al qur’an adalah firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan
bahasa Arab. Oleh karena al-Qur’an turun di bangsa Arab, maka al-Qur’an juga
menggunakan bahasa tersebut agar dapat dipahami dengan mudah oleh orang-orang
Arab.
Namun,
bagi orang-orang Ajam (selain Arab) mereka perlu belajar bahasa Arab terlebih
dahulu untuk memahami bahasa Arab sekaligus memahami al-Qur’an. Bukan hanya itu
saja, al-Qur’an adalah kitab sastra yang tidak cukup memahaminya hanya
menggunakan pengetahuan menerjemah saja, melainkan perlu pengetahuan badi’,
ma’ani, bayan dan sebagainya.
Belum tentu orang Arab
sendiri mampu memahami al-Quran secara detail dengan bahasa al-Qur’an yang
begitu tinggi sastranya. Apalagi orang-orang selain Arab. Untuk itu, diantara
cara memahami al-Quran yaitu mengenai kaidah-kaidah bahasa seperti yang akan
kami tuturkan, yaitu mengenai Nakirah dan Ma’rifat.
II.
Rumusan Masalah
A.
Prngertian Nakirah Dan
Makrifat
B.
Kaidah Isim Nakirah Dalam
AL-Qur’an
C.
Kaidah Isim Ma’rifat Dalam
AL-Qur’an
III.
Pembahasan
A.
Pengertian Nakirah Dan Ma’rifat
Isim nakirah adalah isim
yang umum pada jenisnya, yang tidak tertentu pada satu jenis tertentu. Seperti lafadz
رجل dan فرس [1] atau setiap isim yang pantas kemasukan alif
dan lam[2],
atau isim yang menempati tempatnya isim yang pantas kemasukan alim dan lam,
seperti lafadz ذى yang berarti صا حب [3] dan atau lebih ringkasnya isim nakirah adalah
isim yang menunjukkan sesuatu yang belum jelas pengertiannya.[4]
Sedangkan
isim ma’rifat adalah selainnya isim nakirah, yaitu isim yang sudah jelas
pengertiannya atau isim yang menunjukkan sesuatu yang sudah jelas. Dalam bahasa
Arab isim ma’rifat mempunyai peran penting, baik secara sintaksis maupun semantis.
Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi isim ma’rifat adalah untuk menunjukkan
bahwa kata yang bersangkutan adalah ma’ruf (diketahui) atau untuk ta’rif.[5]
Syekh
Musthafa al-Ghulayani telah membagi isim ma’rifat menjadi tujuh macam[6],
yaitu:
Petama,
dhamir (kata ganti)[7],
dhamir adakalanya diletakkan bagi mutakallim seperti انا atau
mukhattab seperti انت atau ghaib seperti هو dan
adakalanya yang mustatir (tidak nampak) dan bariz (nampak).[8]
Kedua, isim
alam (nama diri), yaitu isim yang menentukan sesuatu barang yang diberi nama
dengan mutlak (tanpa qarinah) yaitu untuk mengecualikan kepada isim ma’rifat
yang selain alam, sebab isim ma’rifat selain alam-pun menentukan kepada sesuatu
barang, akan tetapi dengan qarinah, apakah dengan lafadz alif lam atau dengan
idhafah atau qarinah maknawi, seperti karena hadirnya yang dituntut bila dengan
isim isyarah atau isim dhamir.[9]
Ketiga, isim
isyarah (kata ganti penunjuk), yaitu isim yang menunjukkan sesuatu yang
tertentu baik secara nyata dengan tangan atau dengan yang lain apbila yang
ditunjuk itu berada dihadapan orang yang yang menunjuk, atau penunjukkan itu
secara tidak nyata (maknawi) apabila yang diunjuk itu memang tidak nyata atau
sesuatu yang ditunjuk itu tidak berada dihadapan penunjuk.[10]
Untuk yang dekat menggunakan hadza, hadzihi. Yang sedang dzaka, tika.
Yang jauh dzalika, tilka.
Keempat,
isim maushul (kata sambung), yaitu isim yang menunjukkan sesuatu yang tertentu
dengan perantaraan jumlah yang disebutkan sesudahnya. Jumlah yang demikian
dinamakan shilah maushul.[11]
Kelima,
susunan idhafah ( lafadz yang disandarkan kepada isim ma’rifat), seperti rabb
al-alamin. Kata yang disebutkan pertama, rabb, disebut mudhaf. Kata benda
tersebut selalu dianggap ebagai nama jenis dan tidak menggunakan kata sandang (alif
lam), sedangkan untuk kata yang disebutkan kedua al-alamin, disebut mudhaf
ilaih dan harus selalu nama diri atau kata yang menggunakan kata sandang (alif
lam).[12]
Keenam,
munada, yang dipanggil dengan sengaja, biasanya menggunakan huruf يا, ايها , dan
huruf nida’ lainnya.
Ketujuh,
isim yang disertai alif lam, yang dimaksud adalah isim nakirah yang didahului
alif lam. Seperti رجل menjadi
الرجل.
B.
Kaidah Isim Nakirah Dalam
AL-Qur’an
Penggunaan isim nakirah mempunyai beberapa fungsi, di
antaranya:
1. Untuk menunjukkan arti satu (إرادة الوحدة), seperti firman Allah ta’ala dalam surah al-Qashshash ayat 20:
وجاء رَجُلٌ من أقصا المدينة يسعى
Kata رَجُلٌ maksudnya adalah seorang laki-laki.
2. Untuk menunjukkan jenis (إرادة النوع), seperti firman Allah ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 96:
ولتجدنهم أحرص الناس على حَيَوٰةٍ
Kata حَيَوٰةٍ maksudnya adalah suatu jenis kehidupan, yaitu ingin mendapatkan
tambahan kehidupan di masa depan (طلب الزيادة في المستقبل), karena ketamakan (الحرص) itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang.
3. Untuk menunjukkan ‘satu’ dan
‘jenis’ sekaligus (إرادة الوحدة والنوع معا), seperti firman
Allah ta’ala dalam surah an-Nuur ayat 45:
والله خلق كل دَابَّةٍ من مَاءٍ
Maksudnya suatu jenis hewan dari
segala jenis hewan itu berasal dari suatu jenis air, dan setiap satu ekor hewan
itu berasal dari satu nuthfah (كل نوع من أنواع الدواب من أنواع الماء، وكل فرد من أفراد الدواب
من فرد من أفراد النطف).
4. Untuk membesarkan atau
mengagungkan keadaan (التعظيم), seperti firman
Allah ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 279:
فأذنوا بحَرْبٍ من الله
Maksud حَرْبٍ di ayat tersebut adalah peperangan yang besar atau dahsyat (حرب عظيمة).
5. Untuk menunjukkan arti banyak
(التكثير), seperti firman
Allah ta’ala dalam surah asy-Syu’araa ayat 41:
أئن لنا لأَجْرًا
Maksud أَجْرًا pada ayat di atas adalah pahala yang banyak (أجرا وافرا).
6. Untuk membesarkan
(mengagungkan) dan menunjukkan banyak (التعظيم والتكثير معا), seperti firman Allah ta’ala dalam surah Faathir ayat 4:
وإن يكذبوك فقد كذبت رُسُلٌ من
قبلك
Maksud رُسُلٌ pada ayat di atas adalah rasul-rasul yang mulia dan banyak
jumlahnya (رسل عظام ذوو عدد كثير).
7. Untuk meremehkan atau
menganggap hina (التحقير), seperti firman
Allah ta’ala dalam surah ‘Abasa ayat 18:
من أي شَيْءٍ خلقه
Kata شَيْءٍ menunjuk pada sesuatu yang rendah, hina dan teramat remeh (من شيء هين حقير مهي).
8. Untuk menyatakan sedikit (التقليل), seperti firman Allah ta’ala dalam surah at-Taubah ayat 72:
وعد الله المؤمنين والمؤمنت جنت
تجري من تحتها الأنهر خلدين فيها ومسكن طيبة في جنت عدن ورِضْوَٰنٌ من الله أكبر
Kata رِضْوَٰنٌ artinya keridhaan yang sedikit (رضوان قليل), namun keridhaan yang sedikit dari Allah tersebut lebih besar
daripada surga, karena keridhaan itu pangkal segala kebahagiaan (أي رضوان قليل منه أكبر من الجنات لأنه رأس كل سعادة).[13]
C.
Kaidah Isim Ma’rifat Dalam
AL-Qur’an
Isim ma’rifah
mempunyi beberapa fungsi sesuai dengan jenis dan macamnya. Isim Ma’rifah bisa
dengan dhomir maupun dengan isim alam.
Dengan isim
alam(nanma) berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama dalam benak pendengar
dengan cara menyebutkan namanya yang khas yaitu:
a.
untuk menghormati
dan memulyakan
Contoh :
Surat al Fath مُحَمَّدٌ
رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ
بَيْنَهُم
b.
Untuk menghinakan
/ merendahkan
Contoh : Surat
(Al Lahab ) تَبَّتْ
يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبّ
· Dengan
menggunkan isim isyaroh (kata tunjuk)
c.
Untuk menjelaskan
bahwa sesuatu itu dekat
Surat luqman 11 : هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي
مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ بَلِ الظَّالِمُونَ فِي ضَلَالٍ مُبِي
d.
Menunjukan
keadaan jauh
Surat al baqarah
5 : أُولَئِكَ
عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
e.
Untuk menghinakan
dengan menggunakan isim isyarat dekat
Surat al ankabut
64 : وَمَا
هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ
f.
Untuk
memulyakan/ mengagungkan dengan isyaro jauh
Surat al baqaroh 1: ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ
فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِي
g.
Untuk memulyakan dengan menggunakan isim isyarat jauh
Surat al baqarah
2 : ذَلِكَ
الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِي
h.
Untuk
mengingatkan (litanbih)
· Pema’rifatan dengan isim mausul
berugsi untuk
i.
Untuk
menutupi/menyembunyikan nama
Surat al ahqof
17: وَالَّذِي
قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا
Surat yusuf 23
: وَرَاوَدَتْهُ
الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِه
j.
Untuk
menunjukan arti umum
Surat al nkabut
69: وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
k.
Untuk meringkas
Surat al ahzab
69: يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ آَذَوْا مُوسَى
فَبَرَّأَهُ اللَّهُ مِمَّا قَالُوا
· Ma’rifat dengan Alif lam (al).
l.
Untuk menunjukan sesuatu yang telah diketahui (ma’hud Dzikri)
Surat an nur
35: اللَّهُ
نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ
الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ
m.
Menunjukan
sesuatu yang sudah di ketahui dalam benak. (ma’hud dzihni)
Surat al fath
18: لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ
يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
n.
Menunjukan
sesuatu yang deketahui karena kehadiranya ( ma’hud hudzuri)
Surat Al maidah
3: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
o.
Untuk mencakup
semuanya (istighroq)
Surat al ‘asr
2: إِنَّ
الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
p.
Untuk
menerangkan hakekat dari suatu jenis
IV.
Penutup
Dari uraian diatas, disimpulkan
beberapa poin, yaitu:
1. Isim nakirah adalalah isim yang menunjukkan
sesuatu yang belum jelas pengertiannya.
2. Isim makrifat yaitu isim yang sudah jelas pengertiannya atau isim
yang menunjukkan sesuatu yang sudah jelas
3. Isim makrifat terbagi menjadi: ism dhamir, isim alam, isim isyarah,
isim maushul, susunan idhafah, munada, isim yang disertai alif lam.
4. Nakirah dan makrifat mempunyai beberapa fungsi dalam Al-Quran.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad
ibn Ahmad al-Bari al-Ahdali, Al-Kawakib al-Durriyah syarah Mutammimah
Jurumiyah, juz1, , Al-Haramain, Surabaya. Tt.
Musthafa
al-Ghulayaini, Tarjamah Jami’ud Durusil Arabiyah, terj. Drs. H. Moh. Zuhri
Dipl, TAFL, dkk. Asy-Syifa, Semarang, 1992,.
Nor
Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Sebagian
ada yang membagi menjadi enam, seperti Muhammad ibn Ahmad al-Bari al-Ahdali
http://abufurqan.wordpress.com/2011/07/27/kaidah-penggunaan-isim-nakirah-dalam-al-quran/. Diambil pada hari selasa jam 00.50 wib. http://zahirkamali.blogspot.com/2012/12/kaidah-kaidah-yang-diburtukan-para.html. diambil pada hari selasa jam 01.12 wib.
[1] Muhammad ibn Ahmad al-Bari al-Ahdali, Al-Kawakib al-Durriyah
syarah Mutammimah Jurumiyah, juz1, , Al-Haramain, Surabaya. Tt. Hal 45
[2] Ibid, hal 45
[3] Ibid, hal 46.
[4] Musthafa al-Ghulayaini, Tarjamah Jami’ud Durusil Arabiyah, terj.
Drs. H. Moh. Zuhri Dipl, TAFL, dkk. Asy-Syifa, Semarang, 1992, hal.227
[5] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2002. Hal.3
[6] Sebagian ada yang membagi menjadi enam, seperti Muhammad ibn Ahmad
al-Bari al-Ahdali
[8] Muhammad ibn Ahmad al-Bari al-Ahdali, op. cit., hal.46-47
[9] Nor Ichwan, op.cit., hal 4
[10] Ibid, hal 4-5.
[11] Ibid, hal 5
[12] Ibid, hal 6
[13] http://abufurqan.wordpress.com/2011/07/27/kaidah-penggunaan-isim-nakirah-dalam-al-quran/.
Diambil pada hari selasa jam 00.50 wib.
[14] http://zahirkamali.blogspot.com/2012/12/kaidah-kaidah-yang-diburtukan-para.html.
diambil pada hari selasa jam 01.12 wib.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon