Tafsir al-Furqon

                                      I.            Pendahuluan
Munculnya berbagai model dan metode penafsiran terhadap al-Qur’an dalam sepanjang sejarah umat Islam merupakan salah satu bentuk upaya membuka dan menyingkap pesan-pesan teks secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial sang mufasir. Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar dalam sejarah ke-Rasulan telah terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya eksistensinya yang tidak pernah rapuh dan kalah oleh tantangan zaman, tetapi al-Qur’an selalu mampu membaca setiap detik perkembangan zaman. Telah banyak ulama-ulama tafsir yang mencoba menafsirkan Al-Qur'an hingga terciptanya kitab-kitab tafsir sampai saat ini. Baik kitab-kitab tafsir karya ulama-ulama timur tengah hingga kitab tafsir hasil karya ulama local Indonesia, seperti kitab tafsir Qur'an al-Furqan karya A. Hasan yang akan kita bahas ini dan yang lainnya, yang masing-masing mempunyai cirri khas tersendiri. Kekhasan tersebut dapat kita lihat dari bagaimana cara mufassir tersebut menafsirkan dan dengan menggunakan metode apa.
  
                                       II.            Rumusan Masalah
                 A.    Bagaimana biografi Ahmad Hassan?
                 B.     Bagaimana penafsirannya itu dan contoh penafsirannya?

                                      III.            Pembahasan
                 A.    Biografi
Nama aslinya adalah Hassan bin Ahmad, ibunya bernama Muznah orang Indonesia, sedangkan ayahnya bernama Ahmad, seorang India. Ia lahir di Singapura pada tahun 1887 M, akan tetapi nama akrabnya menjadi Ahmad Hassan, meski lahir di Singapura, Ahmad Hassan tidak pernah menyelesaikannya hingga sekolahnya di Singapura. Beliau masuk di sekolah Melayu dan menyelesaikan hingga kelas empat. Ketika menempuh pendidikan inilah ia belajar bahasa Arab Melayu, Tamil, dan Iggris. Perhatiannya hanya pada bahasa Arab sehingga ia sangat mengusainya.
Saat mengenyam pendidikan di sekolah Melayu inilah ia belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil, dan Inggris. Pada usia tujuh tahun, sebagaimana anak-anak pada umumnya, ia belajar Alquran dan memperdalam agama Islam hal ini terjadi pada saat Ahmad Hassan berusia tujuh tahun. Pada usia 12 tahun, A Hassan belajar mandiri dengan bekerja di sebuah toko milik iparnya. Sambil bekerja, ia menyempatkan diri belajar privat dan berusaha menguasai bahasa Arab sebagai kunci untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam. Dia juga mengaji pada Haji Ahmad di Bukittiung, dan pada Muhammad Thaib, seorang guru yang terkenal, di Minto Road.
Ahmad Hassan banyak mempelajari ilmu nahwu dan sharaf dari Muhammad Thaib. Sebagai orang yang keras kemauannya dalam menuntut ilmu, ia tidak keberatan jika harus datang dini hari sebelum Subuh. Namun, karena merasa tidak ada kemajuan setelah kira-kira empat bulan belajar nahwu dan sharaf, ia memutuskan untuk beralih mempelajari bahasa Arab pada Said Abdullah al-Musawi selama tiga tahun. Selain itu, ia juga belajar kepada pamannya, Abdul Lathif (seorang ulama yang terkenal di Malaka dan Singapura), Syekh Hasan (seorang ulama yang berasal dari Malabar), dan Syekh Ibrahim (seorang ulama dari India). Beliau mempelajari dan memperdalam Islam dari beberapa guru tersebut sampai kira-kira tahun 1910, menjelang usia 23 tahun.
Selain memperdalam ilmu agama Islam, dari tahun 1910 hingga tahun 1921, Ahmad Hassan melakukan berbagai macam pekerjaan di Singapura. Dari tahun 1910 sampai tahun 1913, ia menjadi guru tidak tetap di madrasah orang-orang India yang terletak di Arab Street, Baghdad Street, dan Geylang Singapura.
Ia juga menjadi guru tetap di Madrasah Assegaf di Jalan Sulthan. Sekitar tahun 1912-1913, ia menjadi anggota redaksi surat kabar Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press. Ia juga pernah menjadi juru tulis di kantor jamaah haji di Jeddah Pilgrims Office Singapura. Selain itu, ia juga menjadi guru bahasa Melayu dan bahasa Inggris di Pontian Kecil, Sanglang, Benut, dan Johor.
Selain menulis buku-buku, menerbitkan majalah-majalah, menyusun tafsir Al-Quran pertama di Indonesia, dan mendidik para santri, ia pun banyak melahirkan tokoh ulama besar hasil didikannya, antara lain Mohammad Natsir, Isa Anshary, Abdurrahman, dan KH Rusyad Nurdin.
Adapun beliau wafat pada tanggal 10 November tahun 1958 M, beliau wafat di Bangil dan ketika beliau wafat telah berdiri sebauh pesantren Persis di Bangil, di tempat inilah Ahmad Hassan mempunyai banyak santri dan pengikutnya.[1]
Berdasarkan catatan, Ahmad Hassan telah menulis puluhan buku mengenai masalah keagamaan, terutama fikih (usul fikih), tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Beberapa karyanya yang cukup populer adalah :1) Soal-Jawab,2) Tafsir al-Furqan,3) Pengajaran Shalat dan At-Tauhid,4) Madzhab dan Taklid, 5)Islam dan Kebangsaan, dan lain-lain.[2]

                  B.     Penafsiran dan Contohnya
Seperti yang dikutip dari penadahuluan dalam kitab beliau, Tafsir al-Furqan adalah karya besar dan penting yang dimiliki oleh Ahmad Hasan. Penulisan tafsir ini merupakan langkah pertama dalam sejarah penerjemahan al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia dalam kurun waktu 1920-1950. Bagian pertama tafsir ini diterbitkan pada bulan Muharram 1347 atau  juli 1928, sedangkan edisi kedua diterbitkan pada tahun 1941, namun hanya sampai surat Maryam, selanjutnya pada tahun 1953, penulisannya dilanjutkan kembali atas bantuan pengusaha Sa’ad Nabhan dan akhirnya tulisan Tafsir Al-Furqan dapat diselesaikan secara keseluruhan (30 juz) dan dapat diterbitkan pada tahun 1956.
Dalam menyusun tafsirnya, A.Hasan memulai dengan menuliskan pendahuluan yang terdiri dari 34 pasal. Di dalamnya dijelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan al-Qur'an dan tafsirnya. Di antaranya ia menjelaskan mengenai beberapa istilah dalam bidang tafsir[3].
Metode tafsir yang dipakai A.Hasan adalah mula-mula ia menerjemahkan ayat-ayat al-Qur'an dengan menggunakan metode harfiah, yaitu penerjemahan kata demi kata. Kecuali terhadap beberapa kata yang tidak memungkinkan untuk diterjemahkan dengan metode ini, maka ia menggunakan metode maknawiyah. Contoh penerjemahan beliau ketika menerjemahkan secara maknawiyah, seperti ketika beliau menerjemahkan “qaala lahu”. Ketika diterjemahkan kata perkata berarti “dia berkata baginya”, tapi beliau menerjemahkan “dia berkata kepadanya”. Contoh lain “aamanaa billaahi”, biasanya diterjemahkan “dia percaya dengan Allah”, tetapi beliau terjemahkan “dia percaya kepada Allah”.
Dalam penafisrannya ini beliau menggunakan corak tafsir bil ra’yi yaitu penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad dan penalaran. Akan tetapi tidak semata-mata didasari pada penalaran akal dengan mengabaikan sumber riwayat secara mutlak.
Sebenarnya metode penerjemahan harfiyah ini merupakan bagian dari pada metode ijmali (global). Yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini juga mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Metode terjemah harfiyah di sini maksudnya adalah seperti sebagai berikut:
1)        Qur’an ketika masih dalam bentuk Arabnya, seperti yang bisa ditemui dalam mushaf, merupakan wujud awal yang berasal dari bahasa Allah sebagai Tuhan. Namun, setelah Qur’an itu diterjemahkan, Qur’an dalam bentuk yang kedua ini merupakan hasil ijtihad seorang manusia yang mencoba memahami dan mengalih bahasakan bahasa Tuhan ke dalam bahasa manusia. Di sinilah kerja penerjemah mempunyai kesamaan yang asasi dengan kerja penafsir. Dimana seseorang harus menggunakan ijtihad dalam menerjemahkan suatu ayat dalam hal memilih makna yang tepat, seperti halnya dalam terjemah maknawiyah yang disebut juga terjemahan tafsiriyah. Sehingga kemungkinan dengan adanya penerjemahan maknawiyah inilah yang menyebabkan al-Furqaan dikatakan sebagai kitab tafsir.
2)        Satu sisi bahasa Arab terlalu kompleks untuk dimaknai dengan bahasa Indonesia, yang pada banyak bagian masih terbatas dalam memberikan padanan terhadap konsep kata dalam bahasa Arab. Sebagai contoh kata خوف dan kata خشية , yang keduanya dalam bahasa Indonesia diartikan ‘takut’. Padahal, masing-masing mempunyai konsekuensi semantik yang berbeda. Kata خشية mempunyai nilai cakupan semantik lebih tinggi daripada kata خوف. Kata خشية mengandung arti ‘rasa takut yang besar bercampur baur dengan rasa hormat, meskipun orang yang takut itu adalah orang kuat’, sedangkan kata خوف lebih berarti ‘ketakutan yang disebabkan oleh ketakutan orangnya, meskipun sesuatu yang ditakuti itu bukanlah hal yang layak untuk ditakuti’.
Oleh karena itu makna harfiyah dalam al-Furqaan adalah pengalihan bahasa yang mengindikasikan kepada tafsiran ayat dengan metode pemilihan arti kata yang sesuai dan mengena untuk menghasilkan makna yang dapat dimengerti. Oleh karena tafsir al-Furqan ditulis pada masa yang telah lampau, maka bahasa Indonesia yang digunakan tidak seperti bahasa Indonesia yang ada dan difahami pada masa kini. Banyak kata-kata dulu yang berbeda pemahamannya pada masa sekarang ini. Seperti "ketua kaum" yang berarti 'pemuka' atau 'pemimpin kaum'.

Contoh penafsiran, penafsiran ayat tentang makanan yang diharamkan yaitu terdapat dalam surat (al-Baqarah :172 dan 173). Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (172) إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (173)

“Hai orang-orang yang beriman! Makanlah barang-barang baik yang kami telah kurniakan kepada kamu, dan syukurlah kepada Allah swt jika memang hanya akan Dia-lah kamu menyembah (172).
Tidak Ia haramkan atas kamu melainkan bangkai dan darah dan daging babi dan sesuatu yang disembelih karean yang lain dari Allah Swt; tetapi barang siapa terpaksa, padahal tidak sengaja mau dan tidak melebihi batas (1) maka tidaklah ada dosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Swt itu pengampun penyayang (173).”
Catatan:
(1)   Orang yang tidak dapat makanan lain daripada barang yang haram itu, halal ia makan dia, asal saja memang tidak ia ingin dan maukan barang itu, dan tidak melewati batas, tetapi kadar yang cukup buat menutup kelaparan yang akan membawa bahaya bagi jiwanya.[4]

                                             IV.            Kesimpulan
Dari urian diatas dapat kami simpulkan, tafsir al-furqon merupakan tafsir pertama di Indonesia. Dalam menyusun kitab ini beliau menulis pendahuluan yang terdiri dari 34 pasal didalamnya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan beberapa istilah dalam bidang tafsir dan juga apa-apa yang menjadi motifasi beliau demi memudahkan orang lain dalam memahami al-Qur’an.
Metode tafsir yang dipakai A.Hasan adalah mula-mula ia menerjemahkan ayat-ayat al-Qur'an dengan menggunakan metode harfiah, yaitu penerjemahan kata demi kata. Kecuali terhadap beberapa kata yang tidak memungkinkan untuk diterjemahkan dengan metode ini, maka ia menggunakan metode maknawiyah. Sebenarnya metode penerjemahan harfiyah ini merupakan bagian dari pada metode ijmali (global). Yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global).


Daftar Pustaka

Hassan, Ahmad, Al-Furqon (Tafsir Al-Qur’an), Bangil: Dewan Dakwah islamiyah indonesia, 1978.



[4] Ahmad Hassan, Al-Furqon (Tafsir Al-Qur’an), Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah indonesia, 1978. Hal. 46.
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
Silakan berkomentar dengan sopan