Tikrar al-Ma’rifat wa al-Nakirah (Pengulangan Ma’rifat dan Nakirah)

I.                   PENDAHULUAN
Kalam menurut makna etimologinya adalah pembicaraan/ucapan. Tetapi makna terminologinya dapat berbeda-beda sesuai tinjauan aneka disiplin ilmu.
Al-Qur’an al-Karim adalah Kalam Allah. Hakikat kalam Allah tidak kita ketahui karena kalam-Nya adalah sifat zat-Nya yang mustahil dijangkau oleh makhluk, termasuk manusia. Namun demikian, dalam konteks penafsiran al-Qur’an kita dapat menjangkau sekelumit dari kalam-Nya kepada kita dengan menggunakan bahasa manusia yang dalam hal ini adalah bahasa Arab.
Allah berfirman:
إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya Kami menjadikannya ( yakni Kalam Allah) berupa Qur’an yang berbahasa Arab agar kamu dapat memahami (pesan-pesan-Nya) (QS. Az-Zukhruf [43]: 3)
Ini berarti bahwa al-Qur’an yang merupakan Kalam Allah itu menggunakan bahasa yang dikenal dan digunakan oleh masyarakat pada masa turunnya. Ini berarti juga bahwa kita memiliki potensi untuk memahami Kalam Allah yang berbahasa Arab itu dengan perangkat yang digunakan oleh bahasa Arab.
Pakar-pakar dalam bidang tata bahasa Arab menyatakan bahwa:
الكلام هو اللفظ المركب المفيد
Kalam adalah lafadz-lafadz yang tersusun dan memiliki makna.
Ketersusunannya ditandai oleh minimal dua kata dengan syarat ketersusunan dua kata itu memiliki makna tertentu. Mereka juga menegaskan bahwa ada tiga unsur dari apa yang disebut kalam/pembicaraan, yaitu: 1) Isim (Noun), 2) Fiil (Verb), 3) Huruf.
Adapun penulis akan menjelaskan suatu bagian dari salah satu ketiga unsur tersebut, yaitu Isim. Namun dalam karakteristik pembagiannya,  Isim (Noun) masih dibagi menjadi 5 golongan, yaitu: a. Macam-macam bentuknya (Maskulin dan feminin), b. Bilangannya (tungal, dual dan jamak), c. Sifatnya (tertentu dan umum), d. Asal usul kata (Musytaq dan Jamid), dan e. Akhir Katanya (Maqsur dan Manqush). Penulis bermaksud membahas poin C, yaitu karakteristik Isim dalam bentuk Sifatnya (Ma’rifat dan Nakiroh)[1].

II.                RUMUSAN MASALAH

       A.    Pengulangan Ma’rifat Dengan Ma’rifat Dan Pengulangan Nakirah Dengan Nakirah
       B.     Nakirah yang Disebut Pertama dan Ma’rifat yang Kedua
      C.     Ma’rifat yang Disebut Pertama dan Nakirah yang Kedua
      D.    Pengecualian Kaidah


III.             PEMBAHASAN
Pengulangan menyebut kata yang sama dalam suatu ungkapan atau kalimat mengandung maksud tertentu dari si pembaca. Pengungkapan ma’rifat dengan ma’rifat, misalnya, secara umum dalam bahasa Arab menunjuk kepada benda yang itu juga; sebaliknya pengungkapan nakirah dengan nakirah menunjuk kepada benda yang berlainan.
Apabila diamati pengulangan ism yang terjadi dalam Alqur’an, maka ditemukan empat kategori. Pertama pengulangan ma’rifat dengan ma’rifat; kedua mengulang nakirah dengan nakirah; ketiga nakirah diulang dengan ma’rifat; dan keempat sebaliknya ma’rifat diulang dengan nakirah[2].

      A.    Pengulangan Ma’rifat Dengan Ma’rifat Dan Pengulangan Nakirah Dengan Nakirah
Pengulangan kata yang sama dalam satu rangkaian kalimat yang keduanya dalam bentuk ma’rifat, maka itu secara umum mengandung makna bahwa yang kedua sama dengan yang pertama; sedang pengulangan nakirah menunjukkan bahwa yang pertama bukan yang kedua. Seperti firman Allah:


Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan[5]. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan[6]”
Ayat di atas menggunakan bentuk ma’rifat untuk kata al-Usr/kesulitan, sedang kata Yusr berbentuk nakirah. Ini berarti kesulitan yang disebut pada ayat 6 sama dengan kesulitan yang disebut pada ayat 5, sedang kemudahan yang disebut pada ayat 6 berbeda dengan kemudahan yang disebut pada ayat 5, sehingga ini berarti bahwa setiap ada satu kesulitan, maka di celahnya/bersamanya ada dua kemudahan. 

      B.     Nakirah yang Disebut Pertama dan Ma’rifat yang Kedua
Jika terjadi hal yang demikian, maka yang kedua sama dengan yang pertama. Seperti firman Allah:


“.... sebagaimana Kami mengutus kepada Firaun rasul, lalu Fir’aun mendurhakai rasul (itu)” (Qs. Al-Muzammil [73]: 15-16).

      C.     Ma’rifat yang Disebut Pertama dan Nakirah yang Kedua
Jika terjadi hal yang demikian, maka diperlukan pengamatan indikator untuk merumuskan maknanya. Karena terkadang sangat berbeda maknanya.
Seperti kata sa’ah yang terulang dalam firman-Nya:

“Pada hari datangnya as-Sa’ah (kiamat) para pendurhaka bersumpah: Mereka tidak tinggal di dunia kecuali sesaat (waktu yang singkat)” (Qs. Ar-Rum [30]: 55)
Memang kaidah ini tidak selalu demikian, namun paling tidak ia dapat menjadi patokan pemahaman.

      D.    Pengecualian Kaidah
            Sekali lagi, kaidah ini tidak berlaku umum, tetapi kebanyakan demikian itu halnya. Salah satu bukti bahwa kaidah di atas tidak selalu demikian adalah firman Allah dalam Qs. Az-Zukhruf [43]: 84;

            Pada ayat di atas kata Ilah berulang dua kali, sekali dalam kaitannya dengan as-sama’/langit dan dikali kedua ddalam kaitannya dengan al-ardh / bumi. Jika kaidah di atas diterapkan, maka itu dapat berarti bahwa Tuhan yang di langit berbeda dengan Tuhan di bumi. Karena itu, salah satu jalan keluar yang diberikan oleh para pakar adalah memahami kata Ilah dalam arti “Ketuhanan” bukan “Tuhan” sehingga ayat tersebut bermakna:
            “Dia (Allah) yang ketuhanan-Nya terbentang di langit dan terbentang juga di bumi.”
            Di sini bisa saja kedua bentuk tersebut berbeda, antara lain, bahwa di langit ketuhanan-Nya sangat jelas, tidak ada atau hampir tidak ada satu makhluk pun yang membangkang, sedang ketuhanan-Nya di bumi tidak sejelas itu, karena di sini sekian banyak makhluk yang membangkang, bahkan ada yang tidak mengakui wujud-Nya. Lebih jauh, kaidah umum itu menyatakan bahwa:
            “Kalau ma’rifat diulang ma’rifat, atau nakirah disusul ma’rifat, maka keduanya mengandung makna yang sama.”
            Namun, sekali lagi, ini tidak selalu demikian. Perhatikanlah firman Allah:


            “Bukankah  balasan kebajikan tidak lain kecuali kebajikan pula?” (Qs. Ar-Rahman [55]: 60).
            Di sini kata al-Ihsan terulang dua kali, keduanya dalam bentuk Ma’rifat. Tetapi, kata al-Ihsan yang pertama ihsan duniawi, sedang yang kedua meruapakan balasannya adalah kenikmatan ukhrawi. Tentu yang duniawi berbda dengan yang ukhrawi. Namun demikian, sebagai patokan umum kaidah itu dapat digunakan[3].


IV.             KESIMPULAN

Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa manusia, yaitu bahasa Arab kala itu. Agar mampu dipahami maksud dan tujuan pesan yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu penting memahami kaidah-kaidah bahasa Arab, guna mengungkap pesan-pesan Al-Qur’an. Sebagaimana yang terdapat dalam makalah bab ini, jika ma’rifat diulang dengan ma’rifat dan  nakirah disebut diawal kemudian disusul ma’rifat, maka yang kedua memiliki arti yang sama dengan yang disebut pertama, dan sebagainya. Namun kaidah ini tidak selamanya cocok untuk digunakan memahami kandungan Al-Qur’an secara keseluruhan, akan tetapi dapat dijadikan patokan secara umum.


V.                PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, mohon saran dan kritk yang membangun. Semoga bermanfaat. Amin


DAFTAR PUSATAKA

Baidan, Nasruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005)
Ichwan, Nor. Memahami Bahasa Al-Qur’an. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002)
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. (Tangerang:Lentera Hati, 2013)




[1] M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir. (Tangerang:Lentera Hati, 2013).h. 44
[2] Nasruddin Baidan.Wawasan Baru Ilmu Tafsir.(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005)h.302-303
[3] M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir. (Tangerang:Lentera Hati, 2013).h. 49-52

Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan